Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Merindukan seorang pariyem

Pengarang: linus suryadi ag jakarta: sinar harapan, 1981 resensi oleh: subagio sastrowardoyo. (bk)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGAKUAN PARIYEM Linus Suryadi AG, Sinar Harapan, Jakarta 1981, 244 halaman daftar kosa kata Jawa-Indonesia dan dua kata pengantar. PENGAKUAN Pariyem penuh dengan istilah Jawa. Bagi pengamat kesusastraan Indonesia percampuran dengan bahasa daerah itu sudah nampak biasa, karena telah dipersiapkan oleh karya lain, oleh pengarang-pengarang sebelumnya. Sajak Darmanto Yatman dan lakon Akhudiat tidak sedikit menggunakan kata dan ucapan Jawa. Gubahan cerita Nyai Dasima oleh S.M. Ardan mengandung omongan khas Jakarta. Sedang dalam roman terkenal Atheis Achdiat Karta Mihardja bermunculan dengan amat kerapnya kata-kata Sunda. Dalam Pengakuan Pariyem karangan Linus Suryadi AG ini penggunaan kata bahasa daerah sudah mencapai tahap ekstrim. Sehingga oleh pengarangnya dirasa perlu memberi daftar kosa kata Jawa-lndonesia seluas 57 halaman di bagian belakang bukunya. Istilah bahasa daerah dalam kesusastraan Indonesia bertugas memberi warna lokal pada cerita -- supaya kejadian dapat mengesankan realitas. Tetapi dengan kembali menjemput kata dan ungkapan bahasa daerah itu rupanya ada semacam pengakuan yang diam-diam tak terungkapkan. Ialah, bahwa bahasa Indonesia kurang ekspresif sifatnya untuk menyatakan sesuatu secara hemat dan tepat. Mungkin pada Linus telah timbul pertanyaan: bagaimana menyatakan secara ekspresif pengertian menjuluk atau mbok-mboken dalam bahasa Indonesia, kecuali dengan uraian panjang yang tidak langsung mengena pada intinya. Seperti, 'mengangkat kepala untuk diletakkan di atas bantal (setelah merosot)' dan 'masih bergantung kepada ibu'. Saking banyaknya istilah Jawa dipergunakan dalam cerita ini, beberapa di antaranya luput dimasukkan dalam daftar kosa kata. Seperti kata pari taneg, weton, nJawani dan ungkapan nggege mangsa, nrimo ing pandum, yang niscaya akan menghambat pembaca bukan Jawa untuk memahami pengakuan Pariyem dengan sepenuhnya. Kecuali pada roman Atheis, istilah bahasa daerah dalam kesusastraan Indonesia bertujuan mengungkapkan jagat rakyat kecil. Bahasa campuran Indonesia-daerah yang bercorak tak resmi itu merupakan pengucapan diri yang paling tepat bagi lapisan masyarakat yang tak resmi pula. Dalam Pengakuan Pariyem, tokoh rakyat kecil yang tampil adalah Maria Magdalena Pariyem dari desa Wonosari Gunung Kidul, yang menjadi babu keluarga bangsawan Cokrosentono di kota Yogyakarta -- kedudukan hidup yang berulang-ulang disebut dalam prosa-lirik ini. Nama Maria Magdalena didapatnya dari pastur Belanda ketika ia bersekolah SD Kanisius di Wonosari. Tetapi berbeda dengan Maria Magdalena di dalam kitab Injil yang sadar akan dosanya, Maria Magdalena dari Gunung Kidul ini tidak mengenal dosa. Dia tidak merasa terikat kepada dogma agama dan dia membenarkan naluri alam. Kehidupan mengalir dengan wajar dan tidak ada penyesalan yang menggoda batinnya. Pariyem lebih dekat kepada kejawaannya daripada kepada agama Katoliknya, "Bila dia itu orang Jawa tulen," katanya, "tak usah merasa perlu ditanya-perkara dosa." Seks Pariyem Dasar kepercayaan Pariyem adalah mistik Jawa. Dan Linus lewat angan-angan dan pengalaman Pariyem mengutarakan berbagai perbuatan dan gagasan yang terbit dari pandangan hidup itu. Pariyem merupakan penjelmaan gagasan Linus tentang sikap kejawen: "Hidup mesti selaras dengan alam agar umur kita awet dan panjang. " Keselamatan tergantung kepada harmoni kita dengan alam. Di samping itu berlaku pedoman supaya kita tahu takar dan batas: berpikir dan merasa harus sak madya saja, antara rasa dan pikir selaras sehingga hidup berjalan, 'berdesir'. Berpegang pada patokan hidup itu Pariyem memperoleh sikap yang diidam-idamkan olehnya. Yakni, keikhlasan menerima segala rupa nasib yang datang, sikap lega-lila. Ia tidak menolak nasibnya sebagai babu, karena hukum alam menentukan bahwa ada priyayi, ada babu, dan kedua-duanya tak terpisahkan. Kehidupan seks Pariyem, yang dibentangkan dalam buku ini tanpa disidhem dan didekam juga sekedar mengikuti aliran alam yang tidak terhambat oleh cuaca batin yang gelap."Saya mau mengalir saja, saya krasan ada di dalamnya," katanya. Dia tidak gusar ketika hilang keprawanannya oleh teman sekampungnya, Kliwon. Juga kemudian setelah menjadi babu di Yogya, ia melayani kebutuhan bermain cinta putra majikannya dengan lega-lila juga. Bahkan setelah hubungan itu membuahkan anak, ia rela menerima keturunan itu, dan tidak menjadi soal baginya apakah ia akan dinikah atau tidak. Linus, 30 tahun, lewat pengakuan Pariyem tidak saja menggambarkan dunia batin seorang wanita Jawa, seperti yang dinyatakan di bawah judul bukunya. Tetapi ia memaparkan pula masarakat di lingkungan Pariyem dengan kebiasaan-kebiasaan dan tatacaranya. Ia pun mempergunakan tokoh Pariyem untuk menegaskan sikapnya terhadap kehidupan sosial dewasa ini. Dan rasa humor yang halus menyertai kritiknya, sesuai dengan kesantaian gaya hidup Pariyem. Satu pokok pikiran Linus yang penting yang dikemukakannya lewat Pariyem adalah mengenai pendirian budayanya, yang disebutnya ngelmu krasan. Pendirian itu berpegang pada orientasi, krasannya, pada negeri serta tradisi sendiri. Sikap ini dihadapkan bertentangan dengan universalisme yang dianut penyair modern seperti Chairil Anwar dan Sitor Situmorang -- yang oleh Linus disifatkan sebagai "orang-orang mengembarakan batin/dan mencari jangkar ke seberang/Dengan buminya merasakan asing/tidak dekat dan tidak akrab." Ganjil & Tak Kena Pengakuan Pariyem merupakan buah sastra Indonesia yang paling bagus selama barang lima tahun ini. Dalam bentuk prosa-lirik yang serba ringkas dan bervariasi gaya penuturannya, karya ini telah berhasil mencakup ruang-lingkup kehidupan yang luas. Dengan menjamah segi Jasmam, sambil mengajak masuk ke dalam relung jagat manusia Jawa. Angan-angan, gagasan serta realisme kehidupan jalin-menjalin dengan manisnya dalam cerita ini. Tetapi ada sesuatu yang terasa masih ganjil dan tak kena. Linus memang dengan meyakinkan memaparkan cita-cita kejawen yang secara umum masih diakui sebagai nilai dan pedoman hidup yang berharga dalam masyarakat Jawa. Tetapi pertanyaan timbul waktu membaca buku ini: menurut kenyataannya, masih mungkinkah kita menjumpai seorang babu seperti Pariyem itu di dalam rumah tangga, di Yogya atau di kota lain di Jawa Tengah? Bukankah Pariyem hanya tinggal penjelmaan cita saja tentang etika Jawa, yang tidak lagi dapat kita temukan pada tingkah laku pembantu rumah tangga di Jawa? Pariyem yang digambarkan dalam buku Linus ini hanya mungkin ada barang empat puluh tahun yang lalu -- sekarang sudah bungkuk dengan gigi ompong di rumah sebuah keluarga modern, seperti keluarga bangsawan Cokrosentono itu, Hubungan babu-majikan yang santai dan ramah dan penuh pengabdian seperti yang dikemukakan Linus boleh dikata sudah tak ada di Jawa. Barangsiapa setelah membaca Pengakuan Pariyem berkeinginan menemukan babu seperti dia, terang akan penasaran dan kecewa. Pariyem hanya tinggal suatu kerinduan. Subagio Sastrowardoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus