Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Asal IGGI Tahu Saja

Laporan Bank Dunia tentang perkembangan ekonomi Indonesia, laporan tersebut akan dibagikan kepada para anggota IGGI dan kemungkinan akan mempengaruhi bantuan asing untuk Indonesia.(eb)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMBAH makmurkah rakyat Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini? Pertanyaan ini telah menggoda banyak kalangan, tapi sejauh ini belum terdapat jawaban yang pasti. Soalnya menghadapi hal ini, orang akan berada dalam situasi bahwa apa yang dilihat belum tentu benar. Bahwa sepuluh tahun terakhir ini sesudah dua kali Pelita, sudah terjadi banyak perobahan pada ekonomi Indonesia memang tidak dapat disangkal. Siapapun yang melakukan perjalanan menyelusuri pulau Jawa akan melihat jelas hal ini: Jalan-jalan tambah mulus, untuk bepergian dari satu kota kecil ke desa terpencil, rakyat kecil tak kekurangan kolt dan kereta api. Listrik, tv apalagi radio ransistor makin menjamah banyak pelosok. Tapi apakah yang terlihat ini merupakan pertanda bahwa rakyat Indonesia sudah bebas miskin, tak ada yang tahu. Yang tergoda oleh pertanyaan ini salah satunya adalah Bank Dunia. Dalam laporannya yang terakhir tentang ekonomi Indonesia sebanyak 106 halaman seperti disiarkan The Aszan Wall Street Journal baru-baru ini para penyusun laporan tersebut berusaha menjawab pertanyaan: sejauh mana 137 juta rakyat Indonesia kini kehidupannya lebih baik dibanding sepuluh tahun lalu? Laporan ini jelas akan sedikit mendebarkan pemerintah karena akan diedarkan di antara anggota IGGI, donatur yang diharapkan akan menyumbang US$ 15 milyard kepada Indonesia selama Repelita III. Dari laporan tersebut kelihatan bahwa memang ada beberapa hasil yang cukup cerah selama ini. Ditulisnya antara lain: "secara absolut hasil pertumbuhan telah ikut dinikmati oleh golongan berpenghasilan terendah dan bahwa perbandingan orang miskin dari seluruh penduduk turun." Laporan itu juga mengatakan konsumsi per kapita naik secara riil di daerah kota dan desa di Jawa dan di luar Jawa antara 1971-1976. Ini memang dengan sendirinya, karena bagaimana konsumsi akan naik kalau penghasilan tak bertambah? Tapi dari laporan itu juga kelihatan masih banyak segi yang muram dari hasil pembangunan selama ini. Dikatakannya, kemiskinan masih merajalela, terutama di Jawa, dan ditunjukkannya satu studi yang dilakukan pada 1976 yang mengungkapkan bahwa lebih dari 50 juta penduduk Jawa (40% jumlah seluruhnya) kempas-kempis menyambung hidupnya hanya dengan 100 perak sehari. "Bagi jutaan orang, kesempatan untuk melepaskan diri dari kemiskinan ini tidak begitu cerah," tulis laporan Bank Dunia itu selanjutnya. "Dan bagi sebagian lainnya, kedudukan ekonominya bahkan bisa memburuk di masa mendatang." Arit Laporan itu juga mengutip sensus 1976 yang mengungkapkan bahwa sekitar 10 sampai 12 juta rumah tangga di pedesaan Jawa tidak punya tanah yang cukup memberi penghasilan. Dan dari mereka yang punya tanah, sebagian besar hanya memiliki di bawah 1 hektar Yang dikhawatirkan Bank Dunia adalah meningkatnya pengangguran di pedesaan, di mana jumlahnya meningkat dari 4,8% jumlah tenaga kerja menjadi 6,4%. Disinyalir oleh laporan tersebut bahwa perobahan! ada cara panen dan penggilingan padi telah menutup pintu bagi tenaga kerja di desa yang modalnya hanya keahlian menggunakan pacul dan arit. Cara bertani yang makin kurang padat karya ini menurut laporan itu akan merupakan sumber ketegangan pada struktur ekonomi desa. Memang tak ada yang lebih gawat bagi ekonomi Indonesia dari pada menyediakan lapangan kerja buat 1,6 juta tenaga kerja yang setiap tahunnya memasuki pasaran. Proyek padat karya di desa-desa bisa menghisap tenaga kerja, tapi proyek semacam ini bukan tak tanpa batas. Karena itu sudah saatnya sekarang pemerintah memikirkan pemberian perangsang bagi industri yang padat karya. Mungkin dalam kaitan inilah Departemen Perindustrian merencanakan untuk membatasi sekitar 500 jenis industri hanya untuk industri kecil dan menengah, yang diharapkan bisa memanfaatkan tenaga kerja lebih banyak lewat tehnik produknya yang sederhana. Ketimpangan dalam pembagian hasil pembangunan juga merupakan satu hal yang dicatat laporan Bank Dunia itu. Dikemukakan bahwa kemakmuran di kota-kota bertambah jauh lebih cepat dari pedesaan. Karena itu konsumsi di kota-kota naik dengan 4% sampai 7%, setiap tahun, sedangkan pertambahan konsumsi di pedesaan hanya naik 2% sampai 3%. Hasil pembangunan yang belum merata ini memang diakui sendiri oleh Presiden Suharto. Dalam wawancaranya dengan penerbitan yang sama Z1 Pebruari, Presiden memberi kesan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat masih tetap merupakan prioritas Indonesia. "Pembagian yang lebih merata tidak akan bisa direalisir tanpa pembangunan ekonomi yang cukup cepat," kata Presiden. "Dan kalau kita menekankan lebih meratanya pembagian pendapatan tanpa pertumbuhan ekonomi, maka yang akan terjadi hanyalah pemerataan kemiskinan." "Saya rasa pembagian kemiskinan bukanlah strategi pembangunan yang baik." Tapi orang tak perlu buru-buru menelan semua apa yang dikatakan laporan dari lembaga yang dipimpin Robert Mc Namara tersebut. Seperti diakui penyusunnya, laporan tersebut tidak didasarkan atas data yang lengkap, sesuatu yang memang sulit diperoleh di sini. Para penyusunnya menyebut laporannya sebagai "pengintaian awal" terhadap kesempatan kerja dan pendapatan di Indonesia. Diakuinya kurangnya data menyebabkan analisa yang definitif tidak mungkin. Asal IGGI tahu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus