TIDAK mengagetkan kalau PT Pupuk Sriwijaya oleh pemerintah
ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab dalam pengadaan dan
penyaluran pupuk untuk Bimas dan non-Bimas. Sementara PT
Pertani yang bernaung di bawah Departemen Pertanian mendapat
tugas dalam pengadaan dan penyaluran pestisida bersubsidi, yakni
obat pemberantas hama yang belakangan ini kian banyak menyerang
sawah petani. Keputusan yang berlaku 15 Pebruari itu meliputi
semua lini: Mulai dari impor atau gudang pabrik sampai ke
Wilayah Unit Desa (Wilud).
Dan yang baru buat Pusri adalah ia harus menyalurkan pupuk
sampai ke Wilud itu yang disebut lini IV. Sebelumnya Pusri hanya
menyalurkan pupuknya sampai tingkat kabupaten. "Ke Wilud ini
merupakan tugas dan tanggung jawab tambahan bagi kami," kata ir
Sudaryono Mustafa, Kepala Pusat Pengembangan & Proyek PT Pusri
kepada TEMPO pekan lalu. Dengan begitu semua produksi pupuk
Urea, Tripple Superphosplate (TSP) dan Diamonium Phosphate
(DAP) dari PT Pupuk Kujang dan PT Petrokimia Gresik dipasarkan
oleh Pusri.
Sebagai pabrik pupuk pertama di Indonesia dan terbesar di ASEAN
sampai saat ini Pusri memiliki aparat distribusi yang cukup
lengkap, antara lain 4 kapal curah @ 7.500 DWT. Lalu ada 6
pabrik pengantongan pupuk dari kapal curah ini yang terdapat di
Belawan, Teluk Bayur (Padang), Tanjung Priok, Cilacap,
Surabaya dan di Ujung Pandang. Dua pabrik kantong plastiknya
sendiri terdapat di Palembang (Bagor I & II) berkapasitas 32
juta lembar karung setahun.
Selain itu Pusri juga mempunyai 175 gerbong kereta api khusus
dengan 7 buah lokomotif yang dioperasikan PJKA. Di 11 propinsi
ia mempunyai 57 gudang berdaya tampung 2.500 - 10.000 ton. Yang
belum dimilikinya adalah kios-kios pupuk di Wilud. "Tapi kalau
BUUD/KUD tak mampu mendirikan itu maka Pusri terpaksa akan
membuka kios di desa," kata Sudaryono pula.
Harga eceran tertinggi pupuk DAP di kios KUD dan pengecer
lainnya adalah Rp 90 per kg. Urea dan TSP yang sebelum Kenop-15
berharga Rp 70 sekilo tetap tidak berubah, meskipun harga
pembelian gabah kering di lumbung desa telah naik menjadi Rp 85
sekilo. Namun harga Urea yang Rp 70 sekilo itu jauh di bawah
harga sebenarnya yang bisa mencapai Rp 92,75/kg bila didasarkan
harga ekspor US$ 150 per ton FOB. Sehingga terdapat selisih
harga dalam negeri dan ekspor sekitar Rp 22,75 sekilo. Namun
sasaran utamanya bukanlah ekspor tapi untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri.
Uang Kontan
Para penyalur yang selama ini menyalurkan pupuk tetap
dipertahankan. Mereka ini terdiri dari PT-PT Niaga Negara,
swasta, Poskud yang berjumlah sekitar 40 perusahaan. Agar
masing-masing pihak tidak melepaskan tanggungjawabnya Dirjen
Perdagangan Dalam negeri Deperdagkop, Kardjono menetapkan aturan
permainan. Misalnya tiap akhir bulan para penyalur wajib
mengadakan stok 2 bulan di gudang kabupaten. Dan di Wilud harus
tersedia stok untuk kebutuhan 1 bulan berikutnya. "Kalau tidak
dipenuhi akan diganti dengan penyalur lain yang ditunjuk oleh
Pusri. Atau untuk pestisida dilakukan oleh PT Pertani," kata
Kardjono.
Para penyalur yang tergabung dalam Persatuan Penyalur Saprotan
Pusri (PPSP) menyambut baik pola baru ini. Sebab di samping
diberi tanggungjawab dan wewenang juga diberi kepastian usaha
selama 5 tahun. Untuk itu ia harus pula membina pengembangan
kegiatan Koperasi Unit Desa (KUD).
Para penyalur juga wajlb mengumpulkan Surat Pemberitahuan
Pemindah Bukuan (SPPB) dari KUD dan pengecer swasta lainnya.
Seperti diketahui dalam rangka Bimas, petani memperoleh secarik
kertas dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang disebut SPPB.
Dengan surat ini petani pergi ke kios KUD atau kios penyalur
swasta lainnya untuk ditukar dengan sarana produksi pertanian
alias pupuk. Para penyalur kemudian menyetor SPPB ini ke BRI
yang seterusnya dianggap sebagai uang yang dikreditir ke
rekening si penyalur pupuk.
Namun rupanya "oleh sementara penyalur SPPB ini dapat juga
digunakan. untuk manfaat lain," tutur seorang ahli pertanian.
Mereka menawarkan kepada si petani pemegang SPPB itu uang kontan
dan bukannya menukarkannya dengan pupuk. Karena surat bukti
penyerahan pupuk itu dinilai murah oleh penyalur maka si
pedagang pupuk memperoleh untung lebih besar bila menyetorkannya
ke BRI. Akibatnya sasaran peningkatan produksi tidak tercapai
dan kredit Bimas pun menjadi macet.
Di Jawa Barat misalnya pupuk yang disediakan untuk satu
kabupaten oleh penyalur dimutasikan ke daerah lain dan hasil
penjualannya tidak disetor ke BRI yang menimbulkan kerugian bagi
Pusri. Penyelewengan itu antara lain karena stok jauh melebihi
kebutuhan, kurangnya tanggungjawab penyalur di lini III dan IV
serta lemahnya pengawasan. Sampai kini "tunggakan para penyalur
cukup besar," kata Sudaryono Mustafa. Sebagian besar tunggakan
itu menurut pejabat Pusri itu "karena adanya sistim konsinyasi
dulu tanpa jaminan dan tanpa batas waktu."
Dengan pola yang baru sekarang tampaknya kelemahan dalam
penyaluran dicoba untuk diatasi. Kini Pusri membatasi kreditnya
selama 4 bulan. Itu pun penyalur harus menyerahkan bank garansi
100% dari harga pupuk yang disalurkannya. Para penyalur
membayarnya dengan menyerahkan SPPB ke BRI ditambah uang tunai
bagi penjualan puDuk untuk Inmas dalam dua minggu. KUD yang
menerima pupuk atau pestisida dari penyalur harus dijamin dengan
bank garansi dari Cabang BRI.
Dan untuk membina dan pengembangan KUD yang menjual pupuk
diharuskan wajib tabung sebesar Rp 0,50 dari setiap kilo pupuk
yang dijualnya. Rayonering operasi penyaluran yang dulunya
ditentukan oleh Badan Pelaksana (Bapel) Bimas kini ditentukan
oleh Pusri yang berlaku 5 tahun.
Untuk menetapkan alokasi masing-masing daerah kini cukup dengan
satu SK yakni dari Menteri Pertanian. Dulu, selain ada SK
Mentan, para Gubernur dan Bupati juga mengeluarkan SK untuk
alokasi daerahnya masing-masing. "Kadang-kadang SK Bupati itu
melebihi kuasa Mentan," kata seorang pejabat Pertanian. Terlalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini