BANYAK penduduk yang merasakan adanya gempa pada dini hari yang
dingin itu, 20 Pebruari. Tapi tak banyak yang segera tahu apa
yang terjadi. Apalagi di dataran tinggi Dieng yang oleh penduduk
sana dikenal dengan nanla Kejiwen, gempa kecil-kecilan sudah
bukan hal aneh.
Mereka juga tahu, kalau Nagarunting dan Situmpuk -- dua lubang
kepundan di kawah Sinila -- tidak pernah bikin gara-gara.
"Lubang kepundan itu mati. Anak kecil pun sering lalu lalang di
atasnya," kata Muhini, 45 tahun, yang selamat di Puskesmas
Karangkobar.
Gempa yang pertama tadi -- menurut catatan pos ulkanologi di
Karangtengah pukul 01.55 malam -- disusul gempa lebih keras.
Pada saat inilah penduduk baru merasakan bau belerang. Dan
lagi-lagi, bau seperti itu sudah biasa saja dicium. Dataran
tinggi Dieng dengan bukit-bukit yang semuanya punya nama -- dan
membingungkan, dihiasi 26 kawah yang sewaktu-waktu menyebarkan
bau belerang seperti itu.
Musuh Tak Berwarna
Barulah ketika terdengar suara gemuruh -- menurut Muhini tanah
mulai terang -- semua orang tersentak. Pandangan tertuju pada
kawah Sinila ke lubang Nagarunting yang bertahun-tahun dianggap
kawah paling jinak. Asap mengepul dari sini. Kabut yang tebal
menyebabkan asap itu jadi samar-samar kelihatan. Penduduk mulai
panik, dan saling bangun membangunkan keluarga. Ledakan
menyusul, tambah keras dengan asap yang semakin menjulang dan
bau semakin menyesakkan. Ledakan terakhir ini nampaknya dari
mulut lubang Situmpuk.
Inilah ledakan yang bikin celaka, karena juga mengeluarkan
aliran lahar. Benda-benda keras dipukul di Desa Kepucukan itu,
yang nyaris dikitari lahar. Orang menyerbu SD Inpres. Kepala
Desa (Lurah) memerintahkan penduduk untuk lari ke arah timur.
Yang lari ke timur ini terjerat lahar -- sementara memang ada
beberapa yang lolos.
Warga Dukuh Timbang yang hanya ratusan meter dari lubang
Situmpuk ini, nyaris musnah semua. Yang selamat atau sedang
dirawat umumnya lari ke timur. Belum diketahui, berapa warga
Desa Kepucukan yang selamat, karena terpencar-pencar. Di antara
yang selamat terdapat Mugi, 12 tahun, di Puskesmas Karangkobar.
Tapi ayah, ibu, adik, kakaknya pastilah di antara para korban.
Selain Mugi, keluarganya semua larinya ke barat.
Lari ke timur kelihatannya menghadang bahaya. Ini cerita
Nuchori. "Karena jelas terhadang lahar," katanya. Sedang ke
barat -- artinya mendaki bukit -- belum kelihatan lahar. Karena
itu penduduk yang tidak tahu ABC-nya sumber malapetaka ini,
berbondong-bondong naik ke bukit. Justru di bukit inilah ada gas
beracun yang tidak mengenal ampun. "Musuh yang tidak kelihatan,"
tutur Nuchori, lelaki tua itu dengan sedih. Memang, yang disebut
gas beracun dari kawah Sinila itu tidak berwarna, tidak bisa
dilihat, dirasakan, kecuali membuat sesak seketika dan terkulai.
Menjelang siang, pengungsian dilakukan. Inipun masih dilingkupi
ketidaktahuan, di mana sebenarnya aman. Musuh yang tidak
berwarna tidak berbau ini sesungguhnya sukar ditebak. Dataran
ini penuh bukit-bukit kecil. Petugas kecamatan dan kepolisian
hanya membimbing pengungsi dengan cara paling mudah: menjauhi
kawah Sinila dengan dua lubangnya yang terus berasap,
Nagarunting dan Situmpuk yang berjarak sekitar 1,5 Km. Yang
terakhir ini lebih dekat dikitari desa.
Ketika petugas gunung api dan tim, dari Kabupaten Banjarnegara
datang ke daerah lokasi, barulah langkah pengungsian dilakukan
besar-besaran. Di hari Selasa itu, pemandangan yang mengerikan
terlihat. Mayat bergelimpangan di jalan-jalan setapak yang
dilalui penduduk untuk menghindarkan diri. Dengan masker anti
gas beracun, tim penolong ini berteriak-teriak menyuruh penduduk
untuk cepat mengungsi. Memang banyak yang bandel -- atau mengira
gas beracun itu telah lenyap.
Seorang staf Humas Kabupaten Banjarnegara dengan perlengkapan
"topeng penyelamat" di wajahnya mengabadikan mayat
bergelimpangan ini melalui kameranya dengan tenang saja. Baru
sore hari di Posko (yang segera dibentuk) juru potret ini
terpaku. "Luar biasa, seperti bunuh diri masal di Amerika sana,"
ujarnya kepada petugas kepolisian. Gambar juru potret dari Pemda
Banjarnegara inilah yang memenuhi halaman surat kabar -- dengan
atau tanpa menyebut Humas Pemda sebagai pemegang "hak cipta".
Tim penolong yang pertama ini mencoba untuk mengangkut mayat
yang tergeletak di sepanjang jalan menuju SD Inpres. Tapi mayat
itu begitu dipegang, hancur. Ganas benar uap laknat ini.
Sekujur tubuh korban hitam pekat, darah agak mengental terlihat
di lubang hidung, mulut dan telinga. Sukarnya mengangkut mayat,
di hari pertama Selasa itu, petugas hanya menutupi mayat itu.
"Untuk mengurangi kengerian," cerita seorang petugas di Posko.
Malam itulah mulai penduduk ramai-ramai diungsikan. Atas nasehat
para ahli gunung api, 5 desa sekitar kawah Sinila dikosongkan:
Kepucukan, Simbar, Pekasiran, Batur dan Sumber. Esoknya Desa
Pesurenan yang terletak di selatan Kepucukan juga dikosongkan.
(lihat box).
Posko Kepolisian menyebut jumlah korban sampai Rebo petang 155
orang. Lalu dokter Rustanto di Posko Wonoyoso menambahkan ada 27
korban lagi yang meninggal dalam perawatan. Tapi di Posko
Batur -- merupakan front terdepan, angka korban 135. Ini
dilaporkan Bupati Banjarnegara kepada para pejabat yang hadir.
Agaknya ini yang resmi, walaupun kemudian bertambah 2 orang.
Tidak akan bertambah? "Mudah-mudahan begitu," kata petugas di
Posko Batur yang menempati rumah dinas Camat setelah
penghuninya ikut mengungsi. Masalahnya, ada 2 buah lembah
(bukan kawah) antara Desa Kepucukan dan Pekasiran yang sampai
hari Kamis lalu belum herani didekati tim Penolong.
Korban yang meninggal karena menghirup terlalu banyak gas
beracun CO dan CO2. Korban menjadi bengkak berwarna kebiruan.
Dokter Arif Haliman, Dokabu Banjarnegara mengatakan, mereka yang
dirawat saat ini pun tipis kemungkinan akan menjadi "manusia
normal" karena terlalu banyak kemasukan gas beracun itu. "Ini
mengakibatkan penggumpalan darah, bukan saja di otak tapi di
seluruh jaringan darah," katanya kepada TEMPO. Ini akan bisa
menimhulkan terganggunya syara. Sementara tim dokter di Posko
Batur menyebutkan '65 korban dirawat sangat serius. Mereka
umumnya penduduk Desa Sayangan, suatu desa yang tidak termasuk
dikosongkan.
Jumlah pengungsi sukar dicatat karena berpencar di beberapa SD
Inpres dari desa-desa yang berjauhan. Dan harus diingat,
hubungan desa ke desa melalui jalan tanpa batu. Jika pun
berbatu, mudah terkelupas, lebih-lebih hujan. "Pokoknya
pengungsi sekitar 17 ribu ," kata Suwaji, Bupati Banjarnegara.
Urusan pengungsi ini semakin memusingkan petugas, karena ada
yang tidak mau ditampung di barak-barak (di antarlnya gedung
SD). Mereka menuju rumah-rumah penduduk. Lalu, belum apa-apa ada
yang meronta supaya diperbolehkan pulang ke desa yang sudah
dikosongkan. Ia melihat aman, tapi bagaimana mungkin, kalau gas
beracun itu sendiri tidak berwarna.
Sampai kapankah gas beracun ini akan menyebar maut? Seorang
petugas Posko di Batur yang mengutip kata-kata Ahli Vulcanologi
dari Bandung menyebut, sampai 10 hari. Inipun jika matahari
bersinar terik sehingga gas tersebut menguap. Nampaknya jinaknya
kawah Sinila dengan 2 lubangnya itu -- Nagarunting dan Situmpuk
-- lebih cepat dari perkiraan.
Tapi yang menyusul kemudian justru lubang Sigludug. Ini
lubang-lubang yang bertetangga. Dan berita terakhir yang
diterima TEMPO dari Humas Banjarnegara, adalah lebih
mengkuatirkan lagi. Kawah Sikidang sejak 22 Pebruari sore
mengepulkan asap hitam. Kawah ini persis di perbatasan Wonosobo
- Banjarnegara dan sangat dekat dengan kompleks Candi Dieng yang
jadi obyek pariwisata itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini