Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Soemardi di pompa bensin

Sengketa buruh pompa bensin dengan majikannya/pemilik dua pompa bensin, r.m hartono. buruh-buruh menuntut uang kesejahteraan penghasilan tambahan yang didapat dengan mengecoh jumlah bensin yang dijual.(kt)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBIASAAN buruh pompa bensin mengurangi jumlah yang dijualnya tanpa disadari pembeli, telah dimanfaatkan sang majikan. Buruh-buruh itu dikenai pungutan uang kesejahteraan. Tapi ketika mereka menuntut kembali uang itu setelah bertahun-tahun, buruh-buruh itu malah diberhentikan. Pemilik dua pompa bensin di Semarang, R.M. Hartono, pada mulanya tahu benar, selain gaji yang diberikannya setiap bulan, para buruhnya mendapat penghasilan tambahan dengan cara mengecoh jumlah bensin yang dijual. Misalnya, ketika konsumen minta agar tangki mobilnya diisi 30 liter, para petugas pompa hanya mengisi 29,6 liter. Para pemilik mobil tak begitu hirau pada kekurangan itu, sehingga tetap juga membayar untuk 30 liter. Hartono rupanya ingin memanfaatkan penghasilan tambahan buruh-buruhnya. Dengan janji lisan bahwa suatu ketika akan dikembalikan pada pekerja-pekerja itu, ia pun memungut uang kesejahteraan dari penghasilan tambahan tadi. Caranya: untuk tiap 1000 liter bensin yang terjual, dikenakan uang kesejahteraan Rp 50. Itu pertama kali terjadi 1963. Tapi jumlah pungutan meningkat terus. Terakhir ditetapkan Rp 300 untuk tiap 1.000 liter bensin dan Rp 250 untuk tiap 1.000 Iiter solar. Uang itu, janji Hartono, ia sendiri yang menyimpan tapi dapat diambil sewaktu-waktu bila pekerjanya membutuhkan. Namun ketika awal April lalu Soemardi, buruh pompa bensin yang telah bekerja 20 tahun lebih, menuntut agar uang kesejahteraan itu dikembalikan, Hartono menolak. Bahkan sang majikan ini mengingkari bahwa ia pernah berjanji akan mengembalikan uang itu. Sehingga ketika Soemardi dan lima orang temannya tetap menuntut agar uang simpanan yang kata mereka sudah mencapai Rp 50 juta, mereka pun diberhentikan. Padahal, tutur Soemardi, meski dengan gaji tertinggi Rp 9.000 sebulan, selama ini ia dan teman-temannya selalu rajin membayar uang kesejahteraan itu kepada Hartono. "Yang nunggak diancam akan diskors atau dipecat," ungkap Bedjo, salah seorang buruh yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). "Ketika anak saya meninggal dan saya minta bantuan, ternyata tak diberi," lanjut Bedjo. Kepala Kanwil Ditjen Bina Lindung Ja-Teng, T. Hadi Soemarto SH, tegas menyatakan "pungutan seperti itu tidak bisa dibenarkan." Dikatakannya apa yang dimaksud dana kesejahteraan sesungguhnya adalah tanggungjawab pengusaha. Andaikata ada pungutan di antara para buruh, maka dana seperti itu dikelola oleh mereka sendiri. Menurut pejabat ini, Kanwil Bina Lindung belum pernah menangani kasus PHK yang timbul karena buruh menuntut kembali dana kesejahteraan yang sebelumnya 'dipungut oleh majikan dari mereka juga. Pertama Kali "Ini untuk yang pertama kali," katanya, "juga untuk pertama kali Bina Lindung harus menangani kasus yang telah didahului oleh keputusan DPRD." Yang dimaksud Hadi Soemarto tentulah keputusan Komisi E DPRD Kodya Semarang yang menghebohkan itu. Kasus Soemardi dkk telah menyebabkan Komisi itu terlibat. Bermula dari surat yang dilayangkan para buruh perusahaan pompa bensin itu kepada pelbagai pejabat dan instansi -- antara lain Opstib Pusat dan DPRD Kodya Semarang. Menanggapi surat yang bernapaskan solidaritas sesama buruh itu, Komisi E memanggil pihak-pihak yang bersengketa. Sesudah itu pada 8 Mei 1981, Komisi mengeluarkan sebuah surat keputusan, isinya yang antara lain, membenarkan PHK terhadap keenam buruh tadi. Ketua Komisi E, Soemarman, bahkan langsung membenarkan tindakan Hartono yang mem-PHK-kan Soemardi dkk. Tentang dana kesejahteraan, menurut Soemarman, "tidak ada bukti tertulis, tidak dibukukan." Sikap Soemarman dan keputusan Komisi E DPRD Semarang telah mengundang banyak tanggapan yang cukup keras, antara lain dari LBH Semarang dan Komisi E DPRD Ja-Teng. LBH, misalnya sangat menyesalkan ucapan wakil rakyat itu. Soal tiadanya bukti tertulis menurut LBH tidak dapat dijadikan alasan untuk begitu saja menghapus hak buruh atas uang simpanan mereka. Menurut lembaga ini, perjanjian tidak tertulis mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan perjanjian tertulis. Juga digaris-bawahi bahwa kalau ada kata sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian itu sah dan mengikat. Komisi E DPRD Ja-Teng menilai apa yang dilakukan rekan-rekannya di tingkat Kodya Semarang sebenarnya bukan hak mereka. "DPRD tak berwenang," kata Drs. Med. Soemedi, salah seorang anggota Komisi. Kanwil Bina Lindung tidak tinggal diam. Perundingan segera diadakan antara Soemardi yang mewakili pihak buruh dengan Soetrisno dan Sudjono, keduanya mandor pompa bensin yang mewakili Hartono. Tawar-menawar pun terjadi, begitu menurut Soemardi. Semula buruh menuntut agar uang kesejahteraan itu dihitung Rp 100.000 per tahun untuk tiap buruh. Kemudian tuntutan merosot jadi Rp 50.000, sementara pihak majikan hanya bersedia Rp 15.000. "Tahu-tahu hari Senin saya diberitahu, bahwa Bina Lindung memutuskan Rp 35.000 tiap buruh tiap tahun," kata Soemardi sambil senyum-senyum. Jumlah itu jelas di bawah tuntutan mereka, tapi menurut Soemardi kelima kawannya bersedia menerima. "Saya ya bagaimana lagi," ujar Soemardi yang menerima paling banyak yakni Rp 700. 000 untuk masa kerja 20 tahun ditambah uang lembur Rp 140.000. Ternyata uang lembur dihitung hanya Rp 7000 per tahun, sedangkan yang Rp 35.000 adalah uang kesejahteraan yang dikembalikan pihak majikan. Segala sesuatu tentang ini termaktub dalam SK Bina Lindung 25 Mei 1981. Semua buruh telah menerima uang kesejahteraan berikut uang lembur Rabu pekan lalu dan dengan demikian selesailah sengketa itu secara tuntas. Yang belum tuntas tentulah nasib Soemardi dan kawan-kawannya yang masih menganggur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus