Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Adu Misi di Kampus Negeri

Organisasi berbasis keagamaan berebut pengaruh di kampus-kampus. Konservatisme pun tumbuh subur di universitas umum.

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Adu Misi di Kampus Negeri
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PADA mulanya Raihan--bukan nama sebenarnya--tertarik bergabung dengan Dakwahpos.com untuk belajar menulis. "Saya ikut pelatihan jurnalistik yang mereka adakan," ujar mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Gunung Djati, Bandung, ini awal Juni lalu.

Dakwahpos.com bukan media internal kampus. Namun portal online itu kerap menggelar pelatihan di UIN Gunung Djati. Selain Raihan, ada beberapa mahasiswa UIN yang sempat menjadi kontributor media tersebut. Belakangan, Raihan mundur dari aktivitas Dakwahpos.com karena tidak sreg dengan afiliasi organisasi media itu.

Menurut Raihan, pengurus Dakwahpos.com kebanyakan aktivis Lembaga Studi Pemikiran Islam (LSPI). Lembaga itu bentukan Gema Pembebasan, sayap resmi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang khusus menyasar mahasiswa. "Mereka menyebarkan ide pendirian khilafah islamiyah," kata Raihan.

Organisasi sayap HTI biasanya bermain di kampus-kampus yang sulit mereka tembus. Di UIN Gunung Djati, aktivis HTI tidak mendapat tempat di organisasi resmi seperti badan eksekutif mahasiswa atau senat mahasiswa. "Ada organisasi ekstra lain yang menghalang-halangi kami masuk," ujar Ketua Gema Pembebasan UIN Bandung, Firman. "Dengan LSPI, kami bisa ikut diskusi atau perdebatan sosial-politik."

Riki Nasrullah, Ketua Lajnah Khusus Mahasiswa Bidang Intelektual HTI Kampus Jatinangor, mengatakan pembentukan LSPI merupakan strategi untuk merekrut kader di perguruan tinggi. Dengan mendirikan organisasi sayap seperti itu, menurut Riki, gerakan HTI lebih mudah masuk ke kalangan mahasiswa.

Selain untuk merekrut kader, bagi HTI, penguasaan organisasi intra-kampus penting untuk menyebarkan ideologi organisasi. Hizbut Tahrir, misalnya, pernah "menguasai" Masjid Ibnu Sina di kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang. Pada 2011-2015, ketika aktivis HTI menguasai kepengurusan masjid itu, hampir semua kajian Islam di sana berkaitan dengan tema khilafah islamiyah.

Aktivis Gema Pembebasan berkali-kali mencoba menguasai Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Padjadjaran. Mereka tiga kali mengikuti pemilihan Presiden BEM, tapi selalu kalah. "Enggak apa-apa. Yang penting, pesan kami tersampaikan saat kampanye," kata Riki Nasrullah, "bahwa HTI ada di Unpad untuk menegakkan khilafah islamiyah."

Sejak 2014, BEM Universitas Padjadjaran dikuasai aktivis organisasi lain, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Organisasi ekstra-kampus ini muncul di Indonesia pada 1990-an. Menurut buku Merawat Kebersamaan, terbitan Yayasan Wakaf Paramadina, KAMMI memiliki ikatan ideologi dengan gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir. Di Indonesia, KAMMI terafiliasi dengan Partai Keadilan Sejahtera.

Berbeda dengan organisasi sayap Hizbut Tahrir, KAMMI cenderung menerima demokrasi. Untuk mencapai tujuan organisasi, yaitu "persaudaraan muslim", aktivis KAMMI akan masuk ke sistem. Dari dalam, mereka berusaha mengubah "aturan main" agar mendukung gerakan Islam.

Ketua KAMMI Komisariat Universitas Padjadjaran Kholid Abdurahman mengatakan, selain di tingkat universitas, kader organisasi ini sudah masuk ke organisasi mahasiswa di tingkat di fakultas dan jurusan. Kholid mengklaim ada empat fakultas di kampus itu yang kini dipimpin kader KAMMI.

Dengan menduduki posisi kunci di organisasi mahasiswa, menurut Kholid, anggota KAMMI punya tugas membuat kebijakan organisasi sesuai dengan ideologi mereka. Misalnya, ketua BEM fakultas harus berani menghilangkan acara kampus yang berbau hura-hura. "Kegiatan seperti konser musik dan malam keakraban diminimalisasi sampai akhirnya hilang," ujar Kholid.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Padjadjaran Arry Bainus menyebutkan kehadiran organisasi ekstra-kampus seperti KAMMI dan HTI sah-sah saja. "Mereka masih berjalan pada relnya," kata Ary. "Tidak sampai mengganggu suasana kondusif di kampus." Menurut dia, keikutsertaan organisasi tersebut dalam badan intra-kampus juga bagian dari pembelajaran politik praktis.

Terpental di Universitas Padjadjaran dan UIN Gunung Djati, HTI bertahun-tahun menguasai organisasi intra-kampus Institut Pertanian Bogor. Itu tak terlepas dari cikal-bakal HTI yang lahir di kampus IPB. Menurut kajian Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, HTI didirikan di IPB pada 1982. Pendirinya Abdurrahman al-Baghdadi, anggota Hizbut Tahrir Australia. Baghdadi yang satu ini bukan pemimpin kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Di Bogor, gerakan HTI juga disokong Abdullah bin Nuh, pengasuh salah satu pesantren di Kota Hujan itu.

Cerita bermula ketika Abdullah dan Abdurrahman bertemu di Sydney pada awal 1980-an. Kala itu, Abdullah ke Sydney untuk menjenguk anaknya yang bersekolah di sana. Abdullah, yang memiliki santri mahasiswa IPB, mengajak Abdurrahman ke Bogor. Sejak itu, menurut kajian TNI yang terbit pada 2010, HTI berkembang dari kampus ke kampus.

Dari kampus IPB, jaringan HTI meluas ke mana-mana. Pada Maret tahun lalu, Badan Kerohanian Islam Mahasiswa IPB menggelar kegiatan yang menghebohkan Indonesia. Bersama pengurus Lembaga Dakwah Kampus dari seluruh Indonesia, mereka berikrar menegakkan syariat atas nama khilafah islamiyah. Rekaman video baiat yang diambil saat simposium di Graha Widya Wisuda IPB itu viral di media sosial pada April lalu.

Kepala Biro Hukum, Promosi, dan Hubungan Masyarakat IPB Yatri Indah Kusumastuti menyanggah tudingan yang mengaitkan IPB dengan HTI. "Kami terus meningkatkan pembinaan dan pendampingan agar tidak terjadi penyimpangan," katanya.

Deklarasi khilafah di kampus IPB menguatkan hasil penelitian yang dirilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada Februari tahun lalu. Survei sepanjang 2011 itu dilakukan di Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga, dan Universitas Diponegoro. Hasilnya, 86 persen responden di lima kampus itu menolak Pancasila dan menginginkan penegakan syariat Islam.

Pipit Aidul Fitriyana, peneliti Maarif Institute yang lama mengkaji konservatisme, mengatakan perguruan tinggi umum lebih rawan disusupi organisasi konservatif dan radikal dibandingkan dengan perguruan tinggi Islam. "Tak punya dasar pemahaman agama yang kuat, mereka mudah dipengaruhi paham baru," ujar Pipit.


HTI bertahun-tahun menguasai organisasi intra-kampus Institut Pertanian Bogor. Itu tak terlepas dari cikal-bakal HTI yang lahir di kampus IPB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus