HINGGA hari ini kecemasan masih mencekam Kota Atlanta, AS. Dalam
hampir dua tahun terakhir, ibukota Negara Bagian Georgia itu
membuka agenda baru dalam sejarah dan ragam kejahatan.
Hingga Februari lalu, 22 orang anak lenyap, terbunuh. Dua di
antaranya belum ditemukan sampai sekarang.
Sebuah ciri aneh: semuanya anak negro. Umur mereka antara 7 dan
16 tahun. Petugas keamanan dan Para ahli forensik dibuat pitam
oleh perkara ini. Selagi mereka sibuk merumuskan pelbagai teori
dan kemungkinan sehubungan dengan kasus-kasus pertama, sang
pembunuh seenaknya saja gentayangan bagai iblis yang menebarkan
ajal lebih lanjut.
Nama pertama dalam daftar korban adalah Edward Hope Smith, 14
tahun. Bocah hitam ini terlihat penghabisan kali 20 Juli 1979,
dalam perjalanan pulang ke rumahnya di barat daya Kota Atlanta.
Delapan hari kemudian Edward ditemukan sebagai mayat -- hanya
beberapa meter dari jalan raya, di daerah Danau Liskey yang
terpencil, masih di barat daya kota. Dadanya berlubang oleh
bekas tembakan -- kendati tak sebutir peluru berhasil didapat.
Tak sampai 60 meter dari jenazah Edward, dijumpai mayat lain:
Alfred J. Evans, 13 tahun. Anak ini lenyap sejak 25 Juli 1979.
Mayatnya sudah mulai membusuk. Evans diduga mati dicekik. Polisi
Atlanta percaya, Smith dan Evans saling mengenal. Ada isyarat
bahwa kedua anak ini terlibat dalam peredaran narkotika.
Kematian mereka menurut perhitungan polisi dianggap kasus
terpisah dari mata rantai korban selanjutnya.
Korban berikut: Milton Harvey, 14 tahun. Ia kelihatan terakhir
4 September 1979, bersepeda beberapa mil dari rumahnya di barat
daya Atlanta. Mayatnya ditemukan 5 November 1979, di daerah
terpencil Redwine, masuk bilangan East Point. Jenazah itu hampir
tinggal kerangka. Sebab kematian tak bisa disimpulkan.
Yusef Bell adalah korban keenam. Bocah 9 tahun ini lenyap sejak
21 Oktober tahun itu juga. Mayatnya ditemukan 8 November, di
sebuah gedung sekolah yang tak terpakai -- tidak jauh dari
rumahnya, juga di bagian barat Atlanta.
Anak ini rupanya dicekik dengan tangan. Di tubuhnya kedapatan
seutas benang dari sejenis pembalut, berwarna hijau. Dialah
satu-satunya korban yang tampak disembunyikan pembunuhnya dengan
hati-hati.
Yusef Bell adalah siswa sebuah sekolah luar biasa untuk
anak-anak dengan kecerdasan tinggi. Karena itu motivasi
pembunuhan nampaknya berubah lagi.
Antara November 1979 sampai awal Maret 1980, tak ada "kematian
anak-anak yang menimbulkan teka-teki" - begitu bunyi laporan
polisi Atlanta. Pembunuhan anak-anak memang hilang pada jangka
waktu itu.
Tiba-tiba 10 Maret 1980, Angel Lanier ditemukan tidak bernyawa.
Mayat anak perempuan berumur 12 tahun itu terikat pada sebuah
pohon, tak jauh dari rumahnya. Lagi-lagi di bagian barat daya
kota. Enam hari sebelumnya Angel masih tampak segar bugar.
Meski tubuh anak itu tak ditandai kejahatan seksual, dan masih
lengkap berpakaian, mulutnya disumbat celana dalam perempuan. Ia
rupanya dicekik dengan seutas kawat listrik. Polisi menduga
kematian Angel ada kaitannya dengan urusan narkotika.
Sehari setelah penemuan itu, seorang anak bernama Jeffrey Mathis
menghilang. Seperti halnya Yusef Bell, Mathis terkenal cerdas.
Bocah 10 tahun itu disuruh ibunya membeli rokok ke sebuah warung
dekat pompa bensin. Dan tak pernah kembali.
Baru setelah 11 bulan, 13 Februari 1981, agen-agen FBI (Federal
Bureau of Investigation) menemukan tulang-belulang yang bisa
ditandai sebagai Mathis di belukar sekitar Suber Road. Daerah
terpencil di barat daya Atlanta!
Eric Middlebrooks, 14 tahun, kelihatan terakhir kali 18 atau 19
Mei 1980. Sekitar 24 jam kemudian mayatnya ditemukan di
belakang sebuah warung. Tak jauh dari rumahnya. Kali ini masuk
bilangan tenggara kota.
Ia tewas dengan luka di otak. Tampaknya dihantam dengan benda
tumpul. Tak lama sebelum menghilang Middlebrooks dan beberapa
anak muda mengalami pemeriksaan polisi untuk suatu kejahatan. Ia
diduga korban pembalasan dendam. Tapi polisi berkata, "mungkin
juga anak itu jatuh dari sepeda." Lho? Polisi rupanya sudah
bingung.
Korban ke delapan adalah Christopher Richardson, 11 tahun.
Menghilang sejak 9 Juni 1980, dalam perjalanan ke sebuah kolam
renang di Decatur, dalam wilayah De-Kalb County. Setelah delapan
bulan, mayatnya ditemukan -- 9 Januari 1981 di sekitar Redwine
Road, Fulton County.
Hampir berdampingan dengan mayat Richardson dijumpai kerangka
bocah lain, yang kemudian dikenal sebagai Earl Lee Terrell, 10
tahun. Anak ini tampak terakhir kali 30 Juli 1980, ketika
meninggalkan sebuah taman atau kolam renang tak jauh dari
rumahnya, di bagian tenggara Atlanta. Terrell dan Richardson
diduga saling mengenal.
Karena kedua mayat itu ditemukan berdekatan, polisi berteori
bahwa pembunuhnya seorang. Jangka waktu pembunuhannya berbeda
sebulan.
Daftar polisi selanjutnya menyebut nama Latonya Wilson, anak
perempuan 7 tahun. Kali ini para petugas menaruh curiga pada
salah seorang famili sang anak. Latonya dilaporkan diculik pada
22 Juni 1980 dari kamar tidurnya, di sebuah rumah bagian barat
laut Atlanta, padahal ia tidur bersama beberapa anak lain.
Mayatnya ditemukan empat bulan kemudian, di sebuah hutan tak
jauh dari rumahnya.
Kasus Aaron D. Wyche, 10 tahun, mengambil bentuk tersendiri.
Anak itu terjatuh -- atau dijatuhkan? - dari sebuah jembatan
dengan ketinggian hampir sepuluh meter di De-Kalb County, 24
Juni 1980.
Dr. Joseph Burton, pemeriksa kesehatan De-Kalb County,
menyimpulkan: napas Wyche putus ketika tubuhnya menghantam
belukar di bawah jembatan. Polisi dengan senang hati menyebut
kematian anak itu sebagai "insiden". Apalagi kesimpulan Dr.
Burton ditarik berdasarkan autopsi (pembedahan mayat).
Tapi keluarga Wyche tak mudah menerima. Mereka tahu: anak itu
selalu gamang di tempat tinggi. Tentu ada seseorang yang
mendorongnya dari atas jembatan. Keberatan ini pun diterima
polisi dengan lapang hati.
Korban berikutnya: Anthony B. Carter, 9 tahun. Terakhir ia
tampak 6 Juli 1980 dekat rumahnya di Atlanta. Esoknya Carter
tinggal mayat, tergeletak dalam sebuah gudang tak jauh dari
rumahnya.
Sekali lagi rantai pembunuhan ini menampilkan gaya baru. Berbeda
dengan korban-korban terdahulu, mayat Carter penuh luka bekas
tikaman.
Hingga Juli 1980, angka kehilangan dan kematian bocah di wilayah
Atlanta meningkat dalam jumlah yang mencemaskan. Ny. Bell, ibu
mendiang Yusef, bersama-sama dengan para ibu korban lain
membentuk Komite Pencegahan Pembunuhan anak-anak. Polisi
penasaran juga melirik organisasi baru ini.
Mereka konon sudah menghabiskan enam ribu jam untuk menangani
pembunuhan berantai ini. Tapi keadaan tak banyak berubah.
Seorang anak dari Cleveland, Ohio mengunjungi neneknya di
Atlanta Barat Laut, 20 Agustus 1980. Bocah 13 tahun itu bernama
Clifford Jones. Ia lalu lenyap tak berbekas. Sehari kemudian
mayatnya dijumpai di belakang sebuah plaza perbelanjaan. Dia
rupanya dicekik, mungkin sekali dengan sepotong kain bekas
pakaian. Pada tubuh dan bajunya terdapat serat sintetis yang
dilaporkan "cocok dengan bahan karpet". Hari itu juga satuan
polisi khusus menambah tenaga dengan empat orang pengawas dan 13
penyelidik.
Tanggal 14 September 1980 hilang pula Darron Glass, 10 tahun.
Anak ini memang sering melarikan diri dari keluarga yang
memeliharanya. Hingga kini Darron belum ditemukan.
Charles Stephens merupakan korban berikutnya. Bocah 12 tahun itu
masih tampak segar bugar 9 Oktober 1980, di rumahnya di barat
daya Atlanta. Esoknya Stephens kedapatan sudah tak bcrnyawa di
sebuah lapangan parkir mobil gandengan, 5 mil dari rumahnya. Ia
dilaporkan mati lemas. Selembar serat sintetis berwarna hijau
dipungut dari tubuhnya.
Kematian berikutnya terjadi atas diri Aaron Jackson Jr., 9
tahun. Delapan hari kemudian, Patrick Rogers menghilang. Bocah
16 tahun ini agak mencurigakan. Ia kenal dengan empat atau lima
di antara korban terdahulu. Lagi pula Rogers sedang dicari
polisi dalam hubungan perampokan.
Rogers ditemukan 7 Desembcr 1980. Tubuhnya diangkat dari Sungai
Chattahoochee di Cobb County, Atlanta Barat. Kepalanya bekas
dihantam benda tumpul. Mungkin juga Rogers dijatuhkan dari
jembatan. Tapi polisi dan petugas kesehatan tak berani
mengumumkan kesimpulan apa-apa.
Masih ada Terry L. Pue (15 tahun), Patrick Baltazar (11), Curtis
Walker (13), dan Lubie Geter (14) yang tercatat sebagai korban
terakhir.
Geter masih kelihatan menjajakan alat pewangi mobil di sebuah
pusat perbelanjaan di Atlanta, 5 Februari 1981. Ia ditemukan
sebagai mayat di sebuah hutan kecil di barat laut Atlanta.
"Tercekik," ujar polisi. Tubuhnya hanya bercelana dalam.
Pakaiannya yang lain tertumpuk tak jauh dari mayat. Di samping
ciri baru ini, ada juga serat sintetis yang menarik perhatian
para petugas.
PEMBANTAIAN beranti ini sungguh merupakan tantangan pelik.
Setelah penyelidikan berbulan-bulan, dicapai kesimpulan bahwa
setidak-tidaknya terdapat 9 sampai 10 orang pembunuh yang
beraksi secara terpisah, dan mungkin dengan alasan berbeda pula.
"Dari 20 korban yang tewas hanya sedikit ditemukan kaitan satu
sama lain," ujar Dr. Joseph Burton. "Saya tidak yakin kita
berhadapan dengan hanya seorang pembunuh."
Sementara belum ada teori yang cukup beralasan, polisi mengaji
pula kemungkinan latar belakang seksual. Tapi itu pun sulit
dipastikan.
Para ilmuwan di Laboratorium Kriminal Negara Bagian Georgia
mencoba menghubungkan 6 atau 7 korban melalui serat sintetis
yang ditemukan di mayat mereka. Beberapa petugas lab menyebut
serat itu - yang diduga berasal dari karpet sebuah kendaraan --
sebagai "bahan bukti penting".
Tapi para petugas hukum yang lain tak begitu tertarik. Siapa
tahu serat itu berasal dari pakaian korban sendiri? Seorang
petugas malah menanggapi agak sinis. "Itu tak lebih dari sehelai
benang," ujarnya.
Para pemeriksa memang menaruh syak pada beberapa orang kenalan,
bahkan famili korban. Paling tidak kecurigaan ini menyangkut
enam kasus. Tapi para petugas senior kepolisian mengatakan
mereka tak punya cukup bukti untuk melakukan penahanan.
Kericuhan tak urung timbul -- antara polisi Atlanta dengan
polisi daerah-daerah berdekatan, dan antara polisi Atlanta
dengan Laboratorium Kriminal Negara serta FBI. Dan hal ini sudah
tentu membuat masyarakat bertambah prihatin.
LEE P. Brown, seorang tokoh Komisi Keselamatan Umum Atlanta,
mengatakan bahwa para penguasa memang kekurangan alasan untuk
menahan seseorang. "Kita tidak punya penyaksi mata," ujarnya.
"Kita tak tahu tepat di mana pembunuhan itu dilaksanakan,
sehingga sulit mengumpulkan bukti. Dan kita tidak menerima
pengakuan barang secuil!"
Mulanya ada anggapan, Atlanta sedang berhadapan dengan seorang
pembunuh yang mencari publisitas. 8 Januari 1981, kantor sheriff
Rockdale County, 20 mil dari Atlanta di selatan De-Kalb County,
menerima sebuah panggilan telepon. Penelepon tadi memberitahu
ada sesosok mayat anakanak di Sigman Road -- yang belum
dimasukkan ke dalam daftar korban.
Pagi buta esoknya, hampir 100 polisi mengendus-endus sepanjang
Sigman Road. Hasilnya hampa belaka. Tapi pencarian itu sudah
telanjur diumbar media massa.
Duabelas hari kemudian Terry Pue hilang. Selang 24 jam ia
ditemukan tewas, mungkin dicekik dengan seutas tali. Mayatnya
diletakkan hanya beberapa meter dari Sigman Road.
Vic Davis, sheriff Rockdale County, mengepalkan tinju. "Jahanam
itu memberi kita hadiah, dan mengapa De-Kalb County harus
menerima bagian," ujarnya.
De-Kalb County adalah wilayah dengan mayoritas penduduk kulit
putih, antara Atlanta dan Rockdale. Dan kepanikan tak urung
muncul di situ. Dick Hand, Direktur Keamanan Umum De-Kalb
County, menuduh pihak kepolisian menutup-nutupi informasi
mengenai kehilangan dan pembunuhan anak-anak ini.
Dua hari setelah Dick Hand menggerutu, Patrick Baltaar (11)
lenyap. Anak itu ditemukan 13 Februari 1981, mati dicekik.
Sehari kemudian Pendeta Earl Paulk, kepala sebuah gereja Baptis
setempat, mengeluarkan seruan di surat-surat kabar. Ia
menyatakan "ingin berhubungan dengan si pembunuh." Pendeta Paulk
segera menerima beberapa panggilan telepon. Semua mengaku
sebagai 'jagal' anak-anak Atlanta. Tapi polisi tetap tak
berhasil melacak sesuatu.
Bahkan 5 hari setelah seruan san pendeta, seorang anak bernama
Curtis Walker lenyap. Ia baru ditemukan Maret lalu, di tengah
lumpur sebuah sungai, tak sampai satu mil dari gereja yang
dipimpin Paulk.
Meski belum berhasil menyingkap misteri, polisi Atlanta telah
menarik beberapa persamaan yang terdapat pada hampir setiap
peristiwa. Misalnya: semua mayat ditemukan terpisah, dekat jalan
raya utama. Sebagian besar di bagian barat daya kota.
Tak ada mayat yang dikuburkan. Hampir semuanya lengkap
berpakaian. Umumnya korban ditemukan tidak jauh dari tempat ia
terakhir kali tampak. Semuanya anak-anak. Mereka negro, tapi
dari jenis yang agak berkulit cerah. Sebagian besar dari
lingkungan broken home. Dengan satu pengecualian pada Terry Pue,
semua korban tidak menunjukkan tanda perlawanan.
FAKTA terakhir ini justru menarik. Polisi lalu membuat hipotesa,
bahwa anak-anak itu dibujuk. Mungkin mereka dicegat seorang
pembunuh yang berpakaian polisi atau petugas lain, dipersilakan
masuk ke dalam kendaraan kemudian dibantai tiba-tiba. Hipotesa
ini membuat dinas kepolisian membongkar data pribadi para
anggotanya sendiri. Memeriksa latar belakang mereka yang tidak
mustahil terlibat.
Sementara itu satuan khusus sudah dibentuk sejak musim gugur
1979. 'Satsus' ini dipimpin Morris Redding, Deputi Kepala Polisi
Atlanta. Waktu itu, Atlanta memang tercatat sebagai daerah
dengan angka pembunuhan tertinggi di antara 30 kota terbesar
AS. Pernah seorang kepala seksi pembunuhan kepolisian setempat,
W.K. Perry, mengeluh kekurangan tenaga untuk menanggulangi
kejahatan. Ia dipensiunkan.
Motif sang pembunuh tetap masih teka-teki. Beberapa tokoh negro
dan pembela kulit berwarna segera melirik Ku Klux Klan, atau
beberapa organisasi rasis. Ada pula yang mencurigai kelompok
agama tertentu. Nah, makin ramai.
Akibat lain: meningkatnya jumlah pender-ita gangguan mental.
Kecemasan dan ketakutan bahwa tidak sajamenjalar di kalangan
anak negro, tapi juga anak kulit putih.
Langkah-langkah yang diambil polisi, menurut para pengamat,
tidak menolong keadaan. Mereka memberlakukan jam malam mulai
pukul 7 petang hingga 6 pagi. Memeriksa setiap kendaraan yang
membawa anak Negro, hanya untuk meyakinkan diri bahwa anak-anak
itu memang aman. Para pengurus RT mengedip-ngedipkan lampu dari
jendela flat mereka, agar setiap anak yang kebetulan berada di
luar merasa aman. Padahal, semua tingkah itu malah menambah
ketegangan. Atlanta rasanya sedang berada dalam perang.
Sebuah pamflet "Selamatkan Anak-anak Anda Jasmani dan Rohani" di
edarkan ke seluruh penjuru kota. Disitu tercantum cara-cara
mengatasi ketakutan anak. Ada pula nomor telepon khusus
(577-SAFE), yang bisa dihubungi setiap orang tua sekedar untuk
menerima nasihat!
SEMENTARA itu, adegan mayat yang diangkat dari lokasi kejahatan,
dan foto para orang tua yang kehilangan anak, tampak bergantian
mengisi pemandangan, misalnya lewat tv. Efek yang ditimbulkannya
sangat mengganggu.
Sebuah konperensi para ahli kesehatan mental untuk orang-orang
negro diselenggarakan pula di Universitas Atlanta, Februari
lalu. Konperensi melihat gelagat ketegangan dalam bentuknya yang
klasik. Anak-anak tidur memegang injil, atau maskot yang
dipercaya bisa melindungi. Mereka mengigau, terkencing-kencing,
berkelahi di sekolah, mundur dalam tingkat kecerdasan,
menggantungkan diri secara berlebihan kepada orang tua.
Dan kalau disuruh menggambar orang, anak-anak itu selalu membuat
orang yang kurus dan lemah. "Suatu ciri kehilangan kepercayaan
pada diri sendiri," ujar para psikolog.
Di tengah suasana keruh itu, walikota Atlanta Maynard Jackson
mencoba membangun ketenangan, "Kita harus meyakinkan anak-anak
kita," ujarnya, "bahwa sebelum pembunuhan berantai itu, kita
pernah mengalami masa tenang. Dan kita sedang berusaha untuk
kembali kepada masa tenang itu."
Nada bicara Jackson, walikota di negara bagian tempat kediaman
bekas presiden Carter itu, terdengar putus asa. Sampai kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini