Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

36 jam yang mencekam

TAHANAN dan narapidana kasus terorisme Rumah Tahanan Salemba Cabang Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, mengamuk dan menyerang sipir polisi dan anggota Detasemen Khusus Antiteror pada Selasa pekan lalu. Menguasai senjata tajam, senapan, dan bom hasil rampasan dari ruang barang bukti dan petugas, mereka menyandera enam anggota Detasemen Khusus dan menduduki rumah tahanan selama 36 jam. Ratusan tahanan dan napi menyerah setelah dikepung ribuan polisi. Enam tewas dalam peristiwa mencekam ini: lima polisi yang disandera dan satu orang tahanan.

13 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
TAHANAN dan narapidana kasus terorisme Rumah Tahanan Salemba Cabang Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, mengamuk dan menyerang sipir polisi dan anggota Detasemen Khusus Antiteror pada Selasa pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAWAN Kurniawan alias Abu Afif menumpahkan keluh kesahnya kepada sang pengacara sebelum menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Selasa pekan lalu. Pria 42 tahun itu dongkol terhadap perlakuan beberapa sipir polisi di Rumah Tahanan Salemba Cabang Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. "Sudah dua pekan ia tak pernah menerima makanan dari istrinya yang dititipkan ke petugas jaga rutan," ujar Asludin Hatjani, menceritakan kegundahan kliennya, Kamis pekan lalu.

Pentolan Jamaah Ansharud Daulah Pekanbaru itu tengah menjalani sidang kedua kasusnya. Bersama enam anggota jaringan tersebut, Wawan diadili dalam kasus pelatihan militer atau i’dad yang diduga bagian dari rencana penyerangan sejumlah markas polisi di Pekanbaru. Tim Detasemen Khusus Antiteror Kepolisian RI membekuk mereka pada akhir Oktober 2017. Jamaah Ansharud Daulah pimpinan Aman Abdurrahman ini berbaiat kepada kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Setelah menjalani sidang, kepada Asludin, Wawan menyampaikan unek-unek yang sama. Ia bercerita bertemu dengan sang istri di pengadilan pagi hari sebelum sidang. Dalam perjumpaan itu, Wawan mendapatkan informasi bahwa istrinya menitipkan makanan untuk dia kepada seorang polisi pengawal. Sampai persidangan kelar, pria kelahiran Jakarta itu merasa tidak pernah menerima titipan makanan dari istrinya.

Bukan hanya perkara makanan, Wawan juga mengaku kepada pengacaranya sudah tidak betah menghuni sel Rumah Tahanan Brimob. Ia menghuni salah satu sel di Blok C berukuran 3 x 6 meter bersama sepuluh tahanan kasus terorisme lainnya. Asludin berjanji menyampaikan keluhan Wawan kepada petugas rumah tahanan. "Dia bilang selnya berukuran kecil," kata Asludin. "Untuk tidur saja susah."

Menjelang malam, Wawan bersama enam terdakwa lain kembali ke rumah tahanan. Dua jam berselang, ia berteriak-teriak di dalam selnya meminta dipertemukan dengan atasan sipir jaga bernama Budi. Anggota Detasemen Khusus, Brigadir Dua Muhammad Ramdani, yang tengah berpatroli, menghampiri Blok C karena mendengar Wawan mengeluarkan makian untuk sipir. Wawan meminta Ramdani segera memanggil Budi. "Wawan yang memulai keributan dan mencari Pak Budi," ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto.

Karena orang yang dicari tak kunjung datang, para tahanan dan narapidana menjadi beringas. Mereka menjebol sel, lantas mendobrak pintu di samping kanan blok. Sebagian mendobrak pintu utama sel Blok C dan mengambil besi jemuran. Mereka juga menghancurkan dinding kaca dalam rumah tahanan dan memprovokasi narapidana di Blok A dan B. Mereka menyerang dua petugas patroli di sana, yakni Ramdani dan Brigadir Satu Hadinata. Ramdani terluka di kepala karena lemparan asbak dan Hadinata terluka di kepala kanan lantaran dipukul dengan benda tumpul. Mereka lari menuju ruang interogasi.

Dalam hitungan menit, sepuluh tahanan dan narapidana, salah satunya Wawan, menerobos ruang interogasi. Selain Ramdani dan Hadinata, di sana ada delapan anggota Detasemen Khusus dan bagian penyidikan Markas Besar Polri yang tengah memeriksa para tersangka kasus terorisme. Sempat terjadi baku tembak di ruangan ini, yang menewaskan Beni Samsu Trisno alias Abu Ibrahim, tahanan yang merupakan kelompok Wawan. Dalam bentrokan tersebut, sejumlah anggota polisi terluka dan Wawan terkena tembakan di bagian bahu kiri.

Dibantu beberapa tahanan, empat polisi berhasil keluar dari rutan dan melarikan diri. Sedangkan enam orang lainnya disandera tahanan dan napi. Selain merampas senjata api petugas, sebagian dari mereka menyisir ruang pemeriksaan dan mengambil senjata tajam, senapan laras panjang, serta bom yang tersimpan di ruang pemeriksaan dan gudang barang bukti. Pukul 20.45, ratusan tahanan dan narapidana menguasai rutan.

Informasi adanya kerusuhan di Rumah Tahanan Brimob diunggah pertama kali oleh Amaaq, kantor berita yang terafiliasi dengan ISIS. Amaaq menyebutkan telah terjadi baku tembak antara pejuang Daulah Islamiyah dan Densus 88 di Depok. Informasi ini viral. Wartawan mencoba meminta konfirmasi kabar tersebut kepada pihak kepolisian, tapi tak ada satu pun yang membenarkan berita itu.

Amaaq memuat informasi kondisi perkembangan di dalam penjara tiap 30 menit. Pada pukul 23.00, misalnya, mereka merilis foto-foto mayat yang disebut sebagai anggota pasukan antiteror. Amaaq mengklaim tahanan ISIS di penjara telah membunuh sepuluh anggota Densus 88. Dimintai konfirmasi soal berita ini, pada malam itu, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto meminta wartawan bersabar. "Hati-hati, jangan termakan hoaks," katanya.

Baru pada pukul 23.20, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal mengkonfirmasi adanya kerusuhan. "Sekarang masih dalam penanganan petugas di lapangan," ucapnya. Dua jam berselang, Iqbal mengatakan hanya ada beberapa polisi terluka. "Tidak ada yang meninggal."

Seorang perwira menengah di Kepolisian mengatakan, hingga tengah malam, polisi memang belum mendapat kepastian apakah ada anggotanya yang mati atau tidak. Menurut sumber ini, mereka hanya tahu bahwa ada enam anggota Detasemen Khusus yang masih berada di dalam rumah tahanan.

Nasib keenam anggota Densus itu, kata dia, baru terang setelah satu tahanan, Abu Umar, keluar dari penjara dan menawarkan negosiasi, Rabu dinihari. Umar lebih dulu memberitahukan bahwa lima polisi yang disandera telah tewas dan satu orang lainnya masih hidup. Kepada polisi, ia menyampaikan sebagian besar tahanan menuntut bertemu dengan Aman Abdurrahman, yang ditahan di sel khusus, tak jauh dari rumah tahanan itu. Setelah menyampaikan tuntutan, Abu Umar kembali ke penjara.

Menurut perwira polisi yang saat itu ada di lokasi kejadian, tim Kepolisian menyetujui permintaan tersebut dan menjanjikan mereka bertemu dengan Aman pagi harinya. Polisi lantas meminta agar jenazah korban tewas dikeluarkan. Inspektur Jenderal Setyo Wasisto tak menyangkal soal ini. "Mereka memang menuntut itu," ujarnya.

Sekitar pukul 08.00, tujuh mobil ambulans datang ke Markas Komando Brimob. Setelah itu, menyusul mobil Indonesia Automatic Finger Print Identification System (Inafis). Tak berselang lama, ambulans-ambulans itu meninggalkan Mako Brimob. Kepolisian baru mengumumkan tewasnya lima anggotanya pada pukul 14.30. "Mereka tewas dengan luka di leher yang sangat dalam," kata Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal. Belakangan, diketahui tahanan membunuh mereka dengan pecahan kaca.

l l l

SAMPAI Rabu siang, polisi belum membuka ke publik tentang korban tewas dalam peristiwa itu. Bahkan Presiden Joko Widodo baru mendapat informasi soal insiden itu pada Rabu siang. "Presiden kaget karena baru diberi tahu setelah 13 jam berlalu," tutur seorang pejabat di pemerintahan. "Apalagi ternyata ada korban meninggal." Ketika itu, Jokowi sedang berada di Pekanbaru untuk menghadiri beberapa acara, termasuk peremajaan sawit rakyat.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, yang ikut mendampingi Presiden ke Riau, mengatakan, setelah mendapat kabar itu, Jokowi langsung menghubungi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. "Presiden meminta Pak Menteri membentuk kesatuan komando atau posko, yaitu diketuai Menko Polhukam," ujar Moeldoko.

Moeldoko menuturkan, Presiden juga menitipkan tiga pesan kepada Wiranto. Pertama, Jokowi meminta aparat tidak ragu-ragu dalam penanganan. Kedua, Presiden tidak mau ada korban lagi. Terakhir, kata Moeldoko, Presiden meminta ada batas waktu mengatasi pendudukan rumah tahanan.

Bukan hanya Jokowi, menurut seorang petinggi pemerintahan, Wiranto juga terkejut ketika mendapat panggilan telepon dari Jokowi. Ia ternyata baru tahu ada insiden besar di Mako Brimob. Wiranto segera mengundang pejabat terkait ke kantornya. Mereka adalah Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius, Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto.

Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian tidak hadir karena sedang berada di Yordania untuk menjadi pembicara tentang strategi pemberantasan terorisme dan memenuhi undangan Raja Yordania Abdullah II.

Ketika di Yordania, Tito mengaku sempat berkomunikasi lewat telepon dengan Presiden tentang kejadian itu. "Presiden meminta saya bertindak tegas dan cepat, jangan ragu. Negara tidak boleh kalah oleh teroris," ujarnya. Tito lantas memerintahkan Komisaris Jenderal Syafruddin memimpin operasi pembebasan sandera dan penguasaan kembali rumah tahanan.

Seorang peserta rapat di kantor Wiranto mengatakan ada dua poin yang menjadi catatan khusus terkait dengan penanganan insiden kerusuhan. Polisi dianggap lambat mengaktifkan pengacak sinyal, sehingga para tahanan dan narapidana yang menduduki penjara bisa menyiarkan aksi mereka secara langsung di media sosial.

Sebuah akun Instagram bernama sem_maliik87 memang sempat menyiarkan secara langsung kondisi di dalam penjara pada Selasa tengah malam. Dari situ, seorang pria yang mengenakan kaus kutang putih sedang berceramah. Pria dengan perban luka di lengan kiri itu mengajak orang-orang untuk berjihad dan mati syahid. Selain itu, pria ini bercerita soal kawannya yang tewas ketika kerusuhan di tahanan pecah. "Saudara kita ini tertembak di bagian dada tembus ke belakang. Insya Allah, dia mati syahid," kata lelaki dalam rekaman video.

Asludin Hatjani, pengacara Wawan, mengkonfirmasi bahwa pria di video Instagram tersebut adalah kliennya. Sedangkan teroris yang disebut tewas adalah Abu Ibrahim. Ia orang dekat Wawan. Keduanya diterungku di Blok C. Abu Ibrahim tertembak anggota Densus 88 ketika bentrok dengan polisi di ruang pemeriksaan.

Jenderal Tito Karnavian tak menyangkal kabar bahwa polisi terlambat mendatangkan pengacak sinyal. Dia mengatakan sudah memerintahkan anak buahnya untuk mencari tahu asal-usul telepon seluler yang digunakan para tahanan dan narapidana. "Awalnya memang tidak dilakukan pengacakan sinyal, sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan dunia luar," ucap Tito.

Catatan lain yang disampaikan di rapat itu adalah tentang manajemen penyimpanan barang bukti senjata di Mako Brimob. Polisi mencatat para tahanan dan narapidana di dalam rutan menguasai 30 senjata plus kurang-lebih 300 amunisi. Senjata itu disimpan di ruang pemeriksaan dan gudang barang bukti.

Sofyan Tsauri, mantan narapidana teroris yang pernah ditahan di Rumah Tahanan Mako Brimob pada 2010, mengenali beberapa senjata yang fotonya beredar di media sosial. Menurut dia, senapan-senapan itu merupakan barang serupa yang pernah ia gunakan untuk pelatihan militer di Aceh pada 2010.

Selain melakukan evaluasi, rapat di kantor Wiranto itu membahas beberapa strategi untuk melumpuhkan para tahanan dan narapidana. Moeldoko mengatakan salah satu opsinya adalah tidak menyerbu langsung ke rumah tahanan. "Pertimbangannya adalah masih ada sandera anggota polisi," ujarnya.

Polisi pun terus membujuk para tahanan untuk melepaskan anggotanya yang disandera. Para teroris itu kemudian membuka negosiasi kedua. Tahanan dan napi mengajukan penawaran tambahan. Bukan hanya bertemu dengan Aman Abdurrahman, mereka juga meminta surat perjanjian damai yang isinya polisi berjanji tidak mengusut perkara meninggalnya anggota Detasemen Khusus. Selain itu, mereka meminta Densus menyampaikan ke pejabat di Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih, Nusakambangan, agar petugas tak menyakiti narapidana teroris di sana.

Moeldoko mengatakan polisi juga sengaja memutus pasokan air dan makanan kepada tahanan sejak Rabu siang. Padahal, sebelumnya, mereka selalu mendapatkan makanan. Moeldoko mengatakan para tahanan itu akhirnya mengeluh dan melepas sandera, yaitu Brigadir Kepala Iwan Sarjana. "Setelah yang satu dilepas, maka kita tekan lagi, yang pada akhirnya mereka menyerah," tuturnya.

Seorang polisi mengatakan, pada malam kedua, sambungan listrik ke Rumah Tahanan dan Mako Brimob dimatikan. Suasana ini membuat kawasan itu mencekam. Puluhan anggota Detasemen bersiaga di depan rumah tahanan untuk bersiap melakukan penyerbuan. "Dari dalam rutan sesekali tampak ada kepala orang keluar. Mereka mengamati situasi," katanya.

Setelah sandera keluar, polisi mengultimatum tahanan dan napi yang berada di dalam rutan. "Mereka sudah diultimatum. Kalau tidak menyerah, Kamis pagi akan diserbu," ujar Jenderal Tito Karnavian.

Seorang pejabat Kepolisian mengatakan petugas meminta Abu Umar membujuk Aman Abdurrahman agar mau menenangkan tahanan dan napi. "Abu Umar itu juru runding dari pihak teroris," kata Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal. Sedangkan juru runding dari polisi adalah Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin, Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Idham Azis, dan Kepala Detasemen Khusus Inspektur Jenderal Muhammad Syafii.

Abu Umar kemudian menemui Aman dan menjelaskan duduk perkara kerusuhan di rumah tahanan. Dia mengatakan penyebab utamanya adalah soal makanan. Aman akhirnya mau menjadi penengah.

Polisi lantas merekam suara Aman Abdurrahman. Rekaman itu kemudian diperdengarkan kepada semua tahanan dan napi. Dari suara itu, Aman menyesalkan sikap mereka yang membuat kerusuhan hanya karena urusan makanan. Dia menutup rekaman berdurasi sekitar dua menit itu dengan berkata, "Karena tidak ada manfaat juga bikin keributan di kandang singa."

Asludin Hatjani, yang juga pengacara Aman, membenarkan suara di rekaman itu adalah milik kliennya. "Tapi saya tidak tahu ada negosiasi ini," ujarnya.

Jenderal Tito Karnavian tak menyangkal soal kebenaran rekaman ini. "Akan saya ceritakan tekniknya pada saat yang tepat nanti." Ia meneruskan, "Cara ini hanya dipahami oleh mereka yang paham tentang norma dan kultur eksklusif di komunitas ini."

Pagi harinya, satu per satu tahanan dan napi keluar menyerahkan diri setelah mendengarkan rekaman suara Aman. Total yang menyerahkan diri mencapai 145 orang. Tinggal sepuluh orang yang bertahan di dalam. Salah satunya Wawan. Polisi akhirnya menyerbu mereka. Sempat terdengar enam ledakan dan rentetan senjata api ketika polisi memaksa mereka menyerahkan diri. Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan ledakan itu berasal dari bom rakitan yang dijinakkan tim kepolisian. "Mereka rupanya sudah membuat bom," kata Syafruddin.

Karena terkepung, sepuluh tahanan itu menyerahkan diri. Sore harinya, semua tahanan dan napi dipindahkan ke tiga lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan.

Menurut Tito, salah satu penyebab rutan tersebut mudah dibobol adalah narapidana sudah mempelajari kelemahan struktur tahanan. "Karena tahanan ini memang sebenarnya bukan untuk napi teroris dengan pengamanan ketat," ucapnya.

l l l

TERLAMBATNYA polisi mengacak sinyal komunikasi juga berbuntut panjang. Seruan jihad yang disiarkan lewat Instagram oleh Wawan mengundang perbincangan di grup-grup Telegram. Percakapan lewat Telegram memang menjadi favorit jaringan teroris karena mereka meyakini aplikasi tersebut susah diretas.

Dalam salah satu grup yang bernama Jalinan Ukhuwah Dakwah, misalnya, banyak anggotanya mengklaim ikut menonton di sekitar Markas Komando Brigade Mobil. Sebagian orang bahkan berkomentar akan menyerang ke dalam markas jika ada perintah. Beberapa menjelek-jelekkan polisi dan berniat membunuh mereka.

Kamis pekan lalu, tim Detasemen Khusus 88 mendapat informasi ada pergerakan orang-orang yang hendak menyerang Mako Brimob. Tim Detasemen Khusus membekuk empat orang terduga teroris itu di Stasiun Tambun, Bekasi, pada Kamis siang. "Ada informasi intelijen yang masuk," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Setyo Wasisto.

Mereka yang berasal dari Tasikmalaya ini diduga akan datang ke Mako Brimob untuk ikut berbuat onar di tahanan. Karena mencoba melawan, dua teroris tersebut ditembak polisi. Belakangan, satu dinyatakan meninggal.

Malam harinya, ketika insiden di Mako Brimob sudah mereda, seorang pria bernama Tendi Sumarno menusuk anggota Brimob, Brigadir Kepala Marhum Prencje, yang berjaga di depan markas. Marhum tewas. "Pelaku langsung ditembak mati," ujar Jenderal Tito Karnavian.

Syailendra Persada, Linda Trianita, Friski Riana, Irsyan Hasyim

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus