DOKTER dan mantri kesehatan tak mampu menggusur juru sunat
tradisional. Selain karena sewaktu-waktu mudah terjun ke pelosok
desa, juru sunat sering dipercaa memiliki jampi-jampian dan
telah mempergunakan obat-obatan modern.
Malahan Bisri Mustafa, seorang juru sunat -- di sana disebut
calak -- di Desa Singgahan, Madiun, suatu ketika pada 1979,
menunjukkan kepintarannya dengan menyunat 105 anak dalam waktu
hanya 15 menit. Begitu cepat? Menurut Bisri, 41 tahun, "karena
tergantung pada Tuhan." Maksudnya, "karena tangannya digerakkan
Tuhan."
Karena itu Bisri sering mendapat panggilan dari desa-desa yang
terpencil. Dia termasuk calak yang tak mau menetapkan tarif.
Tapi kalau si empunya hajat termasuk orang mampu, ia biasa
mendapat imbalan Rp 5000 sampai Rp 10.000. Kehebatan Bisri
memang dalam hal kecepatan kerjanya. Beberapa orang yang pernah
menyunatkan anaknya kepada calak ini mengungkapkan, kalau Bisri
sedang melakukan tugasnya, "sulit diikuti, kapan dia mulai dan
kapan selesainya -- pokoknya tiba-tiba saja semua sudah beres."
Dari anak yang disunat pun terdengar pengakuan serupa. "Saya
hanya melihat Pak Bisri komat-kamit, ujung kemaluan saya
dipegangnya, lalu selesai, tak terasa apa-apa." Beberapa saat
setelah disunat, si anak pun sudah dapat berlari-lari.
Bapak dari lima anak itu semula seorang tukang rumput. Tak lama
kemudian menjadi buruh tani di sawah-sawah milik penduduk
sedesanya. Tapi Bisri tak dapat mengungkapkan asal mula ia
menjadi calak pada 1965. Begitu ia mulai, namanya pun jadi
terkenal dan selalu sibuk melayani panggilan dari berbagai
penjuru: Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, selain kawasan
Madiun sendiri. Ia mengaku permintaan juga datang dari Sumatera,
Kalimantan dan Surabaya, tapi tak dapat dilayaninya.
Dari seorang tukang rumput, Bisri kini telah memiliki sebuah
rumah gedung, sebuah mobil pick-up dan truk.
Tukisam
Calak demit adalah julukan bagi Ahmad Tukisam, juru sunat di
Desa Ngaringan, Gandasuri, Blitar. Dijuluki begitu karena jika
sedang melakukan tugasnya ia bekerja secepat demit (iblis).
Ketika menyunat, ia memakai obat bius lokal, ditambah penjepit
dan sebilah pisau kecil. Penjepit berguna untuk melindungi "topi
baja" kemaluan anak yang disunatnya. Dari pembiusan sampai
pembalutan, Tukisam hanya memerlukan waktu 5 menit -- satu
jangka waktu yang agaknya masih jauh di bawah kecepatan kerja
Bisri.
Tukisam, 50 tahun, yang mengaku kepandaiannya sebagai calak
diperoleh sebagai warisan dari kakak dan bapaknya, rata-rata
memotong 50 "burung" setiap bulan. Selain datang ke
tempat-tempat yang membutuhkan, ia juga memiliki semacam ruang
praktek di rumahnya. Pernah, tuturnya, dalam waktu 6 jam dia
harus menyunat 14 orang anak di ruang prakteknya dan harus
mendatangi 11 anak lainnya di rumah-rumah yang berjauhan. "Tapi
semua dapat saya selesaikan, tepat menurut rencana, " ungkapnya.
Tapi bekas juru rawat itu suatu ketika, tahun 1956, pernah
terheran-heran.
Pasarannya mendadak sepi, bahkan dalam sebulan pernah tanpa
pasien satu pun. Sebaliknya, dr. Kadas yang membuka praktek di
kota kecamatan, Gandasuri, kebanjiran pasien anak-anak yang
ingin disunat. Tukisam gelisah, karena menjadi juru sunat adalah
satu-satunya mata pencahariannya.
Setelah melakukan puasa 3 hari 3 malam, semacam ilham datang
kepada Tukisam: ia harus melakukan modernisasi dalam
obat-obatan. Maka sejak itulah ia meninggalkan ramuan-ramuan
kuno, yakni minyak kelapa yang diramu dengan tumbukan batang
cemara, dan kemenyan madu. Sebagai gantinya ia memakai obat pati
rasa, ditambah sulfadilamit untuk penutup luka bekas sayatan.
Hasilnya memang benar. Orang-orang kembali ramai mengunjunginya,
sampai sekarang. Namun ia juga waspada, mengingat usianya yang
semakin lanjut. Ia mulai menabung. "Pokoknya saya harus dapat
membiayai kedua anak saya sampai perguruan tinggi," katanya
dengan bangga. Anak tertuanya, laki-laki, kini murid kelas 3 SPG
Blitar, sedang yang perempuan, kelas 1 SMP. Menurut Tukisam,
"jika sudah ada petunjuk, saya akan mewariskan ilmu menyunat
kepada anak tertua saya."
Ngadiman
Lain lagi dengan Ngadiman, 46 tahun, seorang juru sunat di Desa
Sumbulan, Kecamatan Kertosuro, Jawa Tengah. Penduduk memberinya
gelar bong rakyat, artinya tukang sunat rakyat. Tiap bulan
rata-rata ia menyunat 100 orang, dewasa dan anak-anak, tidak
terkecuali keturunan Cina maupun yang beragama Katolik. Ngadiman
mengatakan bahwa sebagai bong rakyat, ia mengabdikan
pekerjaannya pada masyarakat. Karena itu tak heran bila ia
selalu mengusulkan sunat massal pada lurah dan pemuka desa.
Mengapa? Karena Ngadiman tidak tega melihat anak yang sudah
baligh tapi belum juga disunat karena menunggu orang tuanya
panen dulu. "Dengan sunatan massal, pemborosan desa bisa
dikurangi," ujar Ngadiman yang pernah bekerja di Dinas Kesehatan
itu. Usulnya memang dilaksanakan, terutama pada hari-hari besar
Islam.
Ngadiman tidak hanya terkenal karena ramah dan biaya sunatnya
murah. Pak Kromo yang pernah menyunatkan anaknya pada bong
rakyat itu menuturkan, "tangannya begitu lihai, bisa mengiris
secara tepat dan tidak akan terjadi pendarahan." Kelebihan ini
diakui banyak orang. Padahal pralatannya sederhana saja:
gunting, japit dan jarum penjahit. Ngadiman tidak pernah
menggunakan obat bius.
Syaban, 78 tahun, sejak 15 tahun berselang sudah menggunakan
penisilin dan salep sulfa. Tidak ketinggalan kapas dan perban.
Juru sunat di Desa Banten ini berpraktek hampir di seluruh
wilayah Sungai Rampah, Sumatera Utara. Diakuinya, dulu ia
terbiasa mempersiapkan ramuan daun-daunan di samping obat minum
yang sudah diberi mantera-mantera. Bius tak dikenalnya. "Saya
hanya minta kepada Tuhan agar diberi keselamatan. Itulah bius
saya," ujar Syaban, yang tidak pernah menetapkan tarif.
Begitu juga Kiyem, yang kabarnya sudah berusia 124 tahun. Orang
tua yang sudah uzur ini dulu terkenal cekatan. Sebagai juru
sunat khusus untuk anak perempuan ia dikenal seantero Pasar
Jumat, Cilandak dan Kebayoran Lama, Jakarta. Ia pun bisa
bertindak sebagai dukun beranak. Napsah, anak bungsu yang
sekarang merawatnya bercerita, bahwa dua tahun lalu, Kiyem masih
menyunat dengan tarif Rp 1.000. Tapi "tak dikasih, emak juga
mau," ungkap Napsah.
Pasien Kiyem umumnya berusia antara 40 hari sampai 1 tahun.
"Kalau sudah besar, tak ada mah," kata Napsah pula. Pisau lipat
kecil adalah alat Kivem satu-satunya. Dengan alat ini dia
memotong apa yang disebut "manik" pada kemaluan bayi peremnuan
itu. Darah yang keluar sedikit sekali, langsung dihapus dengan
kapas. Kiyem tidak kenal mantra, doanya sederhana bismilah tujuh
kali.
Itu juga doa Haji Sabeni, 65 tahun. Juru sunat terkenal di
bilangan Jakarta Selatan. Di samping supit bambu buatannya
sendiri, alat lain adalah pisau cap garpu yang tiap kali hendak
dipakai selalu diasah lebih dulu. Dulu juga Sabeni main "tiup",
sekarang ia mengandalkan sulfadilamit.
Barangkali masih hisa dihitung juru sunat seperti Sucahyo, yang
sudah memperkenalkan cara potong dan jahit. Kini berusia 48
tahun, juru sunat dengan cara modern ini, pernah bekerja 10
tahun di RSU Kudus. Waktu mudanya ia bahkan sempat mendapat
pendidikan sekolah perawat RS Kariadi, Semarang. Tapi adat Jawa
lama, yang mengandalkan konsentrasi tinggi dan mantera-mantera,
tidak ditinggalkannya. Menurut pendapat Sucahyo, "menyunat cara
tradisional tak dapat dipertanggungjawabkan." Mengapa?
"Penyembuhannya lama dan banyak mengeluarkan darah," tuturnya.
Sehabis sunat, tiap pasien oleh Sucahyo selalu dibekali obat,
berikut sehelai celana yang segera bisa dikenakan.
Sucahyo di Kudus yang punya pasien rata-rata 5O orang sehari,
boleh dibilang kewalahan, hingga tatkala orangtuanya meninggal
di Kendal, ia tak dapat datang. "Hidup saya ditekan janji,"
katanya setengah mengeluh. Bagi Kaselan, yang berasal dari Desa
Ploso, Kudus, kerja sebagai juru sunat terasa berat karena
"dukun sunat tidak boleh lupa, harus menepati janji." Dulu untuk
memenuhi panggilan, terkadang ia terpaksa berjalan kaki sejauh
22 km menembus gelap dan hujan. Sekarang ia naik motor Suzuki.
Tapi ia juga memiliki sebuah mobil Fiat dan sebuah colt, berikut
3 ha sawah -- semua dari penggasilannya sebagai juru sunat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini