Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gerakan Separatis Belum Usai

PADA usia 58 tahun, Indonesia masih menghadapi gerakan separatis. Sebagian merupakan sisa-sisa pemberontakan sebelumnya.

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1948
Peristiwa Madiun Pada 18 September 1948, Partai Komunis Indonesia memberontak, menguasai Madiun, Jawa Timur, dan mendirikan Republik Sovjet Indonesia. Perdana Menteri Hatta mengerahkan satu brigade Divisi III/Siliwangi, Jawa Barat, dan satu brigade Surachman dari Jawa Timur. Operasi penumpasan yang dipimpin Kolonel A.H. Nasution, Panglima Markas Besar Komando Jawa, berhasil memadamkan pemberontakan. Musso tertembak mati. Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan ditangkap, dijatuhi hukuman mati.

1949-1962
DI/TII Kartosoewirjo Embrio Darul Islam/Tentara Islam Indonesia bermula pada Februari 1948, ketika Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo membentuk Madjlis Islam Pusat. Dibentuk pula Tentara Islam Indonesia, gabungan Sabilillah dan Hizbullah, dua laskar rakyat yang dikenal gigih melawan Belanda. Pada 7 Agustus 1949, ia memproklamasikan Negara Islam Indonesia (Darul Islam) di Malangbong, Garut, Jawa Barat. Pertengahan 1960, TNI menggelar operasi pagar betis di Kabupaten Lebak, dipimpin Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie. Kartosoewirjo tertangkap dan diadili Mahkamah Angkatan Darat, 16 Agustus 1962. Ia dieksekusi pada 5 September 1962.

1950-1963
Repubik Maluku Selatan Ketidakpuasan sebagian bekas anggota KNIL Belanda asal Maluku mendorong mereka memproklamasikan Republik Maluku Selatan pada 25 April 1950, dipimpin Dr. Ch.R. Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Bagian Indonesia Timur. Jakarta menyelesaikannya secara damai dengan mengirim Dr. Leimena, tapi gagal. Maka pasukan pun dikirim, Juli 1950, dipimpin Kolonel A.A. Kawilarang. November 1950, Ambon dikuasai, dan dalam pertempuran jarak dekat memperebutkan Benteng Nieuw Victoria, Letkol Slamet Riyadi gugur. Soumokil tertangkap pada 2 Desember 1963 dan dijatuhi hukuman mati. Belakangan para pengikutnya diangkut ke Belanda. Tapi, sesampai mereka di Rotterdam, 21 Maret 1951, kabinet Belanda memutuskan memberhentikan mereka dari dinas militer. Hingga kini, mereka menetap di Belanda sebagai minoritas yang mengalami ketidakadilan. Mereka sering berlaku anarkistis. Pada 1970, mereka menduduki Konsulat RI, menyerang rumah Duta Besar RI, membajak kereta api, dan berusaha menculik Ratu Yuliana tapi gagal. Setiap 25 April mereka mengibarkan bendera RMS. Bahkan di Maluku, 25 April 2001, Dr. Alex Manuputty, pemimpin Forum Kedaulatan Maluku, mengibarkan bendera RMS di halaman rumahnya di Kudamati, Ambon. Ia ditangkap dengan tuduhan melanggar Pasal 106 dan 110 KUHP tentang makar.

1951-1965
DI/TII Kahar Muzakar Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakar bermula pada masalah keadilan. Sebagian gerilyawan di Sulawesi Selatan tidak diterima masuk TNI karena tidak memenuhi syarat. Belakangan Kahar menjalin hubungan dengan Kartosoewirjo. Ia diangkat Kartosoewirjo sebagai Panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia. Pada September 1952, Jakarta menggelar Operasi Halilintar. Dalam suatu operasi di sekitar Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, 3 Februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati.

1953-1962
DI/TII Daud Beureueh Pada 20 September 1953, bekas Gubernur Militer Aceh yang juga ulama, Daud Beureueh, memproklamasikan Aceh bagian dari Negara Islam Indonesia-nya Kartosoewirjo. Jakarta segera menggelar operasi militer. Daud Beureueh terdesak ke pinggiran. Kasus ini diselesaikan secara politik dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, Desember 1962, atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jasin. Daud pun kembali ke masyarakat. Ia wafat pada 6 Juni 1987, dimakamkan dalam suatu upacara sederhana.

1957-1961
PRRI/Permesta Pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah juga dilatarbelakangi ketidakpuasan. Mereka juga mengkritik Bung Karno, yang terlalu memberikan angin kepada PKI. Permesta diproklamasikan pada 2 Maret 1957 oleh Panglima Tentara & Teritorium VII, Letkol H.N.V. Sumual, di Makassar. Semula Sumual menawarkan gagasan politik dengan mengirim Henk Rondonuwu ke Jakarta, kemudian menggelar Kongres Bhineka Tunggal Ika. Belakangan KSAD Mayjen A.H. Nasution membubarkan TT-VII/Wirabuana. Tapi Sumual tetap bertahan sebagai panglima. Toh, kedua belah pihak berusaha berdamai dengan menandatangani persetujuan Kinilow, 23 Juli 1957. Pada 8 September 1957, Letkol Barlian, Letkol Achmad Husein, dan Letkol Sumual bertemu di Palembang. Mereka menuntut penggantian KSAD, otonomi daerah, dan pelarangan terhadap PKI. Berikutnya, Januari 1958, Husein, Sumual, dan Simbolon bertemu di Sungai Dareh, Sumatera Barat, menyusun Dewan Perjuangan, dan menuntut mundur Perdana Menteri Djuanda. Jakarta menanggapinya dengan memecat Husein dan Simbolon serta membekukan Kodam Sumatera Tengah. Dan pada 12 Februari 1958, Padang dibom oleh AURI, disusul pengeboman sejumlah sarana vital yang dikuasai Permesta di Sulawesi. Penyerangan itu dijawab dengan memproklamasikan PRRI pada 15 Februari 1958, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Belakangan Permesta memobilisasi pemuda untuk latihan militer dengan instruktur dari Amerika Serikat. Jakarta merespons dengan operasi militer. Bukit Tinggi, ibu kota PRRI, diduduki pada 4 Mei 1958. Dan di Teluk Ambon, Allan Pope, pilot bayaran berkewarganegaraan AS, dan pesawat pengebom B-26-nya ditembak jatuh. Tiga tahun kemudian, pemberontakan ini dapat dipatahkan.

1965
Organisasi Papua Merdeka Pada 1962, Irian Barat kembali ke pangkuan RI. Tapi masih ada sisa-sisa separatis yang pada 1965 mendirikan Organisasi Papua Merdeka. Gerakan yang dipimpin Permenas Awom dan Johan Ariks ini menyerang Shell Oil Company dan pasukan RPKAD di Arafai, Manokwari. Sementara itu, Marcus Kaisiepo di Negeri Belanda mengklaim sebagai Presiden OPM di pengasingan, sedangkan Nicolaas Jouwe membentuk Panitia untuk Kemerdekaan Papua Barat. Maka Jakarta pun melancarkan Operasi Sadar, Agustus 1965: satu batalion tentara diterjunkan di Biak. Dua tahun kemudian, Lodewijk dan Barend Mandatjan serta Fritz Awom memproklamasikan Manokwari sebagai Negara Papua Merdeka. Operasi Sadar kembali dilancarkan. Jakarta kemudian mengangkat Brigjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai Panglima Kodam Cenderawasih. Awal 1969, Lodewijk dan Barend Mandatjan menyerah, tapi Fritz Awom belum tunduk, bahkan memimpin pemberontakan di Kepala Burung. Pada 1969, digelar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah payung PBB. Hasilnya, Irian Barat bergabung dengan RI. Namun OPM menilai hal itu tidak sah. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, sisa-sisa OPM bergerak terus. Januari 1996, mereka menyandera Tim Ekspedisi Lirentz. Pasukan TNI, dipimpin Prabowo Subianto, membebaskan sembilan sandera—dua di antaranya tewas. Sampai kini, OPM masih bergolak. Menurut mereka, penyerahan Papua oleh Belanda kepada RI tanpa persetujuan rakyat Papua. Mereka juga membentuk Dewan Papua dengan ketua Theys Hiyo Eluay. Belakangan Theys terbunuh setelah diculik oleh oknum Kopassus.

1976-sekarang
Gerakan Aceh Merdeka Gerakan Aceh Merdeka diproklamasikan pada 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro. Pada Maret 1979, Tiro menyelundup ke Singapura, lalu bermukim di Swedia hingga kini. Ia mengangkat diri sebagai Wali Negara Aceh Merdeka. Pada 1990, Gubernur Aceh Ibrahim Hasan minta penambahan personel TNI, lantas Jakarta menambah jumlah tentara dari 6.000 menjadi 12 ribu orang. Selanjutnya diberlakukan Operasi Jaring Merah, dan Aceh dinyatakan sebagai daerah operasi militer (DOM)—belakangan banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pada 7 Agustus 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto mencabut status DOM. Ia juga minta maaf atas tindakan oknum ABRI yang menyakitkan hati masyarakat. Toh, konflik Aceh belum selesai. Pada 12 Mei 2000, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan wakil GAM Zaini Abdullah menandatangani nota kesepahaman tentang jeda kemanusiaan di Jenewa, Swiss. Pada 9-10 Mei 2002, para perunding sepakat menghentikan permusuhan. Selanjutnya, pada 9 Desember 2002, kedua belah pihak menandatangani Kesepakatan Penghentian Permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement) di Jenewa. Kesepakatan ini tak berlangsung lama. Banyak terjadi pelanggaran oleh kedua belah pihak. Penggudangan senjata GAM, sesuai dengan perjanjian, tak terlaksana sampai batas waktu 9 Februari 2003. Perundingan Tokyo, 18 Mei 2003, yang difasilitasi The Henry Dunant Centre dan negara-negara donor (Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, dan Bank Dunia), gagal. Hal itu mendorong Jakarta menggelar operasi militer, yang sampai kini masih berlangsung.

1989
Jamaah Mujahidin Lampung Jamaah Mujahidin Fisabilillah pimpinan Anwar Warsidi merebak di Talangsari, Lampung Tengah, pada 1989. Mereka berpendapat telah terjadi kezaliman dan, karena itu, perlu ditegakkan syariat Islam. Mereka mencita-citakan perkampungan muslim yang bebas dari campur tangan penguasa dan menolak Pancasila sebagai asas tunggal. Pada 1980, mereka ditumpas. Sekitar 550 orang pengikut Warsidi tewas, termasuk perempuan dan anak-anak. Penggerebekan paling besar terjadi pada 7 Februari 1989, yang menewaskan 246 orang, dipimpin Komandan Resor Militer 043/Garuda Hitam, Kolonel A.M. Hendropriyono. Sejumlah pengikut Warsidi ditangkap dan diganjar hukuman penjara 10 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Belakangan mereka mendapat grasi presiden, sementara Hendropriyono melakukan islah (perdamaian) dengan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus