Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kematian-Kematian yang Bercerita

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Munir "pulang" ketika pesawat yang membawanya belum lagi menyentuh aspal Bandara Schiphol….

Di negeri ini, kita acap menjumpai fenomena menyedihkan: hanya kematian yang membuat orang-orang pinggiran, orang-orang yang namanya tak pernah masuk koran itu, dikenal. Dulu kita kenal Marsinah, buruh pabrik arloji yang seakan harus membayar "popularitas" namanya dengan nyawanya. Sekarang, kurang lebih sama. Dua pekan lalu ada Jasih, seorang ibu berusia 39 tahun yang mungkin hanya dikenal ketua RT setempat di dekat rumahnya di daerah Koja, Jakarta Utara, namun mendadak jadi topik pembicaraan setelah kematiannya yang mengiris. Jasih putus asa, mengakhiri hidupnya dan hidup anaknya yang menderita tumor otak tapi tak punya uang untuk berobat.

Kita tahu, Munir bukan Jasih yang bunuh diri, bukan pula Marsinah yang diculik dan kemudian orang menemukan mayatnya di hutan. Kita memang tidak hidup di zaman Orde Baru yang meletakkan pendekatan keamanan di atas segalanya. Tapi kematian Munir—juga Marsinah dan Jasih—mem-buktikan betapa tipisnya proteksi terhadap orang-orang yang bersentuhan dengan masalah kemanusiaan dan keadilan. Sekalipun ia setenar Munir.

Ya, dua bulan terakhir kita dikagetkan oleh kematian-kematian yang begitu sekonyong-konyong. Dua pekan silam Harry Roesli, 53 tahun, seniman musik yang kreativitasnya setara dengan keusilannya, menyusul Munir. Harry mirip Munir: kritis terhadap Orde Baru (pernah dua kali masuk bui—Red.), lantas terbang ke Belanda untuk menambah ilmu. Harry pulang dengan gelar doktornya, menuangkan kreativitasnya yang baru: mengawinkan musik Barat dengan gamelan, mementaskan musik-musik eksperimen, musik kontemporer yang sudah berbau John Cage, di hadapan publik kita. Tapi, rupanya ia bukan sejenis seniman yang bisa hidup sendiri di ruang-ruang musik kontemporer itu.

Harry lalu menjangkau lebih banyak orang: memelesetkan lagu wajib Garuda Pancasila, membimbing ribuan anak jalanan, menularkan ilmu musiknya bahkan kepada para pengamen Kota Bandung, malah belakangan duduk di antara juri Akademi Fantasi Indosiar (AFI) II—meski ia lebih banyak berkomentar usil daripada mengkritik musik.

Orde Baru "melahirkan" seniman, aktivis, dan—tentu saja—jenderal. Para jenderal yang mati membawa misteri tentang sebuah rezim tertutup yang menjepit negeri ini 32 tahun. Berbagai autobiografi telah ditulis. Tapi misteri-misteri itu—sebut saja satu yang paling penting: Supersemar—tetap terkunci. Jenderal (Purn.) M. Jusuf, saksi dari surat yang memungkinkan suksesi Soekarno-Soeharto, meninggal 8 September pada usia 76 tahun. M. Jusuf profil seorang prajurit populis yang sangat hirau akan sosok-sosok terbawah dalam susunan hierarki militer: para prajurit. Hidupnya sederhana, begitu juga kematiannya. Ia dikuburkan di pemakaman umum Panaikang, Makassar, ketimbang di Makam Pahlawan Kalibata. Lalu, Benny Moerdani, jenderal yang pernah berselisih (sebagian menyebut: bersaing) dengan Soeharto, tapi berkawan dengan bekas atasannya itu di penghujung hayatnya.

Tahun 2004. Beberapa nama penting telah berpulang: Bagong Kussudiardja, Mochtar Lubis, Munir, Harry Roesli, Amri Yahya, dan banyak lagi yang belum disebut. Mereka meninggalkan negeri tercinta, setelah rezim lama berganti, dan Indonesia mengalami masa transisi ke satu titik: negeri yang demokratis.


Akhir Seorang Politisi

Ia menginginkan sebuah akhir yang tenang. "Meninggal di rumah sendiri, sebagai orang bebas," katanya. Dan memang, 3 Juli lalu, ia, Subandrio, dilarikan ke Rumah Sakit Mitra, Jakarta Selatan. Tapi, dokter bilang ia sudah mengembuskan napas terakhir di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan.

Ia meninggal saat usianya hampir 90 tahun. Tapi, sesuai dengan zamannya yang bergejolak, Subandrio menjalani hidup yang dramatis. Di tangannyalah tiga jabatan kunci bertumpuk: Wakil Perdana Menteri I, Menteri Luar Negeri, dan Kepala Biro Pusat Intelijen. Namun, setelah 30 September 1965, dunianya berubah total. Sejak itu ia jadi pesakitan. Bahkan, pada Oktober 1966, hakim Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menjatuhkan vonis mati.

Hukuman itu tak pernah dilaksanakan. Tapi lelaki kelahiran Kepanjen, Jawa Timur, itu hidup dari satu tahanan ke tahanan lain: Nirbaya, Cimahi, lantas Cipinang. Pada 14 Desember 1981, nasibnya berubah: permohonan grasinya dikabulkan Presiden Soeharto.


Perginya Jenderal Bersahaja

Jenderal bersahaja itu wafat ketika usianya genap 76 tahun. Jenderal (Purn.) M. Jusuf meninggal Rabu malam 8 September 2004. Lahir di Kayuara, Bone Selatan, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1928, Jusuf meninggal karena faktor usia. Menurut dokter, kesehatan Almarhum menurun karena fungsi alat-alat tubuh pentingnya merosot drastis. Jusuf dimakamkan di pemakaman umum Panaikang, Makassar, di samping makam putra satu-satunya, Jaury Jusuf.

Jenderal bintang empat itu menorehkan catatan penting dalam perjalanan hidupnya. Tatkala menjadi Menhankam/Pangab, 1978-1983, Jusuf populer di kalangan prajurit. Ia mengunjungi tamtama dan bintara di pelosok-pelosok. Ia menegur sapa prajurit dan keluarganya dengan penuh kasih, sambil merehabilitasi barak prajurit.

Saat menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 1983-1988, terlontar ucapannya yang terkenal, "Anggota BPK harus lebih bersih dari yang diperiksa," kata pria yang enggan mencantumkan gelar bangsawan Andi yang dimilikinya itu.

Jusuf nyaris tanpa cacat, kecuali terkesan tertutup. Termasuk perannya dalam peristiwa Supersemar. Dialah satu dari tiga jenderal yang membawa surat itu ke Bung Karno di Istana Bogor, Jawa Barat. Kepergian Jusuf menyimpan misteri Supersemar—yang, demi kebenaran sejarah, patut disayangkan.


Dari Pertarungan yang Panjang

Si kepala granit berjuang melawan alzheimer. Ya, Mochtar Lubis, wartawan senior dengan beberapa mahkota di kepala: beberapa investigasi tentang pelecehan seksual, juga Pertamina. Dua tahun bertarung, akhirnya alzheimer terbukti lebih kuat. Ia sesak napas, kerongkongannya penuh lendir, dan pada 2 Juli 2004 malam, Mochtar, 82 tahun, dipanggil Tuhan.

Mochtar lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Pertama ia bekerja sebagai guru sekolah dasar di Pulau Nias. Tapi ia berkembang jadi wartawan yang telah berjalan jauh. Ia bergabung dengan kantor berita Antara, kemudian jadi pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raya. Ia membongkar aneka skandal, sekalipun itu harus dibayarnya dengan penjara dan pembredelan Indonesia Raya. Koran itu pertama kali dibredel pada 1961, terbit lagi pada 1968, dibredel lagi pada 1974.

Mochtar bertarung melawan opresi, ketertutupan, kesewenang-wenangan, dan alzheimer. Ia memang sebuah potret kegigihan.


Kepergian di Langit Hongaria

Gelar master di Universitas Utrecht tak pernah ia dapatkan. Cita-citanya untuk melanjutkan studi ke Negeri Belanda terhenti di kabin Garuda. Di atas langit Hongaria, ia seperti ingin mengulang sepucuk sajak lama Subagio Sastrowardoyo:

dan kematian semakin akrab, seakan kawan berkelakar....
_ lihat bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit —

Munir, ia mati muda. Usianya baru 39 tahun. Sekitar pukul 12.30 WIB, awak kabin di pesawat GA-974 yang ditumpanginya menuju Belanda menemukan tangannya dingin dan membiru. Dokter Tarmizi Hakim, kenalan baru Munir yang sempat merawatnya di pesawat, memastikan Direktur Eksekutif Imparsial itu meninggal.

Bukan hanya publik di Indonesia yang tersentak dengan kejadian 7 September itu. Dunia mengenalnya sebagai penerima Right Livelihood Award dari Swedia. Kita mengetahuinya sebagai lelaki gering yang sederhana: berskuter ke mana-mana, berpakaian tak mencolok sehari-hari. Juga si pemberani: ketika tak ada orang yang berani melawan tentara, ia justru yang pertama memastikan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI berada di balik penculikan aktivis 1998.

Tapi kematian Munir bukan tak mungkin menjadi peristiwa yang berlalu begitu saja. Padahal Netherlands Forensic Institute di Amsterdam memastikan Munir tewas akibat racun arsenik. Suciwati, istri Munir, dan kawan sesama aktivis hak asasi meminta pemerintah membentuk tim independen untuk mengusut pembunuhan itu. Dan pemerintah, akhirnya bersedia membentuk tim investigasi tersebut. Bukan berarti kematian Munir maupun berbagai pembunuhan politik lain di tanah air akan mudah dilupakan begitu saja.

Munir, begitu cepat ia pergi. Di atas langit Hongaria, sepotong sajak itu seperti baru saja ia ucapkan:

— lihat, tak batas
antara kita. Aku masih terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
....tak ada yang hilang dalam
perpisahan....


Seorang Loyalis Soeharto

Pada 29 Agustus lalu, Jenderal (Purn.) Benny Moerdani meninggal dunia. Tapi cerita tentang dirinya tak berhenti di situ: TNI serentak mengumumkan tujuh hari berkabung, pengibaran bendera setengah tiang. Benny seorang bintang pertempuran, pernah jadi anak emas dua Presiden RI: Soekarno dan Soe-harto.

Dalam operasi pembebasan Irian Barat, dialah yang pertama kali terjun ke belantara Irian. Soeharto tergiur pada langkahnya dalam peristiwa pembajakan Woyla, tapi kemudian mencurigainya. Beberapa hari sebelum Sidang Umum MPR 1988, jabatan Panglima ABRI pindah ke tangan Try Sutrisno. Pensiun pada 1988, hingga akhir hayat ia tetap setia pada Soeharto.

Benny figur kontroversial. Kawan-kawannya melukiskan karakternya yang berprinsip, hangat, tapi tegas. Tapi lawannya yakin, Benny di balik aneka pelanggaran hak asasi manusia: dari peristiwa Tanjung Priok sampai petrus (penembakan misterius).


Doktor untuk Para Pengamen

Ahad dua pekan lalu, Harry pergi mendadak. Ia pergi meninggalkan seorang istri, Kania Perdani, dua anak kembar, dan 6.000 anak jalanan dan pengamen kota Bandung. Ketika serangan jantung mendera tubuh yang telah bertahun-tahun hidup bersama dengan diabetes dan gangguan ginjal itu, ia menyerah.

Harry, ya Harry Roesli, lelaki 53 tahun, berambut sebahu, berkostum hitam-hitam, itu suka usil. Ia pernah memelesetkan Garuda Pancasila, lagu wajib yang telah puluhan tahun disakralkan. Tapi ia tidak pernah berpaling dari orang-orang yang tak beruntung. Harry tidak lulus ITB (Institut Teknologi Bandung), tapi kemudian berhasil meraih doktor dari Konservatorium Rotterdam, Belanda. Seorang doktor yang telaten menuntun ratusan orang pengamen Bandung memahami ritme, melodi, dan harmoni.

Di rumahnya, sekaligus markas Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB), cucu sastrawan Marah Rusli ini bereksperimen dengan musiknya, berkreasi dengan nuraninya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus