Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dewa-dewa Bergembira di Boko

Teater Ku Na’uka, salah satu kelompok teater terdepan Jepang, memainkan satu bagian Mahabrata di kawasan purbakala Candi Boko. Di sini mereka merasakan ”pengalaman lain”.

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat dewa—Varuna, Indra, Agni, Yama—menari-nari riang. Ya, penampilan mereka jauh sekali dari gambaran dunia wayang kita. Mengenakan alas bakiak yang tebal, seluruh tubuh mereka dibungkus gaun panjang putih yang gombyor. Raut muka mereka, wajah-wajah topeng kertas, susah ditebak ekspresinya—antara seram dan kocak. Parasnya mengingatkan pada roh-roh penunggu pohon persik yang tempat huniannya ditebang dalam film Dream karya Akira Kurosawa. Mereka bergabung dengan barisan panjang dayang-dayang yang turun rapi dari undakan, merayakan pertemuan kembali Pangeran Nala dan Putri Damayanti.

Telah beberapa kali kompleks purbakala Ratu Boko, sekitar 18 kilometer dari Yogyakarta, menjadi tempat pertunjukan tari. Pementasan Teater Ku Na’uka pimpinan Satoshi Miyagi ini—salah satu kelompok terbaik di Jepang—dilakukan di lokasi gapura berbentuk bujur sangkar dan berundak batu yang menjadi khas Boko. Biasanya pertunjukan dilakukan di depan sisi muka. Namun, demi mendapatkan pentas yang mampu menampung lebih dari 40 pemain—dan bisa keluar-masuk dari arah kanan dan kiri—Satoshi memilih menggelarnya di sisi kanan.

Di panggung batu itu, hampir sepanjang 2 jam, seorang pengisah, berkimono, bersimpuh, dengan posisi badan tegak, menceritakan berbagai adegan dalam gerak-gerak campuran antara modern dan tradisi Jepang yang lalu-lalang di depannya. Memainkan kisah Mahabrata, yang sebetulnya tak dikenal dalam tradisi Shinto atau Zen. Teater Ku Na’uka selama ini bereksperimen memainkan pelbagai karya klasik dunia dengan pendekatan yang berangkat dari teknik-teknik tradisi Jepang.

Di Indonesia memang pernah, misalnya, Kadek Suardana mementaskan Gambuh dengan cerita Machbeth. Tapi Teater Ku Na’uka, sejak 1990, punya pengalaman lebih panjang: Turandot, Salome, Phaedra, Elektra, Medea, Oedipus, Machbeth, Tristan and Isolde, The Trojan Women—semuanya dengan gaya Jepang. Yang dibawa ke Boko ini adalah cerita raksasa Kali yang menyusup ke dalam diri Pangeran Nala.

Alkisah, Kali cemburu dengan Putri Damayanti yang menikah dengan Nala. Ia lalu merasuk ke raga Pangeran Nala, dan membujuknya untuk berjudi mempertaruhkan kerajaan. Di panggung, dadu-dadu besar berguliran. Nala kalah, lalu bersama Damayanti mengembara tak tentu arah di hutan, dan berpisah.

Jika terlihat kisah ini mirip pengelanaan Yudhistira dengan Drupadi selama 12 tahun setelah kalah berjudi dengan Kurawa, memang demikianlah adanya. ”Saya bilang pada Satoshi, tapi kisah ini tidak begitu dikenal di sini,” kata Bambang Paningron, dramawan Yogya yang juga ketua penyelenggara. Kisah ini di India populer sebagai bagian dari kisah perjalanan Yudhistira. Dalam pengembaraannya di hutan, Yudhistira bertemu dengan seorang resi yang menceritakan Naladamayanti Upakhyan, kisah Nala dan Damayanti, yang bertujuan menguatkan keteguhan Yudhistira.

Satoshi tertarik mementaskan Nala dan Damayanti karena melihat dalam naskah ini terbuka peluang untuk mengembangkan metode yang dianutnya. Di Jepang, ia dikenal sebagai sutradara yang mengeksplorasi pemeranan dengan membuat satu peran dimainkan dua aktor. “Karakter-karakter tokoh pada naskah klasik seperti Elektra sangat kompleks sehingga tak cukup dimainkan oleh seorang,” katanya. Dan yang sepanjang pertunjukannya tanpa henti bercerita tentang karakter dalam pertunjukannya adalah sang dalang.

Menurut Satoshi, secara khusus ia mengangkat teknik storytelling bernama Rakugo. ”Rakugo ini sesungguhnya teknik bertutur yang komikal dari zaman Edo pada abad ke-17.” Di setiap pementasannya, Satoshi mengembangkan berbagai variasi yang berbeda, antara gerak mobilisasi aktor dan kontinuitas ucapan berteknik Rakugo itu. Dan itu dibarengi keluwesannya untuk berpentas di lokasi mana pun. Di Jepang sendiri ia bisa tampil di gudang, di kuil, atau di mana saja.

”Sebelumnya kita merencanakan Teater Ku Na’uka berpentas di Taman Sari atau Prambanan, tapi susah perizinannya karena keduanya telah terdaftar sebagai world cultural heritage,” tutur Bambang Paningron. Satoshi sendiri mengaku terpukau setelah tiba di Ratu Boko. Ingatannya langsung ke situs purbakala Delphi, Yunani. Tahun 2004, untuk memperingati 2.500 tahun kematian Sophocles, ia mementaskan Antigone di situ. Antara Delphi dan Boko jelas berbeda, tapi ia merasa ada persamaan. ”Bagi kami orang Jepang,melihat puing-puing reruntuhan batu di Delphi dan Boko menimbulkan perasaan aneh,” katanya. Itu karena situs arkeologis di Jepang kebanyakan terbuat dari kayu. ”Tekstur kayu dimakan waktu berubah, tapi batu tidak. Ia diam, dingin, tapi menyimpan rahasia masa lampau.”

Delphi adalah kompleks keramat dari zaman sebelum Masehi. Dahulu dikenal memiliki kuil-kuil yang para pendetanya dapat memberi orakel atau nujum. Semua warga Yunani kuno akan berziarah ke sana bila ingin memperoleh petunjuk. ”Imajinasi saya ketika di Delphi, seolah-olah inilah tempat Tuhan menghukum manusia. Tapi di Boko lain, dewa hidup berdampingan damai dengan manusia,” tuturnya. Mungkin karena inilah ia tampak hati-hati, melapisi panggung batu dengan tikar dan menaati tidak memasang lampu di atas gapura.

“Kisah-kisah hero dan dewa-dewa dalam kisah klasik cocok dipentaskan di berbagai situs semacam ini,” ujarnya. Mungkin ia benar. Sore itu, saat masih latihan, para aktor Satoshi bertopeng putih yang berjalan hilir-mudik di antara bebatuan, dengan di kejauhan masih tampak panorama bukit-bukit tandus hitam garing, dengan pohon-pohon rangga, seolah ”makhluk gaib” dan ”setan-setan” yang mengunjungi kawasan yang masih misterius itu. Boko, pada kenyataannya, sampai kini tak diketahui secara pasti: kapan ia dibangun, oleh siapa, dan untuk apa.

Kecuali topeng-topeng yang membawa kita ke alam mitologis, sesungguhnya malam itu tak banyak unsur visual yang mengejutkan. Saat adegan boneka atau wayang dikeluarkan, kita tak melihat jejak bunraku yang dahsyat. Wujud kuda-kudaan dari tripleks ketika Nala menjadi pengasuh kuda, misalnya, amat sederhana. Atau sosok macan yang ekornya ditarik-tarik oleh Damayanti tak ada apa-apanya dibanding barongsai kita. Juga saat Nala berubah menjadi buruk muka dengan jemari dan kuku panjang, atau adegan saat Kali keluar dari badan dengan tali terulur.

Tapi, anehnya, inilah pertunjukan yang bila dilihat secara keseluruhan menarik. Bahkan ada kesan segala properti peralatan dan kostum, pernik-pernik yang semuanya satu kontainer itu, sengaja dibuat sederhana, seperti dibikin oleh anak-anak. “Bayangkan, sampai di sini pun masih sempat menjahit,” kata Bambang Paningro. Dialektika antara dialog para aktor dan suara konstan sang dalangdengan iringan musik perkusi: conga, bongo, drum—menghidupkan suasana. Pertunjukan ini menampilkan kesatuan yang mudah dipahami, meski teks terjemahan yang disorotkan di dinding gapura tergolong minim.

Di akhir pertunjukan, permainan dadu diulang. Dan Nala menang, memperoleh kerajaannya kembali, bersatu dengan Damayanti lagi. Para dewa datang kembali. Manusia, makhluk, dewa, pemusik, hewan-hewan singa, nagapara pendeta yang dikirim oleh Bhima, Raja Vidharba, ayahanda Damayanti, barisan dayang, tumpah-ruah dalam sebuah kesenangan bersama. Di tangan sebuah teater Jepang, petilasan Ratu Boko malah terasa menjadi alternatif sebuah pentas kelas internasional.

Seno Joko Suyono (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus