PUKUL 2.30 Selasa pagi, lembar-lembar terakhir TEMPO keluar dari
kamar reproduksi. Berujud film, untuk 16 halaman majalah. Dan
setelah bekerja sejak siang jam 9 atau 10 pagi sejumlah orang
TEMPO turun dari kantor di tingkat ke-3 Pusat Perdagangan Senen
untuk pulang. Sekitar sudah sepi penuh, mata sudah ngantuk
separuh ....
Harapan ialah: hari Selasa akan merupakan hari santai, setelah
di hari Minggu dan Senen diri digenjot -- maklum mendekati
saat-saat penyelesaian. Tapi harapan santai itu paling-paling
cuma sampai pukul 15.00. Sebab pada jam ini perencanaan untuk
minggu berikutnya sudah harus dikukuhkan dalam sebuah rapat yang
harus dihadiri Redaktur Tatamuka, Redaktur Foto! dan beberapa
rekan lain yang sampai "dinihari terakhir" itu praktls tidak
tidur (kecuali bila ia sempat berbaring sebentar di lantai).
Rapat Selasa jam 15.00, betapapun disertai kantuk yang tulen,
merupakan rapat terpokok tiap minggu. Di situ rencana isi untuk
pekan depan, yang beberapa hari sebelumnya sudah mulai
didiskusikan dalam kelompok-kelompok kecil, akan diperdebatkan.
Sebuah rencana biasanya "ditawarkan" ke dalam sidang, untuk
dikritik atau diterima, untuk ditambah atau dijatuhkan. Lalu
halaman pun dihitung, variasi dipertimbangkan, dan setelah 3 jam
semua lalu menarik nafas lega. Tapi belum selesai. Shabis
mahgrib, sejumiah kertas memo harus ditulis, untuk kemudian
dibagikan ke banyak meja redaksi. Isi memo: rencana apa yang
disetujui, apa lagi bahan yang harus dilengkapi, koresponden
mana yang harus dihubungi, foto apa yang harus dicari, dan
sebagainya. . .
Di hari Rabu esoknya, beberapa naskah sudah harus turun. Kalau
tidak, sebuah papan besar di dekat ruangan Tatamuka dan Produksi
akan menegur secara membisu. Itulah "papan peringatan" yang
paling mencemaskan, terutama bila sebuah rubrik sudah ditaruh di
bawah warna merah "terlambat". Hukuman: malu.
***
DALAM memasuki tahun ke IX, setelah sewindu hidup, itulah
agaknya sebagian dari yang kami perbaharui: organisasi dan
sistim kerja yang ketat, tapi dinamis dan terbuka.
Secara khusus kami mempelajari ini melalui suatu analisa yang
dibimbing oleh Lembaga Pendidikan & Pembinaan Manajemen (LPPM)
di Jakarta. Hasil analisa itu, yang tak cuma menyangkut hidang
keredaksian, kami terapkan secara berencana mulai pertengahan
kedua tahun 1978.
Demikianlah misalnya TEMPO kini mengaktifkan Kepala Biro di tiga
kota (yang keempat akan menyusul tahun ini) yang secara periodik
mengadakan kontak dengan kantor pusat. Demikian pula misalnya
kami tetap mempertahankan sejumlah empat orang Redaktur
Pelaksana, yang mengkoordinasikan sejumlah rubrik yang diasuh
oleh para "kepala desk" (penanggungjawab rubrik) masing-masing.
Karena itu, ketika Lukman Setiawan mengundurkan diri dari
jabatan itu agar ia lebih bisa aktif dalam Temprint -- itu
percetakan kami sendiri yang mencetak majalah ini -- ia harus
segera digantihan dengan orang lain. Orang itu adalah Amir Daud,
yang antara lain harus mrgkordinasikan Olah raga dan
Kesehatan. Kebetulan, seperti Lukman, Amir adalah salah satu
pelari tetap di TEMPO.
Tapi bukan karena soal lari maka George Yunus Adicondro, yang
tak berolahraga lari tapi kuat berenang, mulai bulan lalu
mengundurkan diri dari dewan redaksi. George yang produktif dan
tahan nenemani piket malam dengan main scrabble untuk 4-5
babak, bermaksud mengabdikan diri dalam Yayasan Bina Desa
sebagai pekerja sosial. Tapi dia akan masih jadi penyumbang
tetap.
***
KEPERGIAN George kebetulan juga berarti kepergian salah seorang
pengurus Dewan Karyawan - itu dewan yang mewakili karyawan dalam
berhubungan dengan direksi. Konon ini yang pertama dalam
perusahaan pers di Indonesia, tapi mudah-mudahan bukan yang
satu-satunya. Sebab setidaknya di situ segala jenis karyawan
bersatu (termasuk yang redaksi dan yang administrasi, yang punya
saham dalam perusahaan mau pun yang tidak), di mana yang
mesra-mesra bisa terjadi. Baik dalam piknik (yang jarang)
ataupun dalam merencakan target pemasaran.
Apakah dengan semua itu TEMPO iadi sempurna? Tak ada satu orang
atau lembaga yang ma'sum, yang luput dari salah. Kita semua
ingin banyak, tapi punya batas. Termasuk batas ruangan untuk
tulisan seperti ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini