Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kepundan sinila itu ternyata ...

Ledakan gas beracun di kawah sinila di daratan tinggi dieng menewaskan 155 orang. korban yang meninggal karena menghirup terlalu banyak gas beracun co dan co2. (nas)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK penduduk yang merasakan adanya gempa pada dini hari yang dingin itu, 20 Pebruari. Tapi tak banyak yang segera tahu apa yang terjadi. Apalagi di dataran tinggi Dieng yang oleh penduduk sana dikenal dengan nanla Kejiwen, gempa kecil-kecilan sudah bukan hal aneh. Mereka juga tahu, kalau Nagarunting dan Situmpuk -- dua lubang kepundan di kawah Sinila -- tidak pernah bikin gara-gara. "Lubang kepundan itu mati. Anak kecil pun sering lalu lalang di atasnya," kata Muhini, 45 tahun, yang selamat di Puskesmas Karangkobar. Gempa yang pertama tadi -- menurut catatan pos ulkanologi di Karangtengah pukul 01.55 malam -- disusul gempa lebih keras. Pada saat inilah penduduk baru merasakan bau belerang. Dan lagi-lagi, bau seperti itu sudah biasa saja dicium. Dataran tinggi Dieng dengan bukit-bukit yang semuanya punya nama -- dan membingungkan, dihiasi 26 kawah yang sewaktu-waktu menyebarkan bau belerang seperti itu. Musuh Tak Berwarna Barulah ketika terdengar suara gemuruh -- menurut Muhini tanah mulai terang -- semua orang tersentak. Pandangan tertuju pada kawah Sinila ke lubang Nagarunting yang bertahun-tahun dianggap kawah paling jinak. Asap mengepul dari sini. Kabut yang tebal menyebabkan asap itu jadi samar-samar kelihatan. Penduduk mulai panik, dan saling bangun membangunkan keluarga. Ledakan menyusul, tambah keras dengan asap yang semakin menjulang dan bau semakin menyesakkan. Ledakan terakhir ini nampaknya dari mulut lubang Situmpuk. Inilah ledakan yang bikin celaka, karena juga mengeluarkan aliran lahar. Benda-benda keras dipukul di Desa Kepucukan itu, yang nyaris dikitari lahar. Orang menyerbu SD Inpres. Kepala Desa (Lurah) memerintahkan penduduk untuk lari ke arah timur. Yang lari ke timur ini terjerat lahar -- sementara memang ada beberapa yang lolos. Warga Dukuh Timbang yang hanya ratusan meter dari lubang Situmpuk ini, nyaris musnah semua. Yang selamat atau sedang dirawat umumnya lari ke timur. Belum diketahui, berapa warga Desa Kepucukan yang selamat, karena terpencar-pencar. Di antara yang selamat terdapat Mugi, 12 tahun, di Puskesmas Karangkobar. Tapi ayah, ibu, adik, kakaknya pastilah di antara para korban. Selain Mugi, keluarganya semua larinya ke barat. Lari ke timur kelihatannya menghadang bahaya. Ini cerita Nuchori. "Karena jelas terhadang lahar," katanya. Sedang ke barat -- artinya mendaki bukit -- belum kelihatan lahar. Karena itu penduduk yang tidak tahu ABC-nya sumber malapetaka ini, berbondong-bondong naik ke bukit. Justru di bukit inilah ada gas beracun yang tidak mengenal ampun. "Musuh yang tidak kelihatan," tutur Nuchori, lelaki tua itu dengan sedih. Memang, yang disebut gas beracun dari kawah Sinila itu tidak berwarna, tidak bisa dilihat, dirasakan, kecuali membuat sesak seketika dan terkulai. Menjelang siang, pengungsian dilakukan. Inipun masih dilingkupi ketidaktahuan, di mana sebenarnya aman. Musuh yang tidak berwarna tidak berbau ini sesungguhnya sukar ditebak. Dataran ini penuh bukit-bukit kecil. Petugas kecamatan dan kepolisian hanya membimbing pengungsi dengan cara paling mudah: menjauhi kawah Sinila dengan dua lubangnya yang terus berasap, Nagarunting dan Situmpuk yang berjarak sekitar 1,5 Km. Yang terakhir ini lebih dekat dikitari desa. Ketika petugas gunung api dan tim, dari Kabupaten Banjarnegara datang ke daerah lokasi, barulah langkah pengungsian dilakukan besar-besaran. Di hari Selasa itu, pemandangan yang mengerikan terlihat. Mayat bergelimpangan di jalan-jalan setapak yang dilalui penduduk untuk menghindarkan diri. Dengan masker anti gas beracun, tim penolong ini berteriak-teriak menyuruh penduduk untuk cepat mengungsi. Memang banyak yang bandel -- atau mengira gas beracun itu telah lenyap. Seorang staf Humas Kabupaten Banjarnegara dengan perlengkapan "topeng penyelamat" di wajahnya mengabadikan mayat bergelimpangan ini melalui kameranya dengan tenang saja. Baru sore hari di Posko (yang segera dibentuk) juru potret ini terpaku. "Luar biasa, seperti bunuh diri masal di Amerika sana," ujarnya kepada petugas kepolisian. Gambar juru potret dari Pemda Banjarnegara inilah yang memenuhi halaman surat kabar -- dengan atau tanpa menyebut Humas Pemda sebagai pemegang "hak cipta". Tim penolong yang pertama ini mencoba untuk mengangkut mayat yang tergeletak di sepanjang jalan menuju SD Inpres. Tapi mayat itu begitu dipegang, hancur. Ganas benar uap laknat ini. Sekujur tubuh korban hitam pekat, darah agak mengental terlihat di lubang hidung, mulut dan telinga. Sukarnya mengangkut mayat, di hari pertama Selasa itu, petugas hanya menutupi mayat itu. "Untuk mengurangi kengerian," cerita seorang petugas di Posko. Malam itulah mulai penduduk ramai-ramai diungsikan. Atas nasehat para ahli gunung api, 5 desa sekitar kawah Sinila dikosongkan: Kepucukan, Simbar, Pekasiran, Batur dan Sumber. Esoknya Desa Pesurenan yang terletak di selatan Kepucukan juga dikosongkan. (lihat box). Posko Kepolisian menyebut jumlah korban sampai Rebo petang 155 orang. Lalu dokter Rustanto di Posko Wonoyoso menambahkan ada 27 korban lagi yang meninggal dalam perawatan. Tapi di Posko Batur -- merupakan front terdepan, angka korban 135. Ini dilaporkan Bupati Banjarnegara kepada para pejabat yang hadir. Agaknya ini yang resmi, walaupun kemudian bertambah 2 orang. Tidak akan bertambah? "Mudah-mudahan begitu," kata petugas di Posko Batur yang menempati rumah dinas Camat setelah penghuninya ikut mengungsi. Masalahnya, ada 2 buah lembah (bukan kawah) antara Desa Kepucukan dan Pekasiran yang sampai hari Kamis lalu belum herani didekati tim Penolong. Korban yang meninggal karena menghirup terlalu banyak gas beracun CO dan CO2. Korban menjadi bengkak berwarna kebiruan. Dokter Arif Haliman, Dokabu Banjarnegara mengatakan, mereka yang dirawat saat ini pun tipis kemungkinan akan menjadi "manusia normal" karena terlalu banyak kemasukan gas beracun itu. "Ini mengakibatkan penggumpalan darah, bukan saja di otak tapi di seluruh jaringan darah," katanya kepada TEMPO. Ini akan bisa menimhulkan terganggunya syara. Sementara tim dokter di Posko Batur menyebutkan '65 korban dirawat sangat serius. Mereka umumnya penduduk Desa Sayangan, suatu desa yang tidak termasuk dikosongkan. Jumlah pengungsi sukar dicatat karena berpencar di beberapa SD Inpres dari desa-desa yang berjauhan. Dan harus diingat, hubungan desa ke desa melalui jalan tanpa batu. Jika pun berbatu, mudah terkelupas, lebih-lebih hujan. "Pokoknya pengungsi sekitar 17 ribu ," kata Suwaji, Bupati Banjarnegara. Urusan pengungsi ini semakin memusingkan petugas, karena ada yang tidak mau ditampung di barak-barak (di antarlnya gedung SD). Mereka menuju rumah-rumah penduduk. Lalu, belum apa-apa ada yang meronta supaya diperbolehkan pulang ke desa yang sudah dikosongkan. Ia melihat aman, tapi bagaimana mungkin, kalau gas beracun itu sendiri tidak berwarna. Sampai kapankah gas beracun ini akan menyebar maut? Seorang petugas Posko di Batur yang mengutip kata-kata Ahli Vulcanologi dari Bandung menyebut, sampai 10 hari. Inipun jika matahari bersinar terik sehingga gas tersebut menguap. Nampaknya jinaknya kawah Sinila dengan 2 lubangnya itu -- Nagarunting dan Situmpuk -- lebih cepat dari perkiraan. Tapi yang menyusul kemudian justru lubang Sigludug. Ini lubang-lubang yang bertetangga. Dan berita terakhir yang diterima TEMPO dari Humas Banjarnegara, adalah lebih mengkuatirkan lagi. Kawah Sikidang sejak 22 Pebruari sore mengepulkan asap hitam. Kawah ini persis di perbatasan Wonosobo - Banjarnegara dan sangat dekat dengan kompleks Candi Dieng yang jadi obyek pariwisata itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus