Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Abrakadabra tssb, ludah, lalat

Nasum dari Desa Tengaran, Banyumas, minta nomor buntut tssb kepada dukun. Setelah, menerima hadiah Rp 20 ribu, ia jadi pusing memikirkan janjinya membelikan motor pak dukun.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PORKAS boleh ganti kulit, walau undian yang dikaitkan dengan sepak bola itu tak habis. Misalnya Tumbur Sianturi. Kepala Sekolah di sebuah SD di Bangun Sari, Kisaran, Sumatera Utara, ini demam Porkas kelas berat. Kendati tak pernah meraup kemenangan, Tumbur tak mundur. Termasuk menahan gaji para guru. Bila diminta, dengan cepat laki-laki berusia 52 tahun itu berkilah. "Kalian, kok, tak sabar. Nanti gaji itu saya bayar dua kali lipat." Tapi petualangan pak guru itu mesti berakhir. Kepala Dinas P & K Asahan, Mander Rambe, diam-diam awal Januari lalu sidak ke Bangun Sari. Di situ yang ditemui hanya sejumlah pengajar. Tumbur sendiri raib. Keruan, Mander bagai kebakaran jenggot. "Pak Kepsek nongkrong di warung itu," celetuk seorang guru. Tumbur dijumpai sedang asyik merapal huruf-huruf Porkas. Jadi, apa yang disinyalir Mander selama ini bukan omong kosong. Bawahannya benar-benar sudah lupa daratan. Satu bukti lagi. Di laci meja Tumbur juga dijumpai puluhan kupon Porkas. "Saya bukan melarang Porkas. Hanya menertibkan bawahan yang tidak disiplin," kata Mander Rambe kepada Makmun Al Mujahid dari TEMPO. Itu berarti ancaman bagi Tumbur. Ayah lima anak itu dicopot dari jabatannya, lalu dipindah ke Dinas P & K Asahan. "Syukur, saya tak dipindahkan ke daerah terpencil," ujarnya dengan wajah kusut. Tapi itulah pelajaran untuk Mbur. LAIN dengan Nasum, 25 tahun, dari Desa Tengaran, Banyumas. Pertengahan Desember lalu ia sowan ke dukun Slamet yang tinggal tak jauh dari desanya. Ia khusus datang ke situ untuk minta nomor buntut TSSB - Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah. Dengan senang hati, Slamet memberi nomor 546. Namun, ada syaratnya. Kalau menang, Nasum wajib membelikan pak dukun sebuah sepeda motor. Ia menyanggupi. Sialnya, ketika pulang ke desa, tak seorang pun yang mau meminjami uang untuk membeli nomor butut tadi. Di kantungnya cuma tersisa Rp 50. Apa boleh buat. Abrakadabra. Buntut TSSB yang keluar periode 23 Desember lalu memang 546. Nasum berhak mengantungi hadiah 20 ribu rupiah. Tetapi pemuda itu justru pusing memikirkan janjinya pada pak dukun. Belikan sepeda motor, tak mungkin. Ia sambar saja milik kakaknya dan menyodorkannya ke Slamet. Tapi pak dukun menolak, karena tak dilengkapi surat-surat. "Jika kamu tidak menepati janji, saya tak bertanggung jawab bila terjadi sesuatu pada dirimu," begitu ancaman pak dukun. Nasum keder. Minta uang pada ayahnya, Achmad Kusnan, sama juga bohong. "Jangan kata buat orang, untuk dipakai sendiri saja masih mikir-mikir," kata ibunya. Anak bungsu dari lima bersaudara itu lari ke dapur. Baliknya sudah menggenggam pisau. Bles. Perut Kusnan robek. Nasum minggat, walau ia ditangkap tak lama kemudian. Tragedi itu tak sampai memakan korban jiwa. "Yang saya sesalkan, kenapa anak saya bisa menjadi pecandu nomor buntut," kata Kusnan kepada Slamet Subagyo dari TEMPO. Anak itu sejak kelas II SMA memang getol main buntut. Sebaliknya dukun Slamet. Ia kaget mendengar Nasum nekat. Ia membantah pernah menakuti Nasum. "Waktu itu saya cuma bercanda," kata Slamet. LALU perkara buntut itu masuk pengadilan. Kamis dua pekan lalu Suradal divonis 9 bulan gara-gara ngibulin seorang pelacur dengan kupon palsu. Kisahnya bermula Oktober tahun lalu. Penghuni lokalisasi Silir, Solo, sedang sepi order. Empat penghuni di blok selatan yang dikunjungi tamu pertama lalu pasang aksi. Pilihan jatuh ke Mimin. "Kok, ya, saya yang dicari. Padahal, saya duduk paling pojok," kata cewek berkulit hitam manis itu kepada Aries Margono dari TEMPO. Tamu itu mengaku bernama Suradal, dan mau booking Mimin semalam suntuk. Tarif Rp 30 ribu yang diminta mimin disepakati. Bahkan laki-laki itu mengibarkan dua lembar kupon buntutan seharga Rp 1.000, yang nomornya katanya pas kena. Sebagai pemain buntut, Mimin tahu berapa nilai tukar kupon yang dimiliki Suradal. Tak kurang Rp 800 ribu. Karena itu, ia tak menyesal malam itu memberikan pelayanan istimewa. Pagi. Mimin diajak ke Sukoharjo, 20 kilometer dari Silir, dengan sepeda motor miliknya. Katanya, mau mengambil hadiah. Tapi di tengah perjalanan, Suradal berbelok ke sebuah rumah. Mimin diminta menunggu sebentar, karena bensinnya habis. Motor dan STNK dibawa Suradal, yang langsung nggeblas. Mimin lemas. Apalagi setelah tahu kupon buntut yang diberikan Suradal padanya itu palsu. Cuma, tak lama, Suradal dan motornya terjaring sewaktu ada razia. Bagi Mimin, hartanya sudah kembali. "Tapi saya malu sekali pada kawan-kawan di sini," ujar Mimin. Soal servis "gratis" itu. TAPI ini taruhan model baru. Para tukang becak, sopir truk, yang mangkal di simpang tiga Beji, Pemalang, Jawa Tengah, belakangan ini memang keranjingan bertaruh. Modalnya cukup dengan ludah. Hari itu lima orang meludah bersamaan, karena dia datang. Dari jauh dengingnya sudah terdengar. Sayap kecilnya berkepak. Lalu, plok, hinggap di salah satu ludah. Berarti pemilik ludah itu menang. "Dulu kami main kartu ditegur polisi. Main tebakan pelat nomor bosan. Sekarang dengan ludah dan lalat," kata Sodik, seorang tukang becak. Uang taruhan Rp 100 hingga Rp 2.000. "Kalau sopir yang bertaruh biasanya sampai Rp 10.000," ujarnya lagi kepada I Made Suarjana dari TEMPO. Agar ludahnya sering dihinggapi lalat? Gampang. Makan saja terasi, ikan kering, atau jangan sikat gigi selama sebulan. Tokcer. Yusroni Henridewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus