Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

2004: Tahun SBY dan Kalla

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saiful Mujani
  • Direktur Riset Freedom Institute, peneliti utama Lembaga Survei Indonesia

    Tidak ada peristiwa politik paling penting sepanjang tahun 2004 selain pemilihan umum yang dilaksanakan tiga kali setahun dan sukses. Yang lebih khusus dari tahun tersebut adalah pemilihan presiden secara langsung. Kalau pemilu legislatif yang berlangsung secara demokratis dan sukses sudah terjadi sebelumnya, tahun 1955 dan tahun 1999. Pemilu presiden tersebut bukan saja peristiwa politik penting tahun 2004 tapi juga sebuah peristiwa historis bagi Indonesia karena pertama kali terjadi sejak republik ini berdiri.

    Pemilu presiden tersebut telah mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Indonesia. Kemenangan SBY tersebut juga mengukir peristiwa politik penting negeri ini. SBY telah memporak-porandakan kekuatan partai politik, sentimen politik yang bertumpu pada ikatan primordial dan ikatan kelas sosial. SBY hanya dicalonkan oleh Partai Demokrat, sebuah partai yang baru muncul tahun 2004, dan hanya berkekuatan elektoral sekitar 7 persen.

    Ia meruntuhkan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid yang didukung Partai Golkar, partai paling besar, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai terbesar ketiga. SBY juga mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, yang sering disebut sebagai pasangan perkawinan kaum santri dan abangan; kaum nasionalis dan kaum agamis; tradisi PNI atau soekarnoisme dan tradisi muslim tradisionalis. Juga mengalahkan Amien Rais sang tokoh reformasi, tokoh Muhammadiyah, dan pemimpin Partai Amanat Nasional (PAN). SBY merontokkan partai politik, soekarnoisme, dan sekaligus kekuatan politik ormas Islam besar (NU dan Muhammadiyah). Ia membuat sosiologi dan khususnya aliran politik Indonesia lumpuh.

    SBY juga membuat kelas sosial menjadi tidak penting dalam peristiwa historis Indonesia tersebut. Ia memang pernah menjadi jenderal, sebuah status sosial-politik dan ekonomi yang sangat tinggi pada masa Orde Baru.

    Tapi, kalau faktor karier tentara yang menentukan suksesnya, bukan SBY yang seharusnya menjadi presiden, tapi Wiranto, yang lebih mencerminkan sukses seorang tentara. Kenyataannya Wiranto, yang bersinar lebih terang dalam karier ketentaraannya, dibuatnya bertekuk lutut pula. SBY memang tidak bersaing dengan tokoh kelas atas bangsa ini yang secara tradisional dapat diwakili, misalnya oleh Sultan. Tapi tidak hadirnya tokoh sekelas Sultan dalam kompetisi politik nasional menandakan bahwa aristokratisme tidak penting bagi politik Indonesia mutakhir.

    SBY juga memang tidak bersaing dengan salah satu anggota Keluarga Cendana, yang dapat dikatakan mewakili keluarga paling kaya di negeri ini. Tapi ketidakhadiran satu di antara anggota keluarga tersebut dalam persaingan yang menentukan juga menandakan bahwa kekayaan bukan segala-galanya dalam politik Indonesia. Kalaupun SBY bagian dari anggota masyarakat menengah Indonesia, jelas dia bukan salah satu tokohnya. Jadi, kelas sosial tidak menentukan dalam persaingan bagi posisi kekuasaan tertinggi di negeri ini.

    Sukses SBY membuat kita gagap menjelaskan kenapa seorang anak negeri sukses menaiki tangga kekuasaan tersebut. Begitu gagapnya, kadang-kadang muncul penjelasan mistis: SBY memang sudah ditakdirkan demikian. Ada kekuatan supernatural yang membuat SBY sukses. Muncul kemudian pembicaraan bahwa SBY memang seorang yang percaya pada kekuatan-kekuatan mistis. Kemenangan SBY ternyata bukan hanya melumpuhkan partai dan sosiologi politik Indonesia, tapi juga melumpuhkan cara berpikir, dari cara yang normal ke paranormal.

    Tapi saya masih percaya bahwa sukses SBY merupakan fenomena yang masih bisa dinalar. Memang ada momentum yang spesifik menguntungkannya. Dibanding tokoh-tokoh politik nasional yang lain, SBY-lah satu-satunya yang punya hubungan unik dengan Presiden Megawati ketika itu. Ia adalah tokoh yang mengundurkan diri dari kabinet Abdurrahman Wahid karena perbedaan prinsip antara keduanya. Waktu itu Gus Dur menginginkan agar SBY menjalankan dekrit keadaan darurat tapi SBY menolaknya.

    Ternyata Gus Dur yang tersingkir. Jalan kemudian menjadi terbuka untuk Megawati menjadi orang nomor satu. Sikap SBY itu melahirkan simpati dan kekaguman di kalangan prodemokrasi. SBY kemudian menjadi tokoh ketika demokrasi kita hampir saja terganggu secara serius. Di atas semua itu jalan menjadi terbuka untuk Megawati menjadi presiden, dan sangat pantas kalau kemudian Mega meminta SBY kembali menduduki jabatannya semula, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

    Dalam perjalanannya di bawah kepemimpinan Megawati, SBY menjadi sangat menonjol di mata publik karena masalah keamanan bermunculan dan memerlukan tanggung jawabnya. Dia kemudian menjadi bintang di media massa. Itu pada 2003. Megawati dan pendukung di sekitarnya melihat menguatnya popularitas SBY menenggelamkan popularitas Mega, padahal pemilu presiden semakin dekat. Akibatnya, tugas-tugas SBY dibatasi. Megawati sendiri yang ingin tampil ke permukaan. SBY bereaksi bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi dalam posisi sebagai menteri koordinator. Dia mengajukan surat pengunduran. Megawati dan orang-orang kepercayaan di sekitarnya merespons secara kurang populer. Terkesan Kepala Negara main-main dengan masalah yang serius. Muncul reaksi dari lingkungan Megawati bahwa kelakuan SBY tersebut seperti anak-anak. Media meliput besar-besaran peristiwa pelecehan ini. Kemudian publik melihat SBY sebagai orang yang dihinakan dan dipermalukan oleh seorang kepala negara yang terhormat.

    Reaksi-reaksi Megawati kemudian memperlemah dirinya, dan mengangkat popularitas SBY. Masyarakat kemudian simpati kepada SBY sebagai korban dari kesewenang-wenangan Presiden.

    Rekaman jajak pendapat umum menunjukkan lonjakan popularitas SBY memuncak pada Maret 2004. Bulan ini adalah bulan kemenangan popularitas pertama SBY atas Megawati. Sejak itu, popularitas SBY terus melambung, dan bersamaan dengan itu SBY juga melambungkan popularitas Partai Demokrat yang dibuat untuk mendukungnya. Tidak ada kekuatan yang dapat menghentikan laju popularitasnya. Tapi kerja keras partai politik, terutama Golkar dan PDI Perjuangan, sempat menghentikan laju tersebut. Dalam pemilu putaran pertama SBY mendapat suara di bawah perkiraan berbagai survei. Tapi laju menurun itu kemudian terhenti ketika menjelang pemilu putaran kedua bom meledak di depan Kedutaan Besar Australia. Habislah Mega dan Koalisi Kebangsaan yang mendukungnya.

    Jadi, ada hubungan historis yang unik antara SBY dan Mega, dan peristiwa keamanan yang terjadi menjelang pemilihan umum. Tidak ada tokoh lain yang punya hubungan unik seperti itu. Tidak Amien, tidak juga Wiranto. Tahun 2003 dan 2004 betul-betul milik SBY.

    Bersamaan dengan hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa yang unik tersebut, gaya dan penampilan SBY makin disukai masyarakat. Di mata publik SBY adalah pribadi yang santun, tenang, dan peduli pada masyarakat. SBY dipilih bukan hanya oleh orang kota, tapi juga orang desa. Bukan hanya yang terpelajar tapi juga yang kurang terpelajar. Bukan hanya pendukung Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera tapi oleh umumnya pemilih partai lain, kecuali PDI Perjuangan. Pemilih Golkar, misalnya, adalah juga pemilih SBY.

    Popularitas SBY juga mendongkrak popularitas pendampingnya, Jusuf Kalla, sama seperti ketika SBY mendongkrak popularitas Partai Demokrat. Menjelang pemilihan umum presiden 2004, Kalla tidak mengimbangi popularitas SBY. Setelah jadi wakil presiden sekarang ini dia masuk ke dalam gerbong popularitas SBY sehingga sekarang juga sudah jauh lebih populer. Persepsi positif terhadap Kalla semakin kuat. Tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja Kalla sebagai wakil presiden dan SBY sebagai presiden sekarang berada pada tingkat yang kurang lebih sama (pada survei November, Kalla: 77,6 persen, SBY: 79,7 persen). Ini berbeda dengan gambaran tiga bulan sebelumnya, yakni popularitas Kalla yang masih 56 persen, di bawah SBY yang 78,9 persen.

    Kemajuan popularitas Kalla bisa berarti positif bagi pemerintah secara keseluruhan, terutama bagi pasangan SBY-Kalla sendiri. Masyarakat makin puas atas kerjanya, berarti masyarakat makin menerima pasangan ini.

    Tapi cerita politik 2004 tak berakhir di situ. Ada peristiwa politik lain yang tidak kalah fenomenal: Kalla terpilih menjadi Ketua Golkar. Ia terpilih ketika popularitasnya kurang lebih sama dengan SBY. Apakah kemudian Kalla akan menjadi pesaing SBY dari dalam untuk Pemilu 2009 nanti? Memang masih terlalu jauh tapi pantas mendapat perhatian, karena akan banyak mempengaruhi kinerja pemerintah SBY.

    Kalau pemerintah sukses dalam memenuhi harapan-harapan pemilih, Kalla akan menjadi semakin populer bersama-sama dengan SBY. Tapi yang akan paling diingat orang adalah presidennya, bukan wakil presidennya. Karena itu, sukses pemerintah akan memperkuat SBY dan juga Kalla bila mereka tetap bersatu. Kalau mereka sukses, secara teoretis mereka akan dipilih lagi untuk jadi presiden nanti kalau mereka masih sama-sama.

    Tapi Kalla sekarang Ketua Golkar, partai paling besar, dan mungkin akan menjadi lebih besar lagi ke depan. Sulit dibayangkan sebuah partai besar tidak menginginkan posisi presiden. Setidaknya desakan akan kuat dari bawah. Logis kemudian kalau Kalla dicalonkan oleh Golkar nanti.

    Tapi belum tentu Kalla mampu mengalahkan SBY. Sebab, jika pemerintahan SBY sukses, reward akan diberikan kepada orang nomor 1. Kalau begitu, apakah Kalla akan bekerja kontraproduktif agar kinerja pemerintah buruk sehingga SBY menjadi buruk pula? Bukan hanya orang gila yang bisa bekerja demikian, tapi juga Kalla akan dipersepsikan sebagai bagian utama dari kegagalan pemerintah. Karena itu tidak ada pilihan yang paling realistis bagi Kalla kecuali menjaga keutuhan pasangan SBY-Kalla hingga Pemilu 2009. Keduanya bisa maju kembali dalam pemilu tersebut.

    Itu berarti Golkar harus mendukung SBY sebagai presiden. Dukungan itu harus sudah dilakukan sejak sekarang. Kalau tadinya Golkar dibayangkan akan bersaing kuat dengan Partai Demokrat, sekarang keduanya layak berada dalam satu gerbong. Ini bukan suatu hal yang tidak mungkin bagi elite Golkar yang tidak punya tradisi sebagai partai oposisi. Dipilihnya Kalla sebagai Ketua Golkar, dan bergabungnya Agung Laksono pada Kalla, membuktikan tidak adanya tradisi oposisi itu di tubuh Golkar.

    Politik Indonesia tahun 2004 luar biasa pengaruhnya terhadap perubahan peta politik nasional kita. Golkar yang tadinya mencoba menjadi oposisi kemudian berubah menjadi bagian dari pemerintah. Kekuatan oposisi di DPR kemudian menjadi mengecil, tinggal PDI Perjuangan. SBY dan Kalla adalah aktor utama dari perubahan-perubahan besar ini, dan keduanya akan menentukan politik kita pada tahun-tahun mendatang. Akan sukseskah mereka dengan hampir 80 persen kekuatan politik berada di tangan kedua tokoh ini? Apa lagi yang ditunggu. Semua sudah ada di situ.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus