MALAM itu saya ingat Pak Acha. Ia wartawan tua, pendiri surat kabar Peristiwa di Banda Aceh. "Jangan lupa mampir ke rumah Paman Acha, ya," pinta ya ketika saya pamit untuk suatu penelitian ke Aceh. "Baik, Pak," jawab saya. Di Lamprit, Banda Aceh, saya temui dia. Paman Acha tidak beda dengan orang biasa. Seperti umumnya orang tua Aceh sore itu, saya lihat dia membawa ikan tongkol. Suatu tradisi Aceh yang samar-samar tertinggal dalam benak saya. "Ini koran sudah lama didirikan," ujar Paman Acha. "Hampir seumur dengan kamu." Walau umurnya 30 tahun lebih - didirikan pada 14 Juli 1954 koran itu, terutama di luar Aceh, tidak begitu terkenal, memang. Dan, sejak dulu hingga kini, Peristiwa tidak pernah berkembang menjadi harian. Dia tetap sebuah mingguan. Diasuh oleh 10 orang, dan Paman Acha adalah Pemimpin Umum. Yang menarik, dengan Rp 1.000,00 kita bisa langganan selama satu bulan. Harga iklannya pun cukup murah. Untuk nondisplay Rp 600,00 per mm kolom, dan Rp 1.000,00 untuk iklan display umum. Harian Kompas memasang tarif Rp 5.000,00 per mm kolom bagi iklan display umum. Kendati murah, toh jumlah pemasang iklan di Peristiwa tetap sedikit. Dalam edisi minggu ke-4 Juli 1986, misalnya, hanya 12 iklan yang terpasang di situ - sebagian besar iklan kecil. Iklan yang agak besar hanya 4 - salah satu di antaranya kondom Dua Lima. Sambil mendengar cerita Paman Acha, mata saya merayap ke bagian isi. Di halaman depan, ada gambar Ibrahim Hasan, salah satu calon kuat Gubernur Aceh, yang berita pemilihannya di DPRD bersama dua calon lain menjadi headline. Ibrahim memang baru dicalonkan pada waktu itu. Ada pula gambar Gubernur Hadi Thayeb, yang akan dipensiun, berjalan gagah di samping Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana, meninjau desa yang terkena musibah alam. Di kiri atas, juga ada gambar lain Hadi Thayeb, yang diberi komentar di bawahnya: "Dia sudah berbuat untuk Aceh". Ringkasnya, hampir semua berita yang dimuat Peristiwa adalah berita daerah. Termasuk berita tentang Menpora Abdul Gafur, yang akan meresmikan Rakerda KNPI Aceh di Tapaktuan, dan pembuatan film Cut Nyak Dhin, lengkap dengan foto pemeran utama Christine Hakim. Sebagai koran daerah, tentu ada rubrik khas Aceh, seperti Hikayat Pocut Muhammad, Bahasa Inggris untuk Orang Aceh, dan Bahasa Arab untuk Orang Aceh. Mau tahu apa arti Mister dalam bahasa Aceh? Teungku. "Menjadi wartawan itu susah. Tapi, saya ingin mati sebagai wartawan," ujar Paman Acha. Saya tidak bisa menerka dengan persis apa yang dimaksudkannya. Ada nada putus asa, tapi juga gairah. Gairah itu mungkin yang menekan keputusasaannya dan membakar semangatnya. Tapi, pertarungan antara putus asa dan gairah, tampaknya belum selesai. Sejak kecil, di Susoh, Paman Acha telah bercita-cita menjadi wartawan. "Ayahmu dulu ikut kelompok saya," ia mengenang. "Bahkan dia bertemu dengan ibumu justru karena kegiatan jurnalistik. Tapi, kini dia tidak aktif lagi sebagai wartawan." Sambil melirik kepada saya, Paman Acha berkata, "Syukurlah, salah seorang anaknya ada yang menjadi wartawan." Di Susoh, Blang Pidie, Aceh Selatan, sejak 1940-an semangat "kewartawanan" itu memang telah timbul di beberapa kalangan muda. Selain Amelz (tokoh Masyumi, pendiri penerbit Bulan Bintang), Acha, dan Ismail Suny (kini guru besar pada Fakultas Hukum UI) adalah pentolan-pentolannya. Secara kecil-kecilan, ada "dinamik intelektual" di daerah ini. Susoh, pada masa itu, untuk sebagian, memang produsen para guru yang terdistribusikan ke daerah-daerah lainnya. Ketika pengaruh reformasi agama masuk ke sana melalui Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), penduduk menyambutnya dengan mendirikan sekolah-sekolah. Banyak murid yang berdatangan ke sana. Dan rumah kakek, dalam skalanya yang tersendiri, berfungsi juga sebagai asrama siswa. Mungkin pengaruh PUSA, mungkin juga gelora reformasi di Minangkabau, yang menyorong mereka sampai pada cita-cita itu. Minang bagi Susoh, seperti disebut oleh studi Tsuyoshi Kato tentang dunia saudagar pesisir Minangkabau abad XIX, memang telah menempati tempat tersendiri. Bukan saja dari segi bahasa dan ekonomi Minang menanamkan pengaruhnya. Tapi juga, "geonologi intelektual" Susoh, untuk sebagian besar, bisa dilacak dari sana. Banyak di antara kaum muda yang menuntut ilmu di Sumatra Thawalib. Ayah termasuk salah seorang di antara mereka. Tapi Medan mungkin satu tangga di atas Minang. Medan dalam hal ini - seperti dikatakan Anthony Reid - bukan saja telah berkembang menjadi kota yang sangat bersifat "Indonesia" di Indonesia, tapi pada waktu itu juga telah menjadi kota industri media cetak terbesar setelah Batavia. Tidak heran, kalau kemudian Medan menjadi tempat tumbuh suburnya para wartawan. Medanlah yang melahirkan Adinegoro, Bapak Pers Indonesia. Di bawah pimpinannyalah, Pewarta Deli pada 1940 mempunyai oplah yang sama besarnya dengan surat kabar terbesar lainnya di Indonesia. Di samping itu, ada Sinar Deli dan Pelita Andalas. Tapi dalam konteks Susoh, adanya majalah mingguan Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medanlah, secara ideologis, yang menyebabkan mereka berorientasi ke Medan. Bukankah dalam salah satu majalah itu Bung Karno dan tokoh Islam Moh. Natsir pernah terlibat polemik hebat? Interaksi berbagai pengaruh itulah yang mendorong Acha, Ismail Suny, dan Amelz, mengidentifikasikan diri sebagai wartawan. Tapi Achalah yang paling konsisten. "Kami mulai belajar bersurat kabar dengan mengetik berita," kisahnya lebih lanjut. "Kertas ketik itu kemudian kami tempel di dinding-dinding." Lewat koran dinding, Acha melanjutkannya menjadi koran Peristiwa. Tapi berpuluh tahun ia bergulat, hanya menghasilkan keputusasaan yang beraduk dengan gairah. "Koran saya koran lokal, memang," ujarnya. Seakan-akan memberikan keyakinan pada dirinya sendiri - untuk tidak menyerah. "Tapi bukan ompas atau Sinar Harapan dan Merdeka yang setia mengunjungi penduduk Sinabang, Tapaktuan, Susoh, Lagen, Meulaboh, dan daerah terpencil lainnya. Tapi Peristiwa." Dia tersenyum. Senyum itu, saya rasakan getir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini