Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN itu terbaring lemah di sebuah ranjang Rumah Sakit Militer Iskandar Muda, Banda Aceh. Perban membalut hampir setengah punggungnya. Lukanya belum kering. Masih ada noda darah di sana. Sesekali matanya yang redup itu terbuka, lalu terpejam lagi, menahan perih. Di sisi kiri ranjang, salah satu anaknya, yang masih berumur tujuh tahun, mengipasi dengan koran. "Mak, bagah puleh beuh," ujarnya dengan nada sedih. Ia memohon agar ibunya cepat sembuh.
Fitriah, sang ibu, bukanlah anggota Inong Balee, pasukan wanita Gerakan Aceh Merdeka. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang sehari-hari mengurus suami dan dua anaknya yang masih kecil. Itu saja. Tapi siapa nyana, perempuan berusia 28 tahun yang tinggal di Desa Bayu, Darul Imarah, Aceh Besar, itu harus menerima suratan takdir ketika sebutir timah panas nyelonong masuk ke rumahnya, Selasa, 22 Juli silam.
Subuh baru saja lewat ketika seregu tentara masuk ke desanya mengejar pentolan Gerakan Aceh Merdeka. Bak film laga, kejar-mengejar sempat terjadi. Sesekali mereka saling melepas tembakan. Singkat cerita, si pentolan GAM tewas tertembak. Tapi jeritan terdengar pula dari rumah Fitriah. "Saya tertembak saat tiarap di balik pintu," ujarnya lirih. Sebutir peluru menembus jendela dan dinding papan, lalu bersarang di punggungnya. Entah peluru siapa.
Wanita malang itu hanyalah satu di antara dua juta lebih warga yang merasakan dampak perang setelah pemberlakuan darurat militer di bumi Serambi Mekah tiga bulan lalu. Nyawa puluhan warga tak berdosa melayang. Ratusan lainnya terluka. Belasan wanita mengalami pelecehan seksual dan bahkan diperkosa. Puluhan ribu warga juga harus mengungsi. Namun, ketika pulang, mereka menemukan harta mereka telah dijarah.
Penderitaan mereka tak lebih dari sebuah episode ulangan dari pertikaian silih berganti di Tanah Rencong. Meski judul episodenya berganti-ganti, dari Operasi Penumpasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh pada 1953-1962, Operasi Jaring Merah dan Daerah Operasi Militer pada 1989-1998, sampai Pemberlakuan Keadaan Darurat Militer pada 2003, selalu saja dampaknya sama: rakyat jelata yang menjadi korban. Seolah penguasa dari berbagai era tak kapok menerapkan resep Snouck Hurgronje, penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yakni menaklukkan Aceh dengan jalan kekerasan dan menundukkan ulamanya.
Ladang pembantaian bersemi sejak Presiden Sukarno mengerahkan tentara untuk menekuk Teungku Daud Beureueh, yang mengibarkan bendera DI/TII pada 21 September 1953 karena kecewa kepada Republik. Ladang kekerasan pun semakin subur ketika daerah operasi militer (DOM) diberlakukan pada 1989. Pembunuhan, penyiksaan, dan kekerasan seksual terjadi hampir tiap hari. Kisah tentang Bukit Tengkorak dan Kampung Janda menyisakan trauma yang berkepanjangan.
Meski tak separah masa-masa lalu, kini kejadian serupa tetap berulang. Pemerkosaan terjadi, pemerasan berlangsung, korban sia-sia berjatuhan. Padahal Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto telah berupaya meminimalkan korban. Berkali-kali ia mengatakan, jika ada prajurit yang menyiksa tawanan, mencuri, memperkosa, dan membunuh di luar jalur hukum, mereka akan ditindak tegas.
Bagi pemerintah dan TNI, operasi keamanan merupakan jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah Aceh. Di lapangan, strategi ini diartikan dengan menggasak orang-orang GAM. "Hasil evaluasi kami, memasuki bulan ketiga, situasi Aceh semakin membaik. Banyak anggota GAM yang ditangkap dan menyerahkan diri," kata Penguasa Darurat Militer Aceh, Mayjen TNI Endang Suwarya.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, juga menilai hasil operasi pemulihan keamanan di Aceh cukup signifikan. "Kini GAM tak lagi leluasa beraksi," ujarnya kepada TEMPO. Pemulihan roda pemerintahan daerah pun mengalami kemajuan. Sekarang aparat pemerintah sudah mulai bisa bekerja. Kendati begitu, Gubernur Aceh Abdullah Puteh mengakui bahwa operasi keamanan juga meninggalkan ekses negatif bagi masyarakat.
Jika tak terselesaikan dengan baik, efek samping semacam itu bisa menjadi pupuk separatisme. Menurut pengamat politik Harold Crouch, gerakan separatis tak akan berkembang jika warganya tidak sakit hati terhadap pemerintah. Sejarah mencatat, generasi GAM era milenium berasal dari mereka yang sanak-saudaranya menjadi korban DOM. "Pemerintah harus bertanya mengapa masyarakat Aceh ingin memisahkan diri," ujar pengamat dari Australia National University itu.
Dalam catatan sejarah, GAM memperoleh kekuatan setelah industri gas dan minyak di Aceh Utara berdiri pada 1970-an. Di wilayah itu, mereka mendapat dukungan yang besar. Masyarakat sadar bahwa hasil tambang gas dan minyak membawa kemakmuran tapi tak pernah digunakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial mereka. Kemakmuran justru dibawa ke Jakarta, sementara sekelompok kecil elite Aceh menjadi begitu makmur. Secara alami, itu semua membimbing masyarakat ke perasaan kecewa.
Kekecewaan mereka kian bertambah karena pelanggaran yang terjadi selama DOM digelar tak pernah diusut tuntas. Padahal, selain terjadi pelanggaran hak asasi manusia, sering pula terjadi pemerasan terhadap masyarakat. "Pelakunya tidak dihukum, tapi pelapornya yang justru hilang tak tentu rimbanya," kata Abdullah, warga Aceh yang kini menetap di bilangan Jakarta Selatan.
Walhasil, masalah Aceh seolah menjadi kerikil tajam dalam sepatu pemerintah Indonesia. Sejak zaman Orde Lama, problemnya tak juga kelar dan justru makin menumpuk: dari sekadar ketidakpuasan elite daerah akibat kebijakan pemerintah pusat yang tidak mempertimbangkan aspirasi mereka menjelma menjadi tumpukan masalah dan konflik.
Sebetulnya Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Muslim Ibrahim, juga menilai operasi militer saat ini telah sesuai dengan target. Tapi ia ragu apakah target enam bulan memberantas GAM dapat tercapai. Sebab, konflik Aceh bersumber pada ketidakadilan dan tidak adanya penegakan hukum. Jika keadilan belum terwujud, kondisi akan kembali lagi. "Sebaiknya semua pihak tak hanya berpikir enam bulan, tapi juga jangka panjang," ujarnya.
Menurut Ibrahim, cara yang paling tepat untuk menyelesaikan persoalan Aceh di samping operasi adalah perlunya penjabaran tentang keadilan. Dengan demikian, masyarakat akan memperoleh kemerdekaan hakiki. Direktur International Crisis Group, Sidney Jones, pun sepakat. "Yang paling penting saat ini adalah menciptakan sebuah pemerintah daerah yang betul-betul bersih dan mengutamakan kepentingan rakyat," ujarnya kepada Purwani D. Prabandari dari TEMPO.
Masalah fulus pun harus dipikirkan sebaik-baiknya. Misalnya soal dana perimbangan keuangan sebesar Rp 6,5 triliun untuk Aceh. Dana sebesar itu haruslah memberikan efek kesejahteraan yang merata. Menurut anggota DPR Ahmad Farhan Hamid, menyelesaikan persoalan Aceh tidak bisa dengan kekerasan, tapi dengan menembak hatinya. "Bila hati sudah tertawan, apa pun bisa diberikan rakyat Aceh," katanya.
Karena itu, meskipun penerapan keadaan darurat penting, menurut Abdullah Puteh, hal ini tak akan cukup untuk menangani konflik Aceh. "Perlu ada langkah lanjutan, antara lain imbauan dengan cara-cara keagamaan dan kekeluargaan," ujarnya.
Itu tampaknya disadari pula oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Itu sebabnya operasi keamanan dipadu dengan operasi kemanusiaan. Caranya dengan memberikan bantuan makanan, obat-obatan, dan akomodasi kepada masyarakat. Ia yakin keamanan akan pulih dalam waktu enam bulan. Tapi rehabilitasi dan rekonstruksi membutuhkan waktu satu hingga dua tahun.
Sejatinya keinginan sebagian besar warga Aceh amat sederhana. "Saya hanya ingin Aceh bisa damai, agar saya bisa mencari rezeki dengan tenang tanpa rasa waswas," kata Ridwan, sopir minibus jurusan Banda Aceh-Lhok Seumawe. Sementara itu, bagi Abdul Jalil, yang kini menetap di Jakarta Selatan, yang penting ia bisa menengok sanak-saudaranya di Aceh dengan aman. "Jangan sampai kami dihantui rasa takut kena peluru nyasar," ujarnya. Tentu kedamaian pula yang diharapkan Nyonya Fitriah, yang kini masih tergolek di rumah sakit karena terjangan peluru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo