USIA Xie Xiaoli sudah 12 tahun. Tapi, hari-hari ini di Rumah Sakit Angkatan Udara RRC di Shijiazhuang, sekitar 280 km sebelah barat daya Beijing, gadis kecil ini masih dalam perawatan serius oleh satu tim dokter di rumah sakit itu. Misalnya untuk berdiri atau menggerak-gerakkan tubuhnya. Atau belajar apa saja kegiatan yang sepantasnya sudah diketahui anak seumurnya. Ditemani ibunya, Nyonya Yang Xuqing, Xiaoli memang pasien istimewa di rumah sakit milik Angkatan Bersenjata RRC itu. Maklum, dialah kelak saksi sejarah buat rumah sakit tersebut: seorang anak yang sudah pingsan selama 11 tahun pingsan dapat disadarkan kembali dan kemudian hidup setelah dirawat dokter di situ. "Mereka memang telah memberinya suatu kehidupan kedua," ini kata-kata pujian yang tak henti-henti diucapkan Nyonya Xuqing buat para dokter di rumah sakit itu. Pekerja kantor berusia tiga puluhan tahun ini pantas merasa bersyukur. Sebab, bersama suaminya seorang polisi lalu lintas yang bertugas di Beijing, ia sudah bertahun-tahun merawat anaknya yang terus-terusan semaput itu. Dan barulah setelah satu tim dokter mengoperasi bagian otak anaknya, 21 Juli lalu, anaknya itu sadar. Anak ini pingsan ketika berusia setahun. Yakni, setelah ia terjatuh dengan kepala membentur lantai dari tempat tidur di rumahnya. Benjol di kepalanya setelah kejadian itu sudah kempis, ketika Xiaoli tampak makin lemah. Pernah kejang-kejang dan suhu badan memanas. Dia kemudian dibawa ke dokter. Tapi, penyakit itu tak sembuh-sembuh. Dan orangtua Xiaoli mengesampingkan kemungkinan lain penyakit itu akibat jatuh dari tempat tidur tadi karena dokter yang memeriksa Xiaoli mula-mula hanya menyebutkan anak itu kena epilepsi (ayan). Xiaoli pun diberi obat-obat resep. Malah beberapa bulan kemudian, Xiaoli jatuh pingsan. Keadaannya mencemaskan. Sinar matanya memudar, makin sipit dan tak bisa bergerak-gerak. Sekujur tubuhnya tampak mengkeret dan giginya terkatup rapat. Bisa dibayangkan betapa cemas orangtua Xiaoli. Kendati masing-masing hanya punya penghasilan sekitar Rp 30.000 per bulan, keduanya terus berusaha membawa anaknya yang pingsan itu ke pelbagai rumah sakit di Beijing, Shanghai, dan kota lain di RRC. Sudah menghabiskan lebih dari Rp 2,7 juta, hasil tetap nihil. Xiaoli masih saja belum sadar dan apa penyebabnya juga misterius. Upaya terakhir dilakukan sang ayah, Xie Jingchen, 39, melapor ke rumah sakit angkatan udara. Dokter di rumah sakit ini akhirnya menyimpulkan otak Xiaoli harus segera dioperasi. "Kami sudah pasrah dan menduga Xiaoli akan menemui ajalnya, pada saat operasi tengah dilakukan," tutur Nyonya Xie. "Hati kami amat teriris ketika usai operasi, dokter memperlihatkan segumpalan daging yang diambil dari otak Xiaoli." Tak dijelaskan oleh dokter yang diwawancarai koresponden AP di Beijing apa yang dilakukan oleh dokter terhadap Xiaoli. Namun, Dokter Benny A. Wirjomartani, salah seorang staf Bedah Saraf Universitas Padjadjaran, Bandung, menduga Xiaoli mengalami pendarahan otak setelah jatuh dari tempat tidur. Pendarahan itu karena terlambat dioperasi, lalu menimbulkan pengapuran yang kemudian menekan otak, sehingga Xiaoli pun pingsan. "Operasi yang dilakukan tim dokter Cina itu adalah untuk membersihkan pengapuran yang terjadi di otak Xiaoli," kata Dokter Benny. Dan memang itulah yang terjadi. Setelah operasi suhu badan Xiaoli berangsur-angsur turun dan tubuhnya, yang sebelumnya kaku, mulai mengendur, terutama terlihat jelas pada tangan dan kakinya yang tampak rileks. Dan kegembiraan orangtua yang sudah menunggu 10 tahun lebih itu pun memuncak ketika kemudian Xiaoli mulai mendusin. Mula-mula matanya menerawang memandang ke bagian atas ruangan kamarnya. Lalu, bisa beraksi pelan-pelan atas suara musik, setelah itu, senyum, dan kemudian menguap. Dan di rumah sakit itu, kemudian, tak hanya kedua orangtua yang tampak bergembira. Tapi juga dokter dan para perawat. Lebih-lebih ketika beberapa hari kemudian cewek kecil ini mulai mau pula disulang makan dan minum. M.S., Laporan kantor berita dan Aji Abdul Gofar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini