Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

22-0 untuk bajingan

Kota atlanta di as dicekam kecemasan. 22 orang anak negro lenyap terbunuh. pembunuhnya masih belum ditemukan. motifnya masih kabur. (sel)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HINGGA hari ini kecemasan masih mencekam Kota Atlanta, AS. Dalam hampir dua tahun terakhir, ibukota Negara Bagian Georgia itu membuka agenda baru dalam sejarah dan ragam kejahatan. Hingga Februari lalu, 22 orang anak lenyap, terbunuh. Dua di antaranya belum ditemukan sampai sekarang. Sebuah ciri aneh: semuanya anak negro. Umur mereka antara 7 dan 16 tahun. Petugas keamanan dan Para ahli forensik dibuat pitam oleh perkara ini. Selagi mereka sibuk merumuskan pelbagai teori dan kemungkinan sehubungan dengan kasus-kasus pertama, sang pembunuh seenaknya saja gentayangan bagai iblis yang menebarkan ajal lebih lanjut. Nama pertama dalam daftar korban adalah Edward Hope Smith, 14 tahun. Bocah hitam ini terlihat penghabisan kali 20 Juli 1979, dalam perjalanan pulang ke rumahnya di barat daya Kota Atlanta. Delapan hari kemudian Edward ditemukan sebagai mayat -- hanya beberapa meter dari jalan raya, di daerah Danau Liskey yang terpencil, masih di barat daya kota. Dadanya berlubang oleh bekas tembakan -- kendati tak sebutir peluru berhasil didapat. Tak sampai 60 meter dari jenazah Edward, dijumpai mayat lain: Alfred J. Evans, 13 tahun. Anak ini lenyap sejak 25 Juli 1979. Mayatnya sudah mulai membusuk. Evans diduga mati dicekik. Polisi Atlanta percaya, Smith dan Evans saling mengenal. Ada isyarat bahwa kedua anak ini terlibat dalam peredaran narkotika. Kematian mereka menurut perhitungan polisi dianggap kasus terpisah dari mata rantai korban selanjutnya. Korban berikut: Milton Harvey, 14 tahun. Ia kelihatan terakhir 4 September 1979, bersepeda beberapa mil dari rumahnya di barat daya Atlanta. Mayatnya ditemukan 5 November 1979, di daerah terpencil Redwine, masuk bilangan East Point. Jenazah itu hampir tinggal kerangka. Sebab kematian tak bisa disimpulkan. Yusef Bell adalah korban keenam. Bocah 9 tahun ini lenyap sejak 21 Oktober tahun itu juga. Mayatnya ditemukan 8 November, di sebuah gedung sekolah yang tak terpakai -- tidak jauh dari rumahnya, juga di bagian barat Atlanta. Anak ini rupanya dicekik dengan tangan. Di tubuhnya kedapatan seutas benang dari sejenis pembalut, berwarna hijau. Dialah satu-satunya korban yang tampak disembunyikan pembunuhnya dengan hati-hati. Yusef Bell adalah siswa sebuah sekolah luar biasa untuk anak-anak dengan kecerdasan tinggi. Karena itu motivasi pembunuhan nampaknya berubah lagi. Antara November 1979 sampai awal Maret 1980, tak ada "kematian anak-anak yang menimbulkan teka-teki" - begitu bunyi laporan polisi Atlanta. Pembunuhan anak-anak memang hilang pada jangka waktu itu. Tiba-tiba 10 Maret 1980, Angel Lanier ditemukan tidak bernyawa. Mayat anak perempuan berumur 12 tahun itu terikat pada sebuah pohon, tak jauh dari rumahnya. Lagi-lagi di bagian barat daya kota. Enam hari sebelumnya Angel masih tampak segar bugar. Meski tubuh anak itu tak ditandai kejahatan seksual, dan masih lengkap berpakaian, mulutnya disumbat celana dalam perempuan. Ia rupanya dicekik dengan seutas kawat listrik. Polisi menduga kematian Angel ada kaitannya dengan urusan narkotika. Sehari setelah penemuan itu, seorang anak bernama Jeffrey Mathis menghilang. Seperti halnya Yusef Bell, Mathis terkenal cerdas. Bocah 10 tahun itu disuruh ibunya membeli rokok ke sebuah warung dekat pompa bensin. Dan tak pernah kembali. Baru setelah 11 bulan, 13 Februari 1981, agen-agen FBI (Federal Bureau of Investigation) menemukan tulang-belulang yang bisa ditandai sebagai Mathis di belukar sekitar Suber Road. Daerah terpencil di barat daya Atlanta! Eric Middlebrooks, 14 tahun, kelihatan terakhir kali 18 atau 19 Mei 1980. Sekitar 24 jam kemudian mayatnya ditemukan di belakang sebuah warung. Tak jauh dari rumahnya. Kali ini masuk bilangan tenggara kota. Ia tewas dengan luka di otak. Tampaknya dihantam dengan benda tumpul. Tak lama sebelum menghilang Middlebrooks dan beberapa anak muda mengalami pemeriksaan polisi untuk suatu kejahatan. Ia diduga korban pembalasan dendam. Tapi polisi berkata, "mungkin juga anak itu jatuh dari sepeda." Lho? Polisi rupanya sudah bingung. Korban ke delapan adalah Christopher Richardson, 11 tahun. Menghilang sejak 9 Juni 1980, dalam perjalanan ke sebuah kolam renang di Decatur, dalam wilayah De-Kalb County. Setelah delapan bulan, mayatnya ditemukan -- 9 Januari 1981 di sekitar Redwine Road, Fulton County. Hampir berdampingan dengan mayat Richardson dijumpai kerangka bocah lain, yang kemudian dikenal sebagai Earl Lee Terrell, 10 tahun. Anak ini tampak terakhir kali 30 Juli 1980, ketika meninggalkan sebuah taman atau kolam renang tak jauh dari rumahnya, di bagian tenggara Atlanta. Terrell dan Richardson diduga saling mengenal. Karena kedua mayat itu ditemukan berdekatan, polisi berteori bahwa pembunuhnya seorang. Jangka waktu pembunuhannya berbeda sebulan. Daftar polisi selanjutnya menyebut nama Latonya Wilson, anak perempuan 7 tahun. Kali ini para petugas menaruh curiga pada salah seorang famili sang anak. Latonya dilaporkan diculik pada 22 Juni 1980 dari kamar tidurnya, di sebuah rumah bagian barat laut Atlanta, padahal ia tidur bersama beberapa anak lain. Mayatnya ditemukan empat bulan kemudian, di sebuah hutan tak jauh dari rumahnya. Kasus Aaron D. Wyche, 10 tahun, mengambil bentuk tersendiri. Anak itu terjatuh -- atau dijatuhkan? - dari sebuah jembatan dengan ketinggian hampir sepuluh meter di De-Kalb County, 24 Juni 1980. Dr. Joseph Burton, pemeriksa kesehatan De-Kalb County, menyimpulkan: napas Wyche putus ketika tubuhnya menghantam belukar di bawah jembatan. Polisi dengan senang hati menyebut kematian anak itu sebagai "insiden". Apalagi kesimpulan Dr. Burton ditarik berdasarkan autopsi (pembedahan mayat). Tapi keluarga Wyche tak mudah menerima. Mereka tahu: anak itu selalu gamang di tempat tinggi. Tentu ada seseorang yang mendorongnya dari atas jembatan. Keberatan ini pun diterima polisi dengan lapang hati. Korban berikutnya: Anthony B. Carter, 9 tahun. Terakhir ia tampak 6 Juli 1980 dekat rumahnya di Atlanta. Esoknya Carter tinggal mayat, tergeletak dalam sebuah gudang tak jauh dari rumahnya. Sekali lagi rantai pembunuhan ini menampilkan gaya baru. Berbeda dengan korban-korban terdahulu, mayat Carter penuh luka bekas tikaman. Hingga Juli 1980, angka kehilangan dan kematian bocah di wilayah Atlanta meningkat dalam jumlah yang mencemaskan. Ny. Bell, ibu mendiang Yusef, bersama-sama dengan para ibu korban lain membentuk Komite Pencegahan Pembunuhan anak-anak. Polisi penasaran juga melirik organisasi baru ini. Mereka konon sudah menghabiskan enam ribu jam untuk menangani pembunuhan berantai ini. Tapi keadaan tak banyak berubah. Seorang anak dari Cleveland, Ohio mengunjungi neneknya di Atlanta Barat Laut, 20 Agustus 1980. Bocah 13 tahun itu bernama Clifford Jones. Ia lalu lenyap tak berbekas. Sehari kemudian mayatnya dijumpai di belakang sebuah plaza perbelanjaan. Dia rupanya dicekik, mungkin sekali dengan sepotong kain bekas pakaian. Pada tubuh dan bajunya terdapat serat sintetis yang dilaporkan "cocok dengan bahan karpet". Hari itu juga satuan polisi khusus menambah tenaga dengan empat orang pengawas dan 13 penyelidik. Tanggal 14 September 1980 hilang pula Darron Glass, 10 tahun. Anak ini memang sering melarikan diri dari keluarga yang memeliharanya. Hingga kini Darron belum ditemukan. Charles Stephens merupakan korban berikutnya. Bocah 12 tahun itu masih tampak segar bugar 9 Oktober 1980, di rumahnya di barat daya Atlanta. Esoknya Stephens kedapatan sudah tak bcrnyawa di sebuah lapangan parkir mobil gandengan, 5 mil dari rumahnya. Ia dilaporkan mati lemas. Selembar serat sintetis berwarna hijau dipungut dari tubuhnya. Kematian berikutnya terjadi atas diri Aaron Jackson Jr., 9 tahun. Delapan hari kemudian, Patrick Rogers menghilang. Bocah 16 tahun ini agak mencurigakan. Ia kenal dengan empat atau lima di antara korban terdahulu. Lagi pula Rogers sedang dicari polisi dalam hubungan perampokan. Rogers ditemukan 7 Desembcr 1980. Tubuhnya diangkat dari Sungai Chattahoochee di Cobb County, Atlanta Barat. Kepalanya bekas dihantam benda tumpul. Mungkin juga Rogers dijatuhkan dari jembatan. Tapi polisi dan petugas kesehatan tak berani mengumumkan kesimpulan apa-apa. Masih ada Terry L. Pue (15 tahun), Patrick Baltazar (11), Curtis Walker (13), dan Lubie Geter (14) yang tercatat sebagai korban terakhir. Geter masih kelihatan menjajakan alat pewangi mobil di sebuah pusat perbelanjaan di Atlanta, 5 Februari 1981. Ia ditemukan sebagai mayat di sebuah hutan kecil di barat laut Atlanta. "Tercekik," ujar polisi. Tubuhnya hanya bercelana dalam. Pakaiannya yang lain tertumpuk tak jauh dari mayat. Di samping ciri baru ini, ada juga serat sintetis yang menarik perhatian para petugas. PEMBANTAIAN beranti ini sungguh merupakan tantangan pelik. Setelah penyelidikan berbulan-bulan, dicapai kesimpulan bahwa setidak-tidaknya terdapat 9 sampai 10 orang pembunuh yang beraksi secara terpisah, dan mungkin dengan alasan berbeda pula. "Dari 20 korban yang tewas hanya sedikit ditemukan kaitan satu sama lain," ujar Dr. Joseph Burton. "Saya tidak yakin kita berhadapan dengan hanya seorang pembunuh." Sementara belum ada teori yang cukup beralasan, polisi mengaji pula kemungkinan latar belakang seksual. Tapi itu pun sulit dipastikan. Para ilmuwan di Laboratorium Kriminal Negara Bagian Georgia mencoba menghubungkan 6 atau 7 korban melalui serat sintetis yang ditemukan di mayat mereka. Beberapa petugas lab menyebut serat itu - yang diduga berasal dari karpet sebuah kendaraan -- sebagai "bahan bukti penting". Tapi para petugas hukum yang lain tak begitu tertarik. Siapa tahu serat itu berasal dari pakaian korban sendiri? Seorang petugas malah menanggapi agak sinis. "Itu tak lebih dari sehelai benang," ujarnya. Para pemeriksa memang menaruh syak pada beberapa orang kenalan, bahkan famili korban. Paling tidak kecurigaan ini menyangkut enam kasus. Tapi para petugas senior kepolisian mengatakan mereka tak punya cukup bukti untuk melakukan penahanan. Kericuhan tak urung timbul -- antara polisi Atlanta dengan polisi daerah-daerah berdekatan, dan antara polisi Atlanta dengan Laboratorium Kriminal Negara serta FBI. Dan hal ini sudah tentu membuat masyarakat bertambah prihatin. LEE P. Brown, seorang tokoh Komisi Keselamatan Umum Atlanta, mengatakan bahwa para penguasa memang kekurangan alasan untuk menahan seseorang. "Kita tidak punya penyaksi mata," ujarnya. "Kita tak tahu tepat di mana pembunuhan itu dilaksanakan, sehingga sulit mengumpulkan bukti. Dan kita tidak menerima pengakuan barang secuil!" Mulanya ada anggapan, Atlanta sedang berhadapan dengan seorang pembunuh yang mencari publisitas. 8 Januari 1981, kantor sheriff Rockdale County, 20 mil dari Atlanta di selatan De-Kalb County, menerima sebuah panggilan telepon. Penelepon tadi memberitahu ada sesosok mayat anakanak di Sigman Road -- yang belum dimasukkan ke dalam daftar korban. Pagi buta esoknya, hampir 100 polisi mengendus-endus sepanjang Sigman Road. Hasilnya hampa belaka. Tapi pencarian itu sudah telanjur diumbar media massa. Duabelas hari kemudian Terry Pue hilang. Selang 24 jam ia ditemukan tewas, mungkin dicekik dengan seutas tali. Mayatnya diletakkan hanya beberapa meter dari Sigman Road. Vic Davis, sheriff Rockdale County, mengepalkan tinju. "Jahanam itu memberi kita hadiah, dan mengapa De-Kalb County harus menerima bagian," ujarnya. De-Kalb County adalah wilayah dengan mayoritas penduduk kulit putih, antara Atlanta dan Rockdale. Dan kepanikan tak urung muncul di situ. Dick Hand, Direktur Keamanan Umum De-Kalb County, menuduh pihak kepolisian menutup-nutupi informasi mengenai kehilangan dan pembunuhan anak-anak ini. Dua hari setelah Dick Hand menggerutu, Patrick Baltaar (11) lenyap. Anak itu ditemukan 13 Februari 1981, mati dicekik. Sehari kemudian Pendeta Earl Paulk, kepala sebuah gereja Baptis setempat, mengeluarkan seruan di surat-surat kabar. Ia menyatakan "ingin berhubungan dengan si pembunuh." Pendeta Paulk segera menerima beberapa panggilan telepon. Semua mengaku sebagai 'jagal' anak-anak Atlanta. Tapi polisi tetap tak berhasil melacak sesuatu. Bahkan 5 hari setelah seruan san pendeta, seorang anak bernama Curtis Walker lenyap. Ia baru ditemukan Maret lalu, di tengah lumpur sebuah sungai, tak sampai satu mil dari gereja yang dipimpin Paulk. Meski belum berhasil menyingkap misteri, polisi Atlanta telah menarik beberapa persamaan yang terdapat pada hampir setiap peristiwa. Misalnya: semua mayat ditemukan terpisah, dekat jalan raya utama. Sebagian besar di bagian barat daya kota. Tak ada mayat yang dikuburkan. Hampir semuanya lengkap berpakaian. Umumnya korban ditemukan tidak jauh dari tempat ia terakhir kali tampak. Semuanya anak-anak. Mereka negro, tapi dari jenis yang agak berkulit cerah. Sebagian besar dari lingkungan broken home. Dengan satu pengecualian pada Terry Pue, semua korban tidak menunjukkan tanda perlawanan. FAKTA terakhir ini justru menarik. Polisi lalu membuat hipotesa, bahwa anak-anak itu dibujuk. Mungkin mereka dicegat seorang pembunuh yang berpakaian polisi atau petugas lain, dipersilakan masuk ke dalam kendaraan kemudian dibantai tiba-tiba. Hipotesa ini membuat dinas kepolisian membongkar data pribadi para anggotanya sendiri. Memeriksa latar belakang mereka yang tidak mustahil terlibat. Sementara itu satuan khusus sudah dibentuk sejak musim gugur 1979. 'Satsus' ini dipimpin Morris Redding, Deputi Kepala Polisi Atlanta. Waktu itu, Atlanta memang tercatat sebagai daerah dengan angka pembunuhan tertinggi di antara 30 kota terbesar AS. Pernah seorang kepala seksi pembunuhan kepolisian setempat, W.K. Perry, mengeluh kekurangan tenaga untuk menanggulangi kejahatan. Ia dipensiunkan. Motif sang pembunuh tetap masih teka-teki. Beberapa tokoh negro dan pembela kulit berwarna segera melirik Ku Klux Klan, atau beberapa organisasi rasis. Ada pula yang mencurigai kelompok agama tertentu. Nah, makin ramai. Akibat lain: meningkatnya jumlah pender-ita gangguan mental. Kecemasan dan ketakutan bahwa tidak sajamenjalar di kalangan anak negro, tapi juga anak kulit putih. Langkah-langkah yang diambil polisi, menurut para pengamat, tidak menolong keadaan. Mereka memberlakukan jam malam mulai pukul 7 petang hingga 6 pagi. Memeriksa setiap kendaraan yang membawa anak Negro, hanya untuk meyakinkan diri bahwa anak-anak itu memang aman. Para pengurus RT mengedip-ngedipkan lampu dari jendela flat mereka, agar setiap anak yang kebetulan berada di luar merasa aman. Padahal, semua tingkah itu malah menambah ketegangan. Atlanta rasanya sedang berada dalam perang. Sebuah pamflet "Selamatkan Anak-anak Anda Jasmani dan Rohani" di edarkan ke seluruh penjuru kota. Disitu tercantum cara-cara mengatasi ketakutan anak. Ada pula nomor telepon khusus (577-SAFE), yang bisa dihubungi setiap orang tua sekedar untuk menerima nasihat! SEMENTARA itu, adegan mayat yang diangkat dari lokasi kejahatan, dan foto para orang tua yang kehilangan anak, tampak bergantian mengisi pemandangan, misalnya lewat tv. Efek yang ditimbulkannya sangat mengganggu. Sebuah konperensi para ahli kesehatan mental untuk orang-orang negro diselenggarakan pula di Universitas Atlanta, Februari lalu. Konperensi melihat gelagat ketegangan dalam bentuknya yang klasik. Anak-anak tidur memegang injil, atau maskot yang dipercaya bisa melindungi. Mereka mengigau, terkencing-kencing, berkelahi di sekolah, mundur dalam tingkat kecerdasan, menggantungkan diri secara berlebihan kepada orang tua. Dan kalau disuruh menggambar orang, anak-anak itu selalu membuat orang yang kurus dan lemah. "Suatu ciri kehilangan kepercayaan pada diri sendiri," ujar para psikolog. Di tengah suasana keruh itu, walikota Atlanta Maynard Jackson mencoba membangun ketenangan, "Kita harus meyakinkan anak-anak kita," ujarnya, "bahwa sebelum pembunuhan berantai itu, kita pernah mengalami masa tenang. Dan kita sedang berusaha untuk kembali kepada masa tenang itu." Nada bicara Jackson, walikota di negara bagian tempat kediaman bekas presiden Carter itu, terdengar putus asa. Sampai kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus