Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ketika Penari Kecak Bermasker

Pembatasan sosial pada Maret 2020 memukul mundur dunia pariwisata Bali. Begitu pun atraksi tari tiarap dari gegap-gempita panggung pertunjukan. Karena sepi pentas, sejumlah sanggar terpaksa merumahkan para penarinya. Sebagian dari mereka bahkan sempat beralih profesi demi bertahan hidup. Adaptasi dengan keadaan pun menjadi jalan keluar. Perlahan mereka kembali berlatih dan tampil lagi, tentu dengan mengikuti protokol kesehatan. Perubahan ini tak hanya berpengaruh secara estetika, tapi juga berimbas pada koreografi tarian. Dalam tari kecak, misalnya, para penari mesti melatih napas demi bisa mengeluarkan bebunyian dari balik masker. Simak laporannya.

28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembukaan kembali atraksi wisata Tari Kecak Uluwatu di kawasan Uluwatu, Badung, Bali, 31 OKtober lalu. ANTARA/Fikri Yusuf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan pemandangan yang biasa. Menjelang petang, puluhan lelaki penari bertelanjang dada itu masuk melewati gapura ke panggung terbuka pertunjukan. Mulut mereka seperti terbungkam oleh masker, yang kebanyakan berwarna hitam. Padahal dari mulut itulah bebunyian ritmis yang rancak keluar mengiringi gerak tari kecak di Uluwatu, Jimbaran, Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun nyatanya tak banyak yang berubah selain bahwa bunyi “cak-ka-cak-ka-cak” itu menjadi terdengar kurang menggema. Padahal dulu suara itu membuat pentas yang biasa digelar menjelang matahari tenggelam di sudut barat daya tersebut jadi terasa lebih magis. Bukan hanya tampilan para penari yang berbeda, tapi juga koreografinya. Imaji akan formasi penari kecak yang nyaris berdempetan satu sama lain itu buyar. Kini antarpenari berjarak paling tidak 1 meter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pementasan tari kecak di obyek wisata Uluwatu, Desa Pecatu, Badung, Bali, 20 November lalu. TEMPO/Made Argawa

Perubahan drastis terlihat pula di bangku penonton. Sekitar setahun lalu, berimpitan di area penonton tari kecak lumrah adanya. Bahkan tak jarang, bila sedang ramai, jarak antara penari dan pengunjung bisa tak sampai semeter. Namun gambaran lama itu tinggal kenangan. Jumat sore, 20 November lalu, area penonton terasa suwung. “Biasanya banyak bule yang datang menonton,” kata penonton asal Bandung, Yudha, 35 tahun, saat ditemui seusai pertunjukan. Yudha datang ke Bali bersama seorang kawannya untuk berlibur.

Karena pandemi, seluruh pementasan tari kecak di Bali lantas terhenti. Mereka baru perlahan bangkit kendati jumlah penontonnya turun drastis. Di Uluwatu, tari sakral ini digarap Sanggar Tari dan Tabuh Karang Boma. Sanggar itu bermarkas di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Sekali pentas, biasanya ada 90 orang, termasuk penari, penata rias, dan petugas tiket, yang terlibat. Sanggar Karang Boma, yang berdiri pada 1996, memiliki dua kelompok penari yang berpentas bergiliran.

Ketua Karang Boma, I Made Astra, mengatakan sanggarnya mulai tutup karena pandemi pada 19 Maret lalu. Lima bulan kemudian, baru mereka kembali berpentas, dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Semua penari dan petugas wajib mengenakan masker. Kecuali penari yang memerankan tokoh Hanoman dan Rahwana, mereka mengenakan topeng khusus yang sekaligus berfungsi sebagai alat pelindung diri.

Penari kecak yang memerankan tokoh Sita dalam pementasan lakon Ramayana di obyek wisata Uluwatu, Desa Pecatu, Badung, Bali, 20 November lalu. TEMPO/Made Argawa

Made mengakui penggunaan masker sempat menyulitkan penari kecak. Namun mau tak mau mereka akhirnya beradaptasi. Salah seorang penari kecak, Wayan Dasna, 50 tahun, menyebutkan napasnya menjadi lebih berat saat menari dan mengeluarkan suara dari balik masker. “Tapi, ketika sudah sering latihan, akhirnya jadi terbiasa,” ujarnya.

Selama proses latihan, Made menyuplai para penarinya dengan vitamin. Mereka juga beberapa kali menjalani rapid test, dan hasilnya negatif. Bukan hanya penari, penonton juga diatur untuk berdisiplin mengikuti protokol kesehatan. Mereka diminta mencuci tangan sebelum masuk ke arena pentas dan memperhatikan jarak.

Menurut Made, standar baru ini diberlakukan untuk memberi rasa aman dan nyaman baik buat penonton maupun penampil. Walaupun tak ia pungkiri kapasitas penonton kini hanya 400 orang; kurang dari setengah dari kebiasaan sebelum pandemi yang mencapai 1.400 orang. Dampaknya ada pada pendapatan penari. Made menyatakan penari kini hanya mengantongi Rp 100 ribu setiap pentas. Padahal dulu angka yang didapat per penari bisa mencapai 10 kali lipatnya.

Pementasan lakon Ramayana dalam tarian kecak di obyek wisata Uluwatu, Desa Pecatu, Badung, Bali, 20 November lalu. TEMPO/Made Argawa

Pertunjukan seni yang ditiadakan selama pandemi beberapa bulan lalu sempat membuat Made mengalami stres. Sebab, sejak sanggar itu dibentuk, belum pernah ada cerita sendu terkait dengan pendapatan penari dan awak pementasan. Karena sempat nganggur berbulan-bulan, kru sanggar menghabiskan waktu untuk berkebun dan mengurus ternak. Mereka juga biasa ikut membersihkan wilayah desa adat hingga Pura Uluwatu dari sampah plastik.

Made menyebutkan Karang Boma mendapat sertifikat dari Dinas Pariwisata Kabupaten Badung karena bisa mementaskan atraksi budaya di tengah pagebluk. Sanggar ini pun berencana rutin tampil tiap hari mulai Desember nanti.

•••

SITUASI pandemi menjadi ujian besar yang menegangkan bagi komunitas seni. “Pariwisata Bali sangat mendung. Kami enggak ada kegiatan sama sekali, sementara ada sejumlah kru sanggar yang sudah berkeluarga dan selama ini menggantungkan hidupnya dari berkesenian,” ucap pendiri Sanggar Cahaya Art, I Ketut Lanus, melalui sambungan telepon, Selasa, 17 November lalu.

Ketut, 50 tahun, merintis komunitas seni sejak 2003 di Jimbaran. Komunitasnya terus berkembang sampai kemudian dilegalkan pada 2003 dan mulai berproses di Denpasar hingga kini. Selama ini, Cahaya Art banyak bereksperimen dengan alat musik modern yang dikombinasikan dengan instrumen tradisional Bali, seperti gamelan. Begitu pun untuk lini tari, sanggar beranggotakan lebih dari 20 orang ini membawakan tarian kontemporer selain tradisional.

Penari kecak di obyek wisata Uluwatu, Desa Pecatu, Badung, Bali, 20 November lalu. TEMPO/Made Argawa

Sementara dulu mereka tak pernah sepi tawaran manggung, setelah pandemi semua rencana berantakan. Semua kegiatan seni dibatalkan. Proyek lain, seperti pembuatan kostum acara adat, juga kandas. “Ibaratnya kami sudah mengeluarkan banyak modal untuk kostum-kostum, tapi semuanya dibatalkan. Begitu pun rencana pentas di hotel, buyar semua Maret itu,” ujar Kadek.

Demi bertahan hidup, mereka pun banting setir. Dari yang semula biasa berpentas di pura, hotel, dan gedung, para seniman Cahaya Art beralih memproduksi masker. Ketika itu, kata Ketut, masker dan alat pelindung diri lain masih langka. Total ada sekitar 5.000 masker yang mereka produksi, yang dijual Rp 4.000-5.000 per buah. Namun penghasilan itu hanya mengamankan mereka sampai April. Bulan berikutnya, Ketut angkat tangan karena sudah tak ada lagi duit yang bisa diputar untuk usaha. Delapan pekerja bagian properti dirumahkan untuk sementara.

Situasi yang makin sulit memaksa kru sanggar berjuang sendiri-sendiri. Menurut Ketut, kebanyakan anak buahnya mulai berjualan secara daring (online), baik makanan beku maupun kudapan. “Kami saling membeli dagangan teman agar siklus ekonomi tetap berjalan. Di sisi lain, itu juga baik untuk imun tubuh karena kami saling menguatkan,” tuturnya.

Pembukaan kembali atraksi wisata Tari Kecak Uluwatu di kawasan Uluwatu, Badung, Bali, 31 Oktober lalu. ANTARA/Fikri Yusuf

Ketut sendiri menjual dua mobilnya yang menganggur di garasi rumah selama tiga bulan masa pembatasan sosial berskala besar. Dia lalu memakai uang hasil penjualan itu untuk berbisnis minyak mentah bersama koleganya dari Ubud. Bisnisnya untung dalam waktu beberapa bulan saja. Pada Juli lalu, Ketut sudah bisa memanggil lagi para kru yang sebelumnya ia liburkan. Di sanggar, mereka lalu buka-bukaan soal kondisi keuangan. “Melihat mereka bisa tersenyum lagi itu luar biasa buat saya,” ujarnya.

Dalam pertemuan tersebut, para seniman Cahaya Art sepakat berjuang melawan hantaman pandemi. Mereka tergerak membuat video agar bisa mendapat bantuan dana dari Pemerintah Provinsi Bali. Selama pandemi, Pemerintah Provinsi menyuntikkan dana sebesar Rp 10 juta untuk karya virtual yang terpilih. Namun program itu hanya dapat membiayai 202 komunitas seni, dengan catatan per sanggar melibatkan maksimal 20 seniman. Untuk program tersebut, Cahaya Art menggarap 3 video.

Para seniman Cahaya Art juga mulai berlatih walau belum seintens dulu. Sejak beberapa pekan lalu, mereka mulai diundang pentas luring (offline). Dua kali pentas gamelan untuk acara institusi pemerintah, dua lagi dalam pameran Dewan Kerajinan Nasional Bali. “Kalau diam saja, kami enggak akan dapat apa-apa,” kata Ketut. Selama pertunjukan 7-8 menit, para penari membuka maskernya, tapi dengan komposisi yang mengindahkan jarak satu sama lain. Alasannya, menurut Ketut, senyum penari adalah bagian dari tari Bali.

Begitu pun Yayasan Yasa Putra Sedana mulai berkiprah lagi setelah surut karena pandemi. Latihan dan pentas dilakukan dengan sejumlah protokol, menyesuaikan kebutuhan. Misalnya penari rangda dan barong tak perlu memakai masker karena sudah dilindungi masker. Namun jarak antar-penonton, antar-penabuh gamelan, dan penari dengan penonton dibuat minimal 1 meter. Namun, untuk pentas tari tradisional Bali yang lain, penari wajib mengenakan face shield. “Kalau memakai face shield kan penari tetap tidak kehilangan auranya,” ujar pendiri Yasa Putra Sedana, Dewa Rai Budiasa, saat dihubungi pada Selasa, 17 November lalu.

Penari yang tampil saat pembukaan kembali atraksi wisata Tari Kecak Uluwatu di kawasan Uluwatu, Badung, Bali, 31 Oktober lalu. ANTARA/Fikri Yusuf

Dewa mendirikan sanggarnya pada 1996. Sempat mandek, sanggar tersebut mulai beraktivitas lagi pada 2009. Setelah itu, Yasa Putra Sedana aktif tampil dalam sejumlah acara adat ataupun hiburan dan berpartisipasi dalam Folklore International Festival di Prancis. Sepulang dari sana, Dewa terlecut untuk melestarikan seni tradisi Bali lama. Dia juga menggagas sekolah seni gratis untuk anak-anak di Banjar Pengaji, Kecamatan Payangan, Gianyar, tempat sanggarnya berada. Idenya: mendatangkan kelompok wisatawan ke sanggarnya. Maka wisatawan tak hanya mendapat suguhan tari dan musik, tapi juga kuliner dan melihat sendiri detail arsitektur rumah Bali.

Beberapa tahun terakhir, peminat paket wisata ini diklaim Dewa lumayan banyak. Per tahun ada 2.500-3.000 pengunjung yang datang ke sanggarnya dalam bentuk grup berisi 30-55 orang. Namun, sejak akhir tahun lalu, jumlah pengunjung mulai merosot karena pandemi. Dewa menyebutkan, pada September 2019, sanggarnya mendapat pembatalan kunjungan hingga 40 kelompok, yang sebagian besar adalah turis mancanegara. Kondisi yang sama terulang sejak awal tahun ini.

Walhasil, sebagian besar dari 55 pegawai sanggar Yasa Putra Sedana kembali berfokus pada pekerjaan utama mereka, yakni petani. “Masih banyak orang yang khawatir, tapi kami sendiri sebenarnya sudah siap beraktivitas lagi dengan protokol kesehatan,” kata Dewa, yang sempat lama aktif sebagai politikus. Namun, menurut dia, beberapa pekan terakhir ini mulai banyak kelompok turis yang mendaftar kunjungan ke sanggarnya.

Sanggar tari Raja Buduh juga sudah kembali ke panggung. Menurut pendirinya, Pasek Nuada, sanggarnya mulai terlibat dalam sejumlah kegiatan tradisi, tapi belum ke acara pemerintah ataupun undangan hotel. Karena situasi belum membaik, sebagian anak buah Pasek selama pandemi ini mengail rezeki sebagai petani dan pedagang. “Yang penting teman-teman bisa makan dulu. Saya juga meminta mereka selalu terbuka kepada saya soal kondisinya,” ujar Pasek, Selasa, 17 November lalu.

Raja Buduh dibentuk Pasek empat tahun lalu. Hingga sebelum pandemi, pegawai yang biasa dilibatkan dalam pentas sanggar mencapai 150 orang; 40 di antaranya masuk tim inti. Namun, gara-gara pandemi, sebagian dari mereka terpaksa dipangkas. Pasek sendiri kemudian mencari donasi untuk kru sanggar dari sejumlah pihak, selain menambal kebutuhan dari kocek pribadi. “Kami di sanggar tentu ingin situasinya kembali seperti dulu. Tapi itu entah kapan karena sekarang ini Bali masih seperti kota hantu,” ujarnya.

ISMA SAVITRI, MADE ARGAWA (BALI)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus