Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka menemui kegagalan pada April lalu, pemerintah Indonesia memutuskan mengirim ekspedisi militer besar-besaran ke Aceh. Sekaligus diproklamasikan keadaan darurat (SOB) untuk seluruh provinsi itu. Sejumlah kapal perlengkapan dan pasukan dibawa untuk menghapus GAM.
Perjuangan Aceh melawan penjajah sudah dimulai sejak zaman kolonial. Pokok persoalannya berputar pada siapa yang dapat mengontrol kekayaan alam Aceh. Lawannya yang pertama ialah multinasional Eropa seperti VOC dan British East India Company, disusul Kompeni (pemerintah Nederlandsch-Indie). Mula-mula perdagangan lada menjadi perselisihan, kemudian sejak tahun 1900 masalah beralih ke penggarapan minyak. Dan agama pun main peranan penting: antara musuh yang beragama Kristen dan nasionalisme beragama Islam lokal.
Agama menjadi bendera yang dikibarkan kedua pihak untuk mempertajam perbedaan dan memburukkan musuh. Permainan ini dijalankan sekarang juga antara pemerintah Indonesia dan GAM.
Tetapi apakah analisis ini dapat menjelaskan masalah Aceh bagi pembaca Indonesia waktu sekarang? Karena dipandang dari sudut sejarah Indonesia sesudah Perang Dunia II, perang Aceh melawan penjajah ialah perang kemerdekaan yang adil, berlainan dengan perang sekarang yang dianggap suatu perjuangan melawan kaum muslim radikal yang memberontak, yang teroris.
Dalam karangan ini saya ingin menunjukkan bahwa untuk mengerti sebab-musabab peperangan Aceh, perbedaan kenegaraan dulu dengan sekarang tak seberapa besar—maksudnya dibandingkan dengan persamaan-persamaan geopolitik dan sosial.
Meninjau kembali sejarah, perang Aceh zaman kolonial muncul dalam rangka perubahan-perubahan besar dalam dunia internasional pada abad ke-18 dan ke-19, yang mengubah pula keadaan di sekitar Selat Malaka.
Selat ini menguasai perdagangan dengan negara Cina, Jepang, dan kepulauan Indonesia. Pada waktu itu Aceh yang menguasai selat itu. Pada abad ke-18 kekuasaan itu dirampas oleh dua multinasional Eropa, VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) dan British East India Company. Namun usaha mereka menundukkan Aceh tidak berhasil.
Baru pada 1896-1904 usaha-usaha pencaplokan oleh pemerintah kolonial Nederlandsch Indie berhasil. Kedaulatan atas pulau Sumatera menjadi perselisihan diplomatik Belanda-Inggris yang panjang, dan yang berakhir tahun 1871 dengan ditandatanganinya Sumatera Traktaat, dokumen yang menunjukkan Inggris mengakui kekuasaan Belanda atas Pulau Sumatera.
Pada 1873 Batavia mengirim ekspedisi tentara ke Aceh yang dikunci dengan kegagalan total. Baru pada 1904 dua jenderal, Van Heutsz dan Van Daalen, berhasil menundukkan militer Aceh. Di pihak Aceh 39.000 jiwa tewas, sedangkan Belanda lebih kurang 8.000 jiwa.
Di Aceh sendiri pimpinan perjuangan semakin berpindah dari tangan Sultan ke keluarga ulama Di Tiro. Keluarga ini berasal dari haji Jawa Tiro yang pernah pindah ke Aceh dan yang beristri di sana. Sejak tahun 1885 ulama tersohor Sjech Saman di Tiro, yang kekuasaannya lebih besar daripada Sultan, dapat membentuk sebuah tentara gerilya yang berjumlah 6.000 prajurit tepercaya.
Tambahan pula Syekh di Tiro menyatakan jihad melawan Belanda. Pemerintah di Batavia gelisah akan kehilangan Aceh. Kalau itu terjadi, muncul bahaya besar mengingat kedudukan geografis Aceh yang khas. Faktor penting lain ialah bahwa dalam tahun 90-an abad ke-19 sudah dimulai penyelidikan tentang adanya dan penggarapan minyak di Aceh. Minyak sangat diperlukan untuk dapat bersaing di pasar dunia.
Tahap baru dalam peperangan mulai dengan datangnya Van Heutsz di Aceh (1896). Tindakan-tindakannya bersama dengan panglimanya, Van Daalen, bersifat agresi yang tak kenal batas. Demikian pula agresi keluarga Di Tiro terhadap Belanda.
Van Heutsz berpandangan tunggal: Kikis habis para pemimpin dan pengikutnya, baru kita kenal damai. Pendapat ini memperoleh sokongan dari ahli agama Islam Snouck Hurgronje. Politik sarung tangan, apa lagi membeli bantuan dan memberikan bintang jasa kepada para kepala Aceh untuk memihak Belanda, sama sekali ditolak. "Orang itu punya bintang berjasa, artinya ia orang bangsat," kata Van Heutsz.
Untuk menjalankan serangannya, Van Heutsz pada 1896 menurunkan korps marechaussee yang sudah dibangunkan pada 1890. Korps itu menjadi satuan militer yang utama.
Satuan itu dibentuk dengan anggota dari berbagai suku bangsa di bawah pimpinan perwira-perwira Belanda. Dengan konsentrasi pasukan besar-besaran, satuan gerilya Aceh dikejar dan dihantam. Sisanya yang masih aktif diburu oleh patroli kecil. Patroli-patroli itu bertindak sendiri. Kadang sampai berbulan mereka bergerak di hutan, bahkan melalui rawa-rawa luas. Makanan dicari di kampung-kampung dalam perjalanannya, sama dengan musuh. Mengenai cara peperangan ini, wartawan kolonial H.C. Zentgraaf menulis bahwa Van Heutsz dengan kemenangannya telah membuktikan pentingnya tentara kuat spesialis perang gerilya, untuk menjamin Pax Neerlandica. Aceh telah menjadi sumber inspirasi bagi tentara kolonial kemudian.
Sebagaimana telah disebutkan, Snouck Hurgronje menyokong Van Heutsz, walaupun ia memberi nasihat supaya bertindak bijaksana. Dan dalam hal yang berkenaan dengan agama, jangan pukul rata. Penduduk Aceh berbeda dalam komposisi agama dan etnik.
Dalam bukunya De Atjehers, Snouck menggambarkan hubungan para pemimpin perang/agama, dengan rakyat serta kepala-kepala setempat. Kelompok pemimpin agama itu kecil, pengikutnya terbatas. Tapi bagi rakyat biasa agama merupakan soal pragmatik: kehidupan dan penghidupan, bukan peperangan.
Kesimpulannya gampang: hantam kelompok kecil berupa para ulama pemberontak serta pengikutnya, lalu perdamaian akan tercapai. Pandangan Snouck Hurgronje ini diserang baik oleh pengkritik Belanda maupun nasionalis Indonesia.
Pun pada 1904, setelah Perang Aceh dengan resmi diakhiri, masih ada ulama lokal yang berjuang terus. Baru pada Mei 1925 beberapa satuan tentara dikurangi karena Batavia harus menghemat. Pemerintah kolonial juga beranggapan bahwa perdamaian definitif sudah tercapai. Tetapi pada Oktober tahun itu meletus pemberontakan di bagian selatan wilayah pantai barat, yang jauh lebih luas daripada yang dapat diketahui oleh publik di Hindia Belanda waktu itu.
Wartawan kolonial H.C. Zentgraaf menulis, "Dikurangi kekuasaan militer serta digantikannya dengan sistem pemerintahan normal adalah soal terlarang di Aceh."
Mengenai hari depan Aceh, disebutnya, "Lalu, senang atau tidak bagi mereka yang ingin melihat kepulauan ini sebagai kesatuan yang dapat diurus dengan satu cara pemerintahan yang sama, di Aceh harus kita pertahankan suatu pemerintahan yang lebih bersifat militer." Selanjutnya Zentgraaf memaparkan, "Pemerintah sipil tidak dapat mengerti bahwa ia harus berjalan di belakang latar selama tentara belum memenuhi syarat bagi berfungsinya dengan baik pemerintahan sipil. Bahkan sekarang pun kita dapat merasa gejala-gejala kesalahan itu" (kira-kira 1939).
Tulisan ini bunyinya seperti apa yang kita baca di nota defensi Desember 2002 yang disusun oleh Jenderal Ryacudu dan catatan dalam buku-buku sejarah TNI. Harus diingat bahwa pandangan tersebut berlawanan dengan pendapat para pengkritik, yang menganggap pemerintahan sipil yang kuat sebagai jaminan terbaik untuk pasifikasi yang damai dan produktif, kekuasaan militer harus menunduk pada pemerintah sipil.
Dari kemerdekaan Indonesia sampai sekarang pun perselisihan pendapat itu masih menandai relasi antara ahli politik dan pimpinan tentara.
Sehabis Perang Dunia, sejarah perjuangan Jakarta dengan Aceh dan dengan daerah-daerah lain yang memberontak merupakan masalah yang sama dengan yang sebelum perang. Pertanyaannya, bagaimana mempertahankan persatuan dalam wilayah yang demikian berbeda-beda secara geopolitik dan sosial seperti tampak di kepulauan Indonesia itu. Sementara dulu Pax Neerlandica dipaksa dengan senjata oleh tentara kolonial (KNIL), setelah kemerdekaan peranan TNI sama saja dengan usaha-usaha memberlakukan Pax Indonesica.
Baik dulu maupun sekarang, artinya waktu Nederlandsch Indie maupun dalam pemerintahan Indonesia dipertahankan prinsip negara kesatuan. Karena, Nederlandsch Indie pun berdasarkan negara kesatuan. Regeringsreglement (Pernyataan Pemerintah) Tahun 1922 menjadi dasar pemerintahan kesatuan nasional. Memang harus dicatat bahwa pemerintah sipil di luar Jawa memberikan kelonggaran kepada bentuk-bentuk pemerintahan daerah dengan memperhatikan tradisi dan sejarah lokal dan yang menjadi terkenal dengan nama indirect rule.
Apakah masalah Aceh dapat dianggap sebagai suatu warisan kolonial? Saya rasa tidak. Berlainan dengan situasi dalam koloni Nederlandsch Indie yang bersifat sipil, kaum militer di Indonesia membagi kekuasaannya dengan pemerintahan sipil. Tambahan pula, golongan militer bersandar di daerah-daerah melalui sistem teritorial dan perdagangannya, sedangkan garnisun-garnisun KNIL tak mengenal itu.
Pada hemat saya, latar belakang yang sama di pusat politik menimbulkan pendapat-pendapat yang sama juga tentang persatuan, keamanan, dan ketertiban, lepas dari perbedaan zaman dan tindakan politik nasional yang berbeda.
Terang kiranya bahwa pengalaman 150 tahun Perang Aceh membuktikan bahwa dengan cara perang tidak dapat diubah hal-hal geopolitik dan sosial yang khusus suatu daerah nasional.
Hanya kesejahteraan dengan perundingan sama rata yang dapat membawa hasil yang diharapkan. Baiklah pemerintah sekarang menginsafinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo