DISINTEGRASI MATARAM. DI BAWAH MANGKURAT I Oleh: HJ. de Graaf, Alih Bahasa: Pustaka Grafitipers dan KITLV Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1987, 254 halaman INI buku ketiga De Graaf mengenai raja-raja Mataram. Mula-mula mengenai Senopati, lalu Sultan Agung. Kini mengenai Mangkurat atau Amangkurat I, terbit pada 1961 di Leiden, Nederland. Judul aslinya, De Regering van Sunan Mangkurat I Tegal Wangi, Vorst van Mataram, 1646-1677, terbit dalam dua jilid. Alih bahasanya ke dalam bahasa Indonesia juga akan terbit dalam dua jilid. Jilid I menceritakan Kerajaan Mataram sampai 1670, sedang jilid kedua akan mengisahkan runtuhnya Mataram pada 1677-1678 - kira-kira 100 tahun setelah kerajaan Jawa itu didirikan. Sebuah riwayat dari suatu dinasti yang relatif tidak panjang jika dibandingkan dengan riwayat dinasti di Eropa, Cina, Jepang, misalnya. Namun, pemerintahan Amangkurat selama 31 tahun dapat dikatakan panjang. Demikianlah pola sejarah dinasti di Indonesia sebagai riwayat dinasti yang tidak panjang, meski ada raja-raja yang memerintah selama masa yang cukup lama. Apakah ini merupakan unsur disintegrasi ? Sayang, De Graaf tak menjawabnya. Buku ini sangat teliti dalam memastikan data, angka tahun peristiwa, dan pengidentifikasian tokoh-tokoh keraton dan para pejabat penting. Naik turunnya hubungan dengan VOC juga sangat ditekankan, sebab memang banyak bahan diambil dari arsip Belanda. Di lain pihak, pembaca tentu akan selalu bertanya. Apakah bagian pertama riwayat Amangkurat I ini sudah memuat cukup tanda-tanda atau peristiwa-peristiwa ataupun perkembangan yang menunjukkan disintegrasi Mataram - yang kita tahu akan tercantum dalam jilid kedua? Mungkin sebuah kesimpulan dapat ditarik dari jilid I ini. Yakni bahwa struktur kerajaan Jawa (Asia Tenggara) - dalam kasus ini Mataram terdapat banyak kelemahan. Kelemahan pertama ialah pergantian takhta yang tidak stabil. Bertahun-tahun putra mahkota yang membuat kesalahan dijauhkan oleh Sultan Agung (1613-1645). Baru menjelang wafat, sang sultan, Amangkurat I, putra mahkota itu, dipanggil ke dekat ranjang raja yang tengah gering. Sementara itu, para pejabat dan kerabat keraton yang berpengaruh, seperti Pangeran Purbaya - adik Sultan Agung - diwasiatkan agar setia kepada penggantinya. Hal ini juga dilakukan terhadap Tumenggung Wiraguna - yang disakiti oleh putra mahkota mengenai soal wanita. Semua kerabat raja dan pejabat lalu ditahan dalam keraton yang dijaga ketat oleh wadya bala, agar mereka tidak berkomplot dengan kekuatan di luar istana (halaman 4). Pola ini terjadi pada setiap penggantian raja, sebagai pertanda ketidakstabilan dalam suksesi. Masalah penggantian ini lebih rumit lagi, karena rupanya suksesi ditentukan oleh raja yang sedang berkuasa, tanpa menghiraukan adat atau hirarki. Misalnya kebiasaan bahwa putra tertua dari perkawinan sah otomatis berhak atas takhta. Raja dengan seenaknya sendiri menentukan penggantinya: siapa saja di antara para putra yang dianggap mampu, bahkan kadang kala di antara kerabat keraton, seperti saudara tertua raja. Namun, tokoh yang berhasil naik ke kedudukan sebagai putra mahkota dengan sendirinya mempunyai banyak musuh dalam kariernya, meski ia juga menunjukkan kelihaian berpolitik. Keahlian berpolitik putra mahkota ini tertuju pada atasan, yaitu raja, yang belum tentu akan mendapat dukungan dari bawah dan para kerabat keraton lainnya (halaman 39). Suksesi Sultan Agung ke Amangkurat I rupanya membawa masalah dukungan itu. Para pejabat dan penasihat tua Sultan Agung satu per satu digeser oleh teman sebaya dan konco raja baru. Wiraguna dibunuh bersama anak buah dan keluarganya, demikian juga pamannya sendiri, Pangeran Purbaya. Penggantian takhta akhirnya juga merupakan penggantian generasi, biarpun bukan dari klik keraton yang sama. Dalam keguncangan ini Pangeran Alit mencoba menggulingkannya. Adik Amangkurat I sendiri terpaksa dibunuh. Maka, terjadilah pertumpahan darah. Usaha Pangeran Alit menjatuhkan Amangkurat I dijadikan alasan untuk melancarkan pembersihan. Entah benar atau tidak, Amangkurat I memerintahkan pembunuhan masal para ulama dan santri bersama keluarga mereka yangjumlahnya meliputi 6.000 jiwa. Mereka dituduh berkomplot dan menghasut Pangeran Alit untuk memberontak (halaman 31). Politik kekerasan Amangkurat I menimbulkan rasa permusuhan terhadap pemerintah. Mungkin, keadaan tersebut memaksanya tidak melakukan ekspansi dan politik agresif ke luar negara. Berlainan dengan raja-raja sebelumnya, pemerintahan Amangkurat I hampir selama 31 tahun tak melancarkan agresi atau mengirimkan ekspedisi ke luar Jawa atau di Jawa sendiri, misalnya ke Batavia atau Banten. Mungkin, ada rasa takut pada Amangkurat bahwa ekspedisi ke luar dapat berbalik menjadi senjata makan tuan, dan berakhir pada penggulingan raja sendiri. Akibatnya, banyak kerajaan yang sebelumnya terikat pada Mataram melepaskan diri, seperti Jambi, Banjarmasin (halaman 61). Khusus terhadap VOC, Amangkurat I memperlihatkan politik persahabatan. Raja ini adalah raja Jawa yang pertama yang menjalin perjanjian saling bantu dengan Belanda - suatu aliansi yang kelak akan terbukti merupakan benteng utama bila Mataram berada dalam krisis pada tahun-tahun berikutnya (halaman 85). Apakah kebijaksanaan terhadap VOC ini menunjukkan juga aspek lain dari pola politik Jawa, yakni sang pengganti sering melakukan politik yang berlainan dari pendahulunya, untuk menunjukkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan raja yang berkuasa ? Adakah pula aspek Oedipus complex kelakuan sang anak yang lain dengan sang ayah ? (halaman 11). Amangkurat I dalam beberapa aspek lain jelas mencari identitas sendiri. Ia ingin berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung, raja paling jaya dalam dinasti Mataram. Amangkurat I menolak gelar sultan, dan menyandang gelar susuhunan, yang bersifat lebih Jawa. Gamelan, wayang, tari-tarian yakni kesenian pra-Islam - dihidupkan. Putranya dinikahkan dengan putri Pangeran Pekik dari Surabaya, yang banyak mewarisi kebudayaan Majapahit yang Hindu-Budha itu. Pencarian identitas seorang raja, tanpa melihat diri sendiri sebagai pengganti rutin dalam urutan dinasti, dapat menjerumuskan sang raja dalam megalomania. Amangkurat, misalnya, membangun keraton yang baru di Plered. Ia juga membangun istana air untuk foya-foya, pertahanan, dan irigasi. Hubungan baik dengan VOC sebenarnya berkaitan erat dengan konsepsi perdagangan Amangkurat. Seperti banyak raja dari kerajaan pedalaman Jawa atau raja-raja lain yang kekuasaannya mutlak, perdagangan dan usaha merupakan monopoli raja untuk mengisi kas kerajaan. Para pedagang Mataram atau daerah lain di Jawa dilarang membawa hasil-hasil pulau Jawa keluar, sementara untuk mengangkut hasil bumi, pedagang dari luar Mataram harus datang sendiri ke pelabuhan. Dalam hal ini, VOC harus membantu Amangkurat I dalam melaksanakan kebijaksanaan tersebut. Atas permintaan raja, dalam kontrak aliansi dengan VOC, dicantumkan bahwa VOC akan sebanyak mungkin merintangi, bahkan melarang, para pedagang Jawa dari pesisir utara atau dan mana saja berdagang di Maluku. Hal itu untuk lebih menjamin monopoli raja atas perdagangan, sebab perdagangan inilah sumber utama keuangan Kerajaan Mataram. Orang asing yang datang ke pelabuhan Mataram harus membayar pajak atas barang-barang dagangan yang dibeli. Selain itu, mereka juga harus menyerahkan upeti ke pejabat-pejabat pelabuhan, juga para pejabat istana. Bahkan kepada raja sendiri. Pedagang asing ini hanya dapat membeli hasil produksi Jawa yang dikuasai raja atau barang-barang yang diterimanya sebagai upeti dari rakyat. Misalnya beras. Untuk membeli beras ini pun ada lagi pajak, di samping berbagai macam upeti yang harus diserahkan kepada raja dan para pejabat keraton. Bila upeti dianggap tidak cukup, pelabuhan dapat diperintahkan tertutup untuk orang asing. VOC mengalami beberapa kali pelarangan semacam ini, sehingga mengalami ketidakpastian dari kemutlakan sang raja. Kebijaksanaan dagang Amangkurat I ini, yang pada saat diberlakukannya tidak terasa merugikan, pada akhirnya menjerumuskan Jawa ke dalam kekuasaan kolonial. Sebab, ia menjadikan Jawa betul-betul satu pulau yang penduduknya terisolasi. Harga barang dagangan ditentukan oleh orang luar, sebab ia terisolasi dari pasaran dunia. Dengan heran, duta VOC seperti Van Goens melihat kebijaksanaan yang berlainan dengan politik negara-negara Eropa, termasuk raja-rajanya sendiri. Duta yang sudah lima kali mengunjungi Keraton Mataram dan berteman dengan raja sampai-sampai berkata kepada Amangkurat, "Apa tidak lebih baik membiarkan pedagang Jawa berdagang ke luar negeri dan menjadi kaya, hingga raja dapat memajaki pedagang kaya itu?" Perhitungan Amangkurat I lain. Ia justru takut pada pedagang yang menjadi kaya karena usaha sendiri, hingga tidak bergantung pada raja. Biarpun banyak unsur kelemahan Mataram terlihat pada buku jilid I riwayat Amangkurat I ini, seperti telah diuraikan di muka, tidak ada gejala tertentu yang mengisyaratkan akan jatuhnya kerajaan 10 tahun mendatang, yang akan dikisahkan dalam jilid II. Semua kelemahan juga terdapat pada pemerintahan raja-raja sebelumnya halaman 85). Kelemahan-kelemahan dalam struktur memang tidak terlibat dan dirasakan mengganggu. Namun, bila ada malapetaka datang - baik dari dalam keraton sendiri maupun dari luar - struktur lemah ini rupanya tidak bertahan dan disintegrasi terjadi seperti pada akhir hidup Amangkurat I pada 1677. Onghokham
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini