Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun-tahun memiliki avonturirnya sendiri. Keberhasilan dan kegagalan berjalan beriringan, menjadi dinamo bagi perubahan-perubahan. Tapi di sini, di negeri ini, telah lama tak ada dialektika yang betul-betul membuat gerak maju. Persoalan-persoalan dasar dibicarakan sembari tetap tak ada realisasi. Lalu buntu. Atau anakronistis. Kembali mengunyah-ngunyah hal-hal usang.
Seorang Iwan Simatupang pada 1953 memiliki kalimat yang relevansinya terasa sampai kini. Katanya, persoalan utama kita adalah kita memiliki keinginan yang kuat meninggalkan yang lama, tapi yang baru belum diperoleh. Kita terombang-ambing di situ sekian kala tanpa ada tanda-tanda menggembirakan. Dan itu menyebabkan kita lesu, stagnan, hilang gairah. Akhirnya apatis.
Tapi terlalu pesimistis mengutip telak-telak seperti itu. Juga kurang fair. Tahun ini, Indonesia berhasil melaksanakan pemilu yang demokratis. Dan untuk pertama kalinya masyarakat memilih presiden langsung tanpa gontok-gontokan. Tak pula ada darah yang tumpah seperti sempat dikhawatirkan banyak pihak. Negeri-negeri jiran, bahkan belahan bumi yang jauh seperti Amerika Serikat, sempat terperangah menatap mulusnya Pemilu 2004 di Indonesia. Sebuah pencapaian tinggi. Belum lagi bila membandingkannya dengan pemilu di belahan dunia lain masih banyak yang berekor darah.
Bukan berarti 2004 menjadi masa yang istimewa benar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tapi kami tetap melihat tahun ini menegakkan sejumlah tonggak tersendiri dalam sejumlah peristiwa maupun pencapaian. Untuk itulah Tempopada akhir tahun yang untungnya tak banjir inikembali menampilkan suatu nomor khusus sekaligus meneruskan tradisi mingguan berita ini pada setiap penghujung tahun.
Khusus untuk edisi khusus tutup tahun 2004, kami menampilkan tokoh-tokoh yang kami pandang memiliki peran dalam sebagian peristiwa penting sepanjang tahun itu. Dari jutaan kejadian, bagaimana kami melihat penting atau kurang pentingnya momen tersebut? Tempo melihatnya terutama dari dua aspek: peristiwa yang menyumbangkan peran signifikan dalam kehidupan berdemokrasi di negeri kita, dan peristiwa yang menyebabkan terobosan di berbagai bidang. Di balik setiap tabir peristiwa ini, akan selalu hadir sosok-sosok yang berperan di depan ataupun di balik layar dengan caranya sendiri-sendiri. Merekalah yang kami tetapkan sebagai Tokoh 2004 Pilihan Tempo.
Boleh jadi terdengar klisetak lebih dari jargon "generik". Kami menyadari hal itu. Toh, kami tetap melakukannya. Karena yang ingin kami tampilkan adalah tindakan bermakna dari setiap sosok. Mereka kami anggap telah mengambil bagian dalam melahirkan dan merawat sebagian dari momen terbaik bagi tanah air kita sepanjang tahun ini. Mereka juga mengupayakan agar makna sebuah momen tak jatuh ke mediokritas.
Sering mereka berada di belakang layar. Sering pula mereka justru terlalu banyak disorot media, sehingga peran pentingnya menjadi kabur. Dalam bahasa sinema, kami ingin men-zoom lebih dekat, memberikan close-up agar lebih jelas. Tak gegabah kami menyebut mereka itu hero. Karena hero, kami tahu, telah lama mati. Dan seperti biasa, kami tak sendirian menentukan peristiwa maupun tokoh pilihan Tempo.
Kami mengundang "kawan-kawan" yang kami anggap memiliki wawasan. Ada Dr Herry B. Priyono SJ, Faisal Basri, Dr Imam B. Prasodjo, Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch, Dr Rudi Satrio SH. Mereka bertandang ke kantor Tempo dan turut mendiskusikan peristiwa maupun nama-nama yang kami pilihkan. Nama-nama yang kami "nominasikan" tak hanya datang dari dunia politik, ekonomi, lingkungan, atau pendidikan. Kami juga memilih tokoh dari bidang olahraga, hiburan, atau kesenian.
Untuk kesenian diperlukan sebuah diskusi tersendiri. Karena seperti pepatah Latin: de gustibus non disputandum est (soal selera tak bisa diperdebatkan). Maka diperlukan sebuah kriteria rigid untuk menentukan mana karya terbaik sepanjang tahun. Untuk itu kami mengundang pengamat seni Nirwan Dewanto dan arsitek Marco Kusumawijaya: pertanggungjawabannya kami paparkan di halaman tersendiri.
Harus kami akui, tak mudah menentukan tokoh-tokohmeski tanpa piala dan plakatini. Debat panas terjadi. Argumentasi dikedepankan. Semua tentu ala Tempodiselingi kudapan jagung rebus, kacang kulit, teh hangat, singkong, dan guyonan yang mengendurkan otot. Sering pertanyaan kritis panelis di luar suatu bidang merepotkan wartawan kami yang sehari-hari bekerja di bidang tersebut, sehingga materi yang diusulkan bisa gugur. "Kok bisa A? Kenapa bukan si B?" Pertanyaan seperti itu berloncatan dalam ruang rapat utama redaksi yang kami langsungkan hampir lima jam diskusi pada November lalu.
Terkadang, di tengah diskusi ada argumen yang kukuhdengan data yang kuattapi "kalah oleh keharuan". Seorang panelis, misalnya, mengusulkan nama seorang dokter untuk menjadi salah satu tokoh pilihan Tempo. Dokter ini, menurut si panelis, adalah seorang relawan yang banyak menggalang kegiatan untuk membantu kesehatan publik. Tak lama setelah bom Kuningan meledak pada September lalu, misalnya, Pak Dokter langsung mengkoordinasi pemantauan korban bom di sejumlah rumah sakit. Tapi mayoritas panelis dan peserta diskusi memilih Achmad Usman, 39 tahun.
Pada hari itu, 9 September 2004, Jalan Rasuna Said, Kuningan, di bilangan Jakarta Selatan, porak-poranda oleh ledakan bom di depan gedung Kedutaan Besar Australia. Tanpa mengindahkan keselamatannya, Achmad melesat ke tengah "lokasi bom" yang mendidih dan menggendong ke luar Bambina Musu, gadis cilik berumur lima tahun yang terkapar dengan tubuh koyak berlumuran darah. Kami kian yakin dengan pilihan itu, karena setelah kami menemui dan melakukan wawancara, kami menemukan bahwa profesi penyelamat Bambina ini bukan satpamseperti banyak ditulis media. Dia seorang buruh bangunan, yang pekerjaannya tak bersangkut-paut dengan masalah keamanan gedung.
Sudah terlalu sering ditulis bahwa ingatan kita pendek. Sudah terlalu sering ditulis bahwa perjuangan kita adalah perjuangan melawan lupa. Edisi akhir tahun juga dimaksudkan untuk merekam agar beberapa gagasan penting yang lahir pada tahun ini tetap terjaga dan diteruskan pada tahun-tahun kemudian. Menjaga agar ingatan kita bukan menjadi ingatan "sprinter" tapi "estafet".
Seperti peristiwa berhasilnya judicial review terhadap Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003: pasal yang berisi larangan menjadi calon anggota DPR, DPRD, DPD bagi bekas anggota PKI, termasuk organisasi massanya. Menurut kami ini salah satu tonggak terpenting pada 2004 karena berhubungan dengan pemulihan hak seseorang. Dan yang mengagetkan, tokoh yang gigih memperjuangkan judicial review itu justru Deliar Noer. Sejarawan yang justru di masa mudanya melawan dan menjadi korban PKI. Ia tak menyimpan dendam. Sikap yang mengingatkan bahwa seperti di Afrika Selatan, maaf bisa menjadi daya ajaib untuk pertumbuhan demokrasi.
Peristiwa "mencerahkan" lain: munculnya draf kompilasi hukum Islam yang reformatif dari sebuah kelompok kerja di Departemen Agama RI. Ini menarik karena gagasan segar yang bertolak dari dalam, dari pemerintah sendiri, adalah sesuatu yang langka. Betapapun menuai kritik dari atasan sendiri, Siti Musdah Mulia, sang tokoh di balik kompilasi itu, sampai kini tetap gigih memperjuangkan gagasan tersebut. Sikap itu kian meneguhkan bahwa masalah tafsir akan hukum Islam di era modernitas ini, demi kontekstualisasi pesan Tuhan, adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Maka masuklah Siti Musdah sebagai ibu pilihan kami. Mereka yang "lolos bursa" sebagai Tokoh 2004 Pilihan Tempo bukan hanya berkenaan dengan gagasan cemerlang. Problematika administrasi publik, misalnya, juga menjadi titik perhatian kami. Adalah umum bila seorang warga asing geleng-geleng kepala melihat begitu sengkarutnya birokrasi kita. Simaklah potongan reportase ini: di sebuah kepulauan terpencil di Indonesia timur seorang bupati dengan persetujuan DPRD menggunakan anggaran belanja untuk membangun stadion megah. Terlihat betapa citra semu kemegahan Jakarta begitu meresap sehingga hal-hal dasar mereka alpakan.
Di tengah kondisi memprihatinkan itu, bupati di Jembrana, Bali, memilih langkah yang menerbitkan hormat: dia merampingkan sedapat-dapatnya birokrasi pemerintahannya, dia memangkas jabatan-jabatan yang dirasa mubazir, menggabungkan kantor-kantor dinas. Dan si bupati berhasil menghemat miliaran rupiah belanja daerah. Dana itu kemudian dialokasikan untuk pelayanan kesehatan gratis dan subsidi pendidikan bagi warga kurang mampu di kabupaten itu.
Demikianlah, masih ada yang berharga. Masih ada yang dicatat. Masih ada yang inspiratif. Anda bisa saja bertanya mengapa mantan Menteri Ekonomi Budiono kami pilih. Apa saja yang telah dia lakukan? Anda boleh jadi bingung manakala kami memilih satu rumah sederhana di bilangan Cipete, Jakarta Selatan, karya arsitek Adi "Mamok" Purnomo sebagai karya terbaik desain arsitek tahun ini. Mengapa bukan plaza baru yang bertebaran Thamrin, Sudirman, Kelapa Gading, Mangga Dua? Mengapa bukan pencakar langit dengan desain prestisius, bergengsi, kosmopolit, serta menyerap banyak tenaga kerja?
Silakan membaca. Silakan mengukur-ukur dan apakah memang pilihan kami tepat. Yang jelas kita telah melewati tahun 2004. Lembaran baru dibuka. Dengan segala hormat harus kita tampik kata-kata seorang penyair terkenal: Kemarin dan Esok sama saja. Tahun depan, gairah untuk melangkah lebih baik tetap harus dipancangkan. Begitu galibnya. Tabik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo