KEBIASAAN buruh pompa bensin mengurangi jumlah yang dijualnya
tanpa disadari pembeli, telah dimanfaatkan sang majikan.
Buruh-buruh itu dikenai pungutan uang kesejahteraan. Tapi ketika
mereka menuntut kembali uang itu setelah bertahun-tahun,
buruh-buruh itu malah diberhentikan.
Pemilik dua pompa bensin di Semarang, R.M. Hartono, pada mulanya
tahu benar, selain gaji yang diberikannya setiap bulan, para
buruhnya mendapat penghasilan tambahan dengan cara mengecoh
jumlah bensin yang dijual. Misalnya, ketika konsumen minta agar
tangki mobilnya diisi 30 liter, para petugas pompa hanya mengisi
29,6 liter. Para pemilik mobil tak begitu hirau pada kekurangan
itu, sehingga tetap juga membayar untuk 30 liter.
Hartono rupanya ingin memanfaatkan penghasilan tambahan
buruh-buruhnya. Dengan janji lisan bahwa suatu ketika akan
dikembalikan pada pekerja-pekerja itu, ia pun memungut uang
kesejahteraan dari penghasilan tambahan tadi. Caranya: untuk
tiap 1000 liter bensin yang terjual, dikenakan uang
kesejahteraan Rp 50.
Itu pertama kali terjadi 1963. Tapi jumlah pungutan meningkat
terus. Terakhir ditetapkan Rp 300 untuk tiap 1.000 liter bensin
dan Rp 250 untuk tiap 1.000 Iiter solar. Uang itu, janji
Hartono, ia sendiri yang menyimpan tapi dapat diambil
sewaktu-waktu bila pekerjanya membutuhkan.
Namun ketika awal April lalu Soemardi, buruh pompa bensin yang
telah bekerja 20 tahun lebih, menuntut agar uang kesejahteraan
itu dikembalikan, Hartono menolak. Bahkan sang majikan ini
mengingkari bahwa ia pernah berjanji akan mengembalikan uang
itu. Sehingga ketika Soemardi dan lima orang temannya tetap
menuntut agar uang simpanan yang kata mereka sudah mencapai Rp
50 juta, mereka pun diberhentikan.
Padahal, tutur Soemardi, meski dengan gaji tertinggi Rp 9.000
sebulan, selama ini ia dan teman-temannya selalu rajin membayar
uang kesejahteraan itu kepada Hartono. "Yang nunggak diancam
akan diskors atau dipecat," ungkap Bedjo, salah seorang buruh
yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). "Ketika anak saya
meninggal dan saya minta bantuan, ternyata tak diberi," lanjut
Bedjo.
Kepala Kanwil Ditjen Bina Lindung Ja-Teng, T. Hadi Soemarto SH,
tegas menyatakan "pungutan seperti itu tidak bisa dibenarkan."
Dikatakannya apa yang dimaksud dana kesejahteraan sesungguhnya
adalah tanggungjawab pengusaha. Andaikata ada pungutan di antara
para buruh, maka dana seperti itu dikelola oleh mereka sendiri.
Menurut pejabat ini, Kanwil Bina Lindung belum pernah menangani
kasus PHK yang timbul karena buruh menuntut kembali dana
kesejahteraan yang sebelumnya 'dipungut oleh majikan dari mereka
juga.
Pertama Kali
"Ini untuk yang pertama kali," katanya, "juga untuk pertama kali
Bina Lindung harus menangani kasus yang telah didahului oleh
keputusan DPRD." Yang dimaksud Hadi Soemarto tentulah keputusan
Komisi E DPRD Kodya Semarang yang menghebohkan itu.
Kasus Soemardi dkk telah menyebabkan Komisi itu terlibat.
Bermula dari surat yang dilayangkan para buruh perusahaan pompa
bensin itu kepada pelbagai pejabat dan instansi -- antara lain
Opstib Pusat dan DPRD Kodya Semarang. Menanggapi surat yang
bernapaskan solidaritas sesama buruh itu, Komisi E memanggil
pihak-pihak yang bersengketa. Sesudah itu pada 8 Mei 1981,
Komisi mengeluarkan sebuah surat keputusan, isinya yang antara
lain, membenarkan PHK terhadap keenam buruh tadi.
Ketua Komisi E, Soemarman, bahkan langsung membenarkan tindakan
Hartono yang mem-PHK-kan Soemardi dkk. Tentang dana
kesejahteraan, menurut Soemarman, "tidak ada bukti tertulis,
tidak dibukukan."
Sikap Soemarman dan keputusan Komisi E DPRD Semarang telah
mengundang banyak tanggapan yang cukup keras, antara lain dari
LBH Semarang dan Komisi E DPRD Ja-Teng. LBH, misalnya sangat
menyesalkan ucapan wakil rakyat itu. Soal tiadanya bukti
tertulis menurut LBH tidak dapat dijadikan alasan untuk begitu
saja menghapus hak buruh atas uang simpanan mereka. Menurut
lembaga ini, perjanjian tidak tertulis mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan perjanjian tertulis. Juga digaris-bawahi bahwa
kalau ada kata sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian itu
sah dan mengikat.
Komisi E DPRD Ja-Teng menilai apa yang dilakukan rekan-rekannya
di tingkat Kodya Semarang sebenarnya bukan hak mereka. "DPRD tak
berwenang," kata Drs. Med. Soemedi, salah seorang anggota
Komisi.
Kanwil Bina Lindung tidak tinggal diam. Perundingan segera
diadakan antara Soemardi yang mewakili pihak buruh dengan
Soetrisno dan Sudjono, keduanya mandor pompa bensin yang
mewakili Hartono. Tawar-menawar pun terjadi, begitu menurut
Soemardi. Semula buruh menuntut agar uang kesejahteraan itu
dihitung Rp 100.000 per tahun untuk tiap buruh. Kemudian
tuntutan merosot jadi Rp 50.000, sementara pihak majikan hanya
bersedia Rp 15.000. "Tahu-tahu hari Senin saya diberitahu, bahwa
Bina Lindung memutuskan Rp 35.000 tiap buruh tiap tahun," kata
Soemardi sambil senyum-senyum.
Jumlah itu jelas di bawah tuntutan mereka, tapi menurut Soemardi
kelima kawannya bersedia menerima. "Saya ya bagaimana lagi,"
ujar Soemardi yang menerima paling banyak yakni Rp 700. 000
untuk masa kerja 20 tahun ditambah uang lembur Rp 140.000.
Ternyata uang lembur dihitung hanya Rp 7000 per tahun, sedangkan
yang Rp 35.000 adalah uang kesejahteraan yang dikembalikan pihak
majikan. Segala sesuatu tentang ini termaktub dalam SK Bina
Lindung 25 Mei 1981. Semua buruh telah menerima uang
kesejahteraan berikut uang lembur Rabu pekan lalu dan dengan
demikian selesailah sengketa itu secara tuntas. Yang belum
tuntas tentulah nasib Soemardi dan kawan-kawannya yang masih
menganggur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini