Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Wijaya
Kesederhanaan” bahasa Indonesia menjadikan orang asing cepat dapat membaca dan berbicara Indonesia. Tetapi, ketika sudah mulai mengalihbahasakan, muncul berbagai keragu-raguan, karena ambiguitas dalam waktu, jenis kelamin, tunggal-jamak.
Ambiguitas dalam bahasa Indonesia merupakan refleksi dari individu yang tak sanggup/mau menentukan kehendaknya sendiri. Ia selalu melapor, mengecek untuk mendapat restu dari kelompoknya. Setiap kata kunci menunjuk pengertian yang mengapung, sehingga setiap saat bisa diartikan berbeda.
Kata ”ya”, misalnya, selalu bisa berarti ”tidak”, setiap kali dikehendaki. Begitu juga kata ”besok”, tidak selalu berarti hari berikutnya, tapi bisa berarti entah kapan, atau sama sekali tidak. Seseorang yang melamar pekerjaan, setelah menjelaskan maksud dan tujuannya menulis surat, akan mengakhiri suratnya dengan mencantumkan: ”Hormat kami”.
”Kami”, kata ganti orang kedua yang berarti jamak, dalam surat sering mewakili satu orang. Dengan menyebut dirinya sebagai ”kami”, terasa ada keinginan merendah (ia hanya bagian kecil dari masyarakat) dan menghormati (yang akan memberinya pekerjaan). Tetapi bukan hanya itu. ”Kami” adalah pengakuan bahwa individu tak bebas karena dia milik kelompok. Dalam keadaan sendiri pun individu tetap serpihan dari kelompok. Jadi, yang lebih konkret adalah dirinya sebagai bagian dari kesatuan. Manusia perorangan hanya bayang-bayang kelompok.
Kata ”kami” dari pemohon kerja mengandung ancaman. Dalam kelemahannya, ada tinju yang membuat pemilik kesempatan kerja harus berhati-hati, karena ia menghadapi bukan hanya satu orang, tapi kelompok. Kata ”kami” adalah ”senjata” individu terhadap lawannya yang lebih berkuasa.
Dalam bahasa percakapan, khususnya dalam orasi yang menyangkut lebih banyak orang lagi, ada kata ganti ”kita”. Kata ganti ini tidak hanya melibatkan kelompok dari yang berbicara, tetapi juga merangkul yang diajak bicara. Selintas, ”kita” terdengar/terasa sebagai upaya menghaluskan tutur. Seseorang mengajak tak hanya kelompoknya tetapi juga yang di luar kelompoknya, lawan kelompoknya, walhasil semua orang, untuk terlibat. Praktis, kata ”kita” adalah sebuah konsep yang mendeklarasikan ”tidak ada orang yang tidak terlibat”. Semuanya ikut.
Kata ganti ”kita” menjadi senjata penetrasi. Upaya penaklukan secara psikologis, taktis, sopan tapi agresif dan efektif. Yang terakhir ini sangat penting. Sebuah seruan dengan kata ”kita” tiba-tiba membuat di medan pertempuran tidak ada lawan lagi. Permusuhan langsung lunak oleh sihir kata ”kita”. Kerinduan berkelompok benar-benar merupakan kunci kelemahan individu.
Dalam percakapan intim dua orang, kata ”kita” juga sudah menerobos masuk dan mengacaukan batasan. Kepentingan individu pun musnah, bila kata ganti orang pertama: aku, saya, atau gue, diganti dengan ”kita”. Yang ada hanya persoalan bersama. Segala pertentangan, perbedaan, ketiadaan kesinambungan, bim salabim, lenyap tanpa ada muktamar. Setuju tak setuju, tidak diberikan waktu. Di situ demokrasi mati.
Hal yang sama terjadi pada kata ganti orang kedua kamu (tunggal), yang dihaluskan menjadi kalian. Dengan menempatkan satu orang menjadi banyak, terasa ada rasa membahasakan untuk yang diajak bicara. Ada keramahan dan keakraban, lawan bicara pun merasa bertambah kekuatan hadirnya, tetapi daya gigitnya juga musnah. Ambivalensi pada jamak-tunggal sama sekali bukan tanda ketidakmampuan ”menghitung”, justru kelihaian membuat ”perhitungan”, untuk ”menguasai” lawan bicara.
Mungkin bawah sadar kolektif itulah yang sudah membuat sebutan bapak, ibu, saudara, adik, kakak, mbak, om, tante, dengan cepat sekali mampu menggantikan sebuah tuan dan nyonya. Semua orang lebih senang bersaudara dan punya kewajiban membunuh ”pribadinya”. Sulit dibelokkan kembali menjadi ”puan” dan ”tuan” sebagaimana yang dianjurkan almarhum Sutan Takdir Alisjahbana.
Apakah bahasa Indonesia memang mengandung niat sejak awal karena bertujuan menggiring individu tak mampu punya keinginan pribadi? Jawabnya tidak gampang. Karena ”kita” harus memastikan lebih dahulu, apakah ”aku” yang bertransformasi menjadi ”kami” dan kemudian ”kita”, atau sebaliknya ”kita” yang bermigrasi menjadi ”kami” dan ”aku”. Apakah kamu yang menjadi kalian, atau kalian yang meloncat jadi kamu?
Bahasa Indonesia menunjukkan adanya solidaritas kolektif dalam masyarakat yang begitu dahsyat. Masyarakat menggebraknya tanpa kesadaran, tetapi para elite politik memanfaatkan itu secara efektif untuk menegakkan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo