Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Para pemotong si buyung

Bersaing dengan dokter. dukun sunat banyak yang bertahan. disamping doa dan mantera mereka pun menggunakan obat-obat modern. ada yang sampai punya rumah bagus dan mobil. (sd)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKTER dan mantri kesehatan tak mampu menggusur juru sunat tradisional. Selain karena sewaktu-waktu mudah terjun ke pelosok desa, juru sunat sering dipercaa memiliki jampi-jampian dan telah mempergunakan obat-obatan modern. Malahan Bisri Mustafa, seorang juru sunat -- di sana disebut calak -- di Desa Singgahan, Madiun, suatu ketika pada 1979, menunjukkan kepintarannya dengan menyunat 105 anak dalam waktu hanya 15 menit. Begitu cepat? Menurut Bisri, 41 tahun, "karena tergantung pada Tuhan." Maksudnya, "karena tangannya digerakkan Tuhan." Karena itu Bisri sering mendapat panggilan dari desa-desa yang terpencil. Dia termasuk calak yang tak mau menetapkan tarif. Tapi kalau si empunya hajat termasuk orang mampu, ia biasa mendapat imbalan Rp 5000 sampai Rp 10.000. Kehebatan Bisri memang dalam hal kecepatan kerjanya. Beberapa orang yang pernah menyunatkan anaknya kepada calak ini mengungkapkan, kalau Bisri sedang melakukan tugasnya, "sulit diikuti, kapan dia mulai dan kapan selesainya -- pokoknya tiba-tiba saja semua sudah beres." Dari anak yang disunat pun terdengar pengakuan serupa. "Saya hanya melihat Pak Bisri komat-kamit, ujung kemaluan saya dipegangnya, lalu selesai, tak terasa apa-apa." Beberapa saat setelah disunat, si anak pun sudah dapat berlari-lari. Bapak dari lima anak itu semula seorang tukang rumput. Tak lama kemudian menjadi buruh tani di sawah-sawah milik penduduk sedesanya. Tapi Bisri tak dapat mengungkapkan asal mula ia menjadi calak pada 1965. Begitu ia mulai, namanya pun jadi terkenal dan selalu sibuk melayani panggilan dari berbagai penjuru: Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, selain kawasan Madiun sendiri. Ia mengaku permintaan juga datang dari Sumatera, Kalimantan dan Surabaya, tapi tak dapat dilayaninya. Dari seorang tukang rumput, Bisri kini telah memiliki sebuah rumah gedung, sebuah mobil pick-up dan truk. Tukisam Calak demit adalah julukan bagi Ahmad Tukisam, juru sunat di Desa Ngaringan, Gandasuri, Blitar. Dijuluki begitu karena jika sedang melakukan tugasnya ia bekerja secepat demit (iblis). Ketika menyunat, ia memakai obat bius lokal, ditambah penjepit dan sebilah pisau kecil. Penjepit berguna untuk melindungi "topi baja" kemaluan anak yang disunatnya. Dari pembiusan sampai pembalutan, Tukisam hanya memerlukan waktu 5 menit -- satu jangka waktu yang agaknya masih jauh di bawah kecepatan kerja Bisri. Tukisam, 50 tahun, yang mengaku kepandaiannya sebagai calak diperoleh sebagai warisan dari kakak dan bapaknya, rata-rata memotong 50 "burung" setiap bulan. Selain datang ke tempat-tempat yang membutuhkan, ia juga memiliki semacam ruang praktek di rumahnya. Pernah, tuturnya, dalam waktu 6 jam dia harus menyunat 14 orang anak di ruang prakteknya dan harus mendatangi 11 anak lainnya di rumah-rumah yang berjauhan. "Tapi semua dapat saya selesaikan, tepat menurut rencana, " ungkapnya. Tapi bekas juru rawat itu suatu ketika, tahun 1956, pernah terheran-heran. Pasarannya mendadak sepi, bahkan dalam sebulan pernah tanpa pasien satu pun. Sebaliknya, dr. Kadas yang membuka praktek di kota kecamatan, Gandasuri, kebanjiran pasien anak-anak yang ingin disunat. Tukisam gelisah, karena menjadi juru sunat adalah satu-satunya mata pencahariannya. Setelah melakukan puasa 3 hari 3 malam, semacam ilham datang kepada Tukisam: ia harus melakukan modernisasi dalam obat-obatan. Maka sejak itulah ia meninggalkan ramuan-ramuan kuno, yakni minyak kelapa yang diramu dengan tumbukan batang cemara, dan kemenyan madu. Sebagai gantinya ia memakai obat pati rasa, ditambah sulfadilamit untuk penutup luka bekas sayatan. Hasilnya memang benar. Orang-orang kembali ramai mengunjunginya, sampai sekarang. Namun ia juga waspada, mengingat usianya yang semakin lanjut. Ia mulai menabung. "Pokoknya saya harus dapat membiayai kedua anak saya sampai perguruan tinggi," katanya dengan bangga. Anak tertuanya, laki-laki, kini murid kelas 3 SPG Blitar, sedang yang perempuan, kelas 1 SMP. Menurut Tukisam, "jika sudah ada petunjuk, saya akan mewariskan ilmu menyunat kepada anak tertua saya." Ngadiman Lain lagi dengan Ngadiman, 46 tahun, seorang juru sunat di Desa Sumbulan, Kecamatan Kertosuro, Jawa Tengah. Penduduk memberinya gelar bong rakyat, artinya tukang sunat rakyat. Tiap bulan rata-rata ia menyunat 100 orang, dewasa dan anak-anak, tidak terkecuali keturunan Cina maupun yang beragama Katolik. Ngadiman mengatakan bahwa sebagai bong rakyat, ia mengabdikan pekerjaannya pada masyarakat. Karena itu tak heran bila ia selalu mengusulkan sunat massal pada lurah dan pemuka desa. Mengapa? Karena Ngadiman tidak tega melihat anak yang sudah baligh tapi belum juga disunat karena menunggu orang tuanya panen dulu. "Dengan sunatan massal, pemborosan desa bisa dikurangi," ujar Ngadiman yang pernah bekerja di Dinas Kesehatan itu. Usulnya memang dilaksanakan, terutama pada hari-hari besar Islam. Ngadiman tidak hanya terkenal karena ramah dan biaya sunatnya murah. Pak Kromo yang pernah menyunatkan anaknya pada bong rakyat itu menuturkan, "tangannya begitu lihai, bisa mengiris secara tepat dan tidak akan terjadi pendarahan." Kelebihan ini diakui banyak orang. Padahal pralatannya sederhana saja: gunting, japit dan jarum penjahit. Ngadiman tidak pernah menggunakan obat bius. Syaban, 78 tahun, sejak 15 tahun berselang sudah menggunakan penisilin dan salep sulfa. Tidak ketinggalan kapas dan perban. Juru sunat di Desa Banten ini berpraktek hampir di seluruh wilayah Sungai Rampah, Sumatera Utara. Diakuinya, dulu ia terbiasa mempersiapkan ramuan daun-daunan di samping obat minum yang sudah diberi mantera-mantera. Bius tak dikenalnya. "Saya hanya minta kepada Tuhan agar diberi keselamatan. Itulah bius saya," ujar Syaban, yang tidak pernah menetapkan tarif. Begitu juga Kiyem, yang kabarnya sudah berusia 124 tahun. Orang tua yang sudah uzur ini dulu terkenal cekatan. Sebagai juru sunat khusus untuk anak perempuan ia dikenal seantero Pasar Jumat, Cilandak dan Kebayoran Lama, Jakarta. Ia pun bisa bertindak sebagai dukun beranak. Napsah, anak bungsu yang sekarang merawatnya bercerita, bahwa dua tahun lalu, Kiyem masih menyunat dengan tarif Rp 1.000. Tapi "tak dikasih, emak juga mau," ungkap Napsah. Pasien Kiyem umumnya berusia antara 40 hari sampai 1 tahun. "Kalau sudah besar, tak ada mah," kata Napsah pula. Pisau lipat kecil adalah alat Kivem satu-satunya. Dengan alat ini dia memotong apa yang disebut "manik" pada kemaluan bayi peremnuan itu. Darah yang keluar sedikit sekali, langsung dihapus dengan kapas. Kiyem tidak kenal mantra, doanya sederhana bismilah tujuh kali. Itu juga doa Haji Sabeni, 65 tahun. Juru sunat terkenal di bilangan Jakarta Selatan. Di samping supit bambu buatannya sendiri, alat lain adalah pisau cap garpu yang tiap kali hendak dipakai selalu diasah lebih dulu. Dulu juga Sabeni main "tiup", sekarang ia mengandalkan sulfadilamit. Barangkali masih hisa dihitung juru sunat seperti Sucahyo, yang sudah memperkenalkan cara potong dan jahit. Kini berusia 48 tahun, juru sunat dengan cara modern ini, pernah bekerja 10 tahun di RSU Kudus. Waktu mudanya ia bahkan sempat mendapat pendidikan sekolah perawat RS Kariadi, Semarang. Tapi adat Jawa lama, yang mengandalkan konsentrasi tinggi dan mantera-mantera, tidak ditinggalkannya. Menurut pendapat Sucahyo, "menyunat cara tradisional tak dapat dipertanggungjawabkan." Mengapa? "Penyembuhannya lama dan banyak mengeluarkan darah," tuturnya. Sehabis sunat, tiap pasien oleh Sucahyo selalu dibekali obat, berikut sehelai celana yang segera bisa dikenakan. Sucahyo di Kudus yang punya pasien rata-rata 5O orang sehari, boleh dibilang kewalahan, hingga tatkala orangtuanya meninggal di Kendal, ia tak dapat datang. "Hidup saya ditekan janji," katanya setengah mengeluh. Bagi Kaselan, yang berasal dari Desa Ploso, Kudus, kerja sebagai juru sunat terasa berat karena "dukun sunat tidak boleh lupa, harus menepati janji." Dulu untuk memenuhi panggilan, terkadang ia terpaksa berjalan kaki sejauh 22 km menembus gelap dan hujan. Sekarang ia naik motor Suzuki. Tapi ia juga memiliki sebuah mobil Fiat dan sebuah colt, berikut 3 ha sawah -- semua dari penggasilannya sebagai juru sunat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus