TAMBAH makmurkah rakyat Indonesia selama sepuluh tahun terakhir
ini? Pertanyaan ini telah menggoda banyak kalangan, tapi sejauh
ini belum terdapat jawaban yang pasti. Soalnya menghadapi hal
ini, orang akan berada dalam situasi bahwa apa yang dilihat
belum tentu benar. Bahwa sepuluh tahun terakhir ini sesudah dua
kali Pelita, sudah terjadi banyak perobahan pada ekonomi
Indonesia memang tidak dapat disangkal. Siapapun yang melakukan
perjalanan menyelusuri pulau Jawa akan melihat jelas hal ini:
Jalan-jalan tambah mulus, untuk bepergian dari satu kota kecil
ke desa terpencil, rakyat kecil tak kekurangan kolt dan kereta
api. Listrik, tv apalagi radio ransistor makin menjamah banyak
pelosok. Tapi apakah yang terlihat ini merupakan pertanda bahwa
rakyat Indonesia sudah bebas miskin, tak ada yang tahu.
Yang tergoda oleh pertanyaan ini salah satunya adalah Bank
Dunia. Dalam laporannya yang terakhir tentang ekonomi Indonesia
sebanyak 106 halaman seperti disiarkan The Aszan Wall Street
Journal baru-baru ini para penyusun laporan tersebut berusaha
menjawab pertanyaan: sejauh mana 137 juta rakyat Indonesia kini
kehidupannya lebih baik dibanding sepuluh tahun lalu? Laporan
ini jelas akan sedikit mendebarkan pemerintah karena akan
diedarkan di antara anggota IGGI, donatur yang diharapkan akan
menyumbang US$ 15 milyard kepada Indonesia selama Repelita III.
Dari laporan tersebut kelihatan bahwa memang ada beberapa hasil
yang cukup cerah selama ini. Ditulisnya antara lain: "secara
absolut hasil pertumbuhan telah ikut dinikmati oleh golongan
berpenghasilan terendah dan bahwa perbandingan orang miskin dari
seluruh penduduk turun." Laporan itu juga mengatakan konsumsi
per kapita naik secara riil di daerah kota dan desa di Jawa dan
di luar Jawa antara 1971-1976. Ini memang dengan sendirinya,
karena bagaimana konsumsi akan naik kalau penghasilan tak
bertambah?
Tapi dari laporan itu juga kelihatan masih banyak segi yang
muram dari hasil pembangunan selama ini. Dikatakannya,
kemiskinan masih merajalela, terutama di Jawa, dan
ditunjukkannya satu studi yang dilakukan pada 1976 yang
mengungkapkan bahwa lebih dari 50 juta penduduk Jawa (40% jumlah
seluruhnya) kempas-kempis menyambung hidupnya hanya dengan 100
perak sehari. "Bagi jutaan orang, kesempatan untuk melepaskan
diri dari kemiskinan ini tidak begitu cerah," tulis laporan Bank
Dunia itu selanjutnya. "Dan bagi sebagian lainnya, kedudukan
ekonominya bahkan bisa memburuk di masa mendatang."
Arit
Laporan itu juga mengutip sensus 1976 yang mengungkapkan bahwa
sekitar 10 sampai 12 juta rumah tangga di pedesaan Jawa tidak
punya tanah yang cukup memberi penghasilan. Dan dari mereka yang
punya tanah, sebagian besar hanya memiliki di bawah 1 hektar
Yang dikhawatirkan Bank Dunia adalah meningkatnya pengangguran
di pedesaan, di mana jumlahnya meningkat dari 4,8% jumlah
tenaga kerja menjadi 6,4%. Disinyalir oleh laporan tersebut
bahwa perobahan! ada cara panen dan penggilingan padi telah
menutup pintu bagi tenaga kerja di desa yang modalnya hanya
keahlian menggunakan pacul dan arit. Cara bertani yang makin
kurang padat karya ini menurut laporan itu akan merupakan sumber
ketegangan pada struktur ekonomi desa.
Memang tak ada yang lebih gawat bagi ekonomi Indonesia dari pada
menyediakan lapangan kerja buat 1,6 juta tenaga kerja yang
setiap tahunnya memasuki pasaran. Proyek padat karya di
desa-desa bisa menghisap tenaga kerja, tapi proyek semacam ini
bukan tak tanpa batas.
Karena itu sudah saatnya sekarang pemerintah memikirkan
pemberian perangsang bagi industri yang padat karya. Mungkin
dalam kaitan inilah Departemen Perindustrian merencanakan untuk
membatasi sekitar 500 jenis industri hanya untuk industri kecil
dan menengah, yang diharapkan bisa memanfaatkan tenaga kerja
lebih banyak lewat tehnik produknya yang sederhana.
Ketimpangan dalam pembagian hasil pembangunan juga merupakan
satu hal yang dicatat laporan Bank Dunia itu. Dikemukakan bahwa
kemakmuran di kota-kota bertambah jauh lebih cepat dari
pedesaan. Karena itu konsumsi di kota-kota naik dengan 4% sampai
7%, setiap tahun, sedangkan pertambahan konsumsi di pedesaan
hanya naik 2% sampai 3%.
Hasil pembangunan yang belum merata ini memang diakui sendiri
oleh Presiden Suharto. Dalam wawancaranya dengan penerbitan yang
sama Z1 Pebruari, Presiden memberi kesan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang cepat masih tetap merupakan prioritas Indonesia.
"Pembagian yang lebih merata tidak akan bisa direalisir tanpa
pembangunan ekonomi yang cukup cepat," kata Presiden. "Dan kalau
kita menekankan lebih meratanya pembagian pendapatan tanpa
pertumbuhan ekonomi, maka yang akan terjadi hanyalah pemerataan
kemiskinan." "Saya rasa pembagian kemiskinan bukanlah strategi
pembangunan yang baik."
Tapi orang tak perlu buru-buru menelan semua apa yang dikatakan
laporan dari lembaga yang dipimpin Robert Mc Namara tersebut.
Seperti diakui penyusunnya, laporan tersebut tidak didasarkan
atas data yang lengkap, sesuatu yang memang sulit diperoleh di
sini. Para penyusunnya menyebut laporannya sebagai "pengintaian
awal" terhadap kesempatan kerja dan pendapatan di Indonesia.
Diakuinya kurangnya data menyebabkan analisa yang definitif
tidak mungkin. Asal IGGI tahu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini