Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sekolah Islami Biaya Selangit

Biaya masuk sekolah Islam terpadu mencapai seratus juta rupiah. Pelajaran menghafal Al-Quran menjadi daya tarik.

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANTUNAN istigfar dan doa anak-anak terdengar merdu sore itu. Sekitar 20 anak duduk bersila membentuk lingkaran di atas karpet merah. Anak laki-laki dan perempuan berusia sekitar 10 tahun tampak ceria berbaur dalam satu ruangan. Begitu azan berkumandang, doa berbuka dilisankan bersama. Suasana pun bertambah semarak. Mereka berdiri mendekati meja mengambil kolak, teh manis, dan nasi kotak. Setelah itu, mereka menjalankan salat magrib berjemaah, wirid, dan doa. Ditutup dengan salat sunat dua rakaat.

Ini bukan pemandangan di pesantren atau masjid, melainkan di ruang kelas IV di lantai dua Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Fikri di Jalan Tugu Raya, Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat. Jumat dua pekan lalu itu berlangsung penutupan kegiatan Ramadan dan pembagian rapor.

Di sekolah ini, semua siswa perempuan wajib berhijab, begitu pula ibu-ibu yang mengantar anaknya. "Kami sekolah Islam dan meyakini menutup aurat dengan jilbab itu perintah Islam," kata Direktur Pendidikan Sekolah Islam Terpadu (SIT) Nurul Fikri, Rahmat Syarifudin Syehani. Jauh sebelum masuk kompleks sekolah, di dekat pintu gerbang sekolah terdapat spanduk Nurul Fikri bertulisan "Kawasan Wajib Berhijab".

Inilah potret pendidikan sekolah Islam terpadu yang sedang digandrungi warga kelas menengah muslim dalam beberapa tahun terakhir. Sejumlah orang tua mengharapkan anaknya menjadi pribadi saleh, hafal beberapa juz Al-Quran, mahir berbahasa asing, serta melek sains dan teknologi. Biaya sekolah yang selangit bukan masalah.

Yayasan Pendidikan dan Pemberdayaan Nurul Fikri Depok, pimpinan politikus Partai Keadilan Sejahtera, Suharna Surapranata, mengelola taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Perintis sekolah Islam terpadu ini, yang dimotori aktivis gerakan Tarbiyah pada 1993, mengkombinasikan kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan kurikulum yang mereka buat sendiri.

Menurut Rahmat Syarifudin, kurikulum tambahan itu sebagai pembinaan keagamaan yang diperluas dengan menekankan pada pembentukan karakter anak. "Kami tak hanya belajar teori, tapi juga mempraktikkan ibadah dan akhlak," ujarnya.

Hal itu tecermin pada jam pelajaran kelas IV, yang dimulai pukul 7 pagi. Senin pagi upacara bendera setengah jam. Mulai Selasa sampai Kamis, selama 30 menit, ada pelajaran penanaman karakter, yakni ikrar dan janji pelajar, wudu, salat duha, membaca Al-Quran, serta mengulang pelajaran. Setiap Rabu pagi ada kegiatan membaca dan Jumat pagi menghafal doa-doa.

Pagi selama satu setengah jam berlangsung pelajaran kurikulum nasional tematik. Setelah penanaman karakter selama 15 menit, dilanjutkan dengan pelajaran Al-Quran dua jam pelajaran hingga pukul 10.05. Semua itu berlangsung pada Senin-Kamis. Lalu bahasa Arab dua jam pada Senin hingga salat zuhur. Sedangkan bahasa Inggris tiga jam pada Jumat sejak pukul 09.30 sampai menjelang zuhur. Seusai makan siang disampaikan pelajaran kurikulum nasional hingga pukul 14.30.

Rahmat mengatakan semua siswa wajib mengikuti dua kurikulum tersebut. Karena itu Arnesa Zulaikah Putri, siswa kelas IV, harus membagi waktu menghafal Al-Quran dan membaca mata pelajaran tematik. Dalam sepekan, Arnesa empat kali setor hafalan Al-Quran, masing-masing dua setengah halaman, kepada guru tahfid. Kini Arnesa sudah hafal 4 juz, yakni juz 26-30. "Pelajaran umum dia bagus, hafalan Al-Quran-nya juga bagus," kata guru kelas IV, Tb. Hermawan, yang mendampingi Arnesa.

Nurul Fikri menyediakan guru tahfid, yang berbeda dengan guru kelas dan guru pelajaran. Mereka setiap pagi datang menagih hafalan para siswa. Wajib menghafal Al-Quran mulai kelas IV SD dengan target setahun satu juz. Bila lancar, lulusan SMA sudah hafal 9 juz. "Rata-rata hafal 7-8 juz setelah lulus SMA," ujar Rahmat.

Sekolah ini menjaga kualitas pengajaran dengan mewajibkan guru mengikuti pelatihan internal minimal dua jam dalam sepekan sepanjang tahun. Dalam sepekan dibuka sembilan kelas untuk pelatihan 155 guru buat mengajar 1.700 siswa. "Inilah mengapa lulusan SMA kami 70-80 persen diterima di perguruan tinggi negeri, seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung," ujarnya. Persaingan masuk SMA ini sangat ketat. Sekitar 70 persen yang diterima berasal dari SMP Nurul Fikri.

Ada harga yang harus dibayar untuk semua fasilitas dan pelayanan tersebut, termasuk untuk gedung berpenyejuk udara. Tak sembarang orang bisa menyekolahkan anaknya di sini. Salah satu orang tua murid, Fany Habibie, 39 tahun, mengatakan harus membayar uang pangkal Rp 40 juta ditambah biaya bulanan pendidikan Rp 1,2 juta dan transportasi antar-jemput Rp 300 ribu per bulan saat memasukkan anaknya, Keisha Castanie Habibie, 6 tahun, di SD Nurul Fikri tahun lalu. "Di kantong, ya, terasa juga. Tapi pendidikan kan investasi," kata Fany. Ia memilih Nurul Fikri karena dekat dengan rumahnya di Kelapa Dua Residence dan kualitas sekolahnya terjamin.

Sekolah berbasis Islam lainnya, dengan biaya lebih murah, juga menjanjikan siswa hafal beberapa juz Al-Quran. Yayasan Darul Abidin Depok, yang membawahkan taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, mematok uang pangkal Rp 9 juta untuk TK, Rp 29 juta (SD), dan Rp 23 juta (SMP). Pihak sekolah mengklaim itu sebanding dengan fasilitas yang disediakan. "Ruang kelas kami ber-AC, lalu ada kolam renang, olahraga memanah, dan gelanggang olahraga," ucap Febiola, juru bicara Darul Abidin.

Sekolah berbiaya lebih mahal juga laku. Sekolah Menengah Pertama Insan Cendekia Madani Tangerang Selatan, misalnya, yang mengadopsi konsep boarding school. Sekolah ini mematok uang pangkal Rp 130 juta untuk SMP dan biaya bulanan pendidikan Rp 7,1 juta per anak. Lulusan SMP yang melanjutkan ke SMA Insan Cendekia kembali diminta membayar uang pangkal Rp 78 juta. "Masih ada 20 kursi kosong untuk SMA," kata Kepala SMA Insan Cendekia Madani, Muhammad Ramdani, Senin pekan lalu. Sudah ada 200 siswa yang mendaftar di SMP dan SMA milik politikus senior PKS, Tamsil Linrung, itu.

Sekolah seperti ini tak hanya menyeleksi siswa dari kualitas otaknya dan ketebalan kantong orang tua. Yayasan Ummul Quro Bogor, misalnya, melibatkan psikolog. Ketua Departemen Pendidikan Ummul Quro, Shinta, mengatakan hal itu dilakukan untuk mendapatkan siswa bermutu dan orang tuanya juga berkomitmen mendukung anaknya belajar di sekolah itu. "Agar lulusannya mampu bersaing dengan sekolah favorit lainnya," ujar Shinta, seraya menambahkan bahwa biaya masuk SD dipatok Rp 18 juta. Yayasan ini dipimpin politikus PKS, Suswono.

Setiap dua bulan, Ummul Quro mengundang orang tua membahas perkembangan anaknya, dari hal akademis, perilaku, hingga pendidikan agama. Itu pula yang dirasakan Fajar Nur Sahid, mantan Manajer Proyek Indeks Demokrasi Indonesia United Nations Development Programme. Satu anaknya kini belajar di SMPIT Ummul Quro. "Sejauh ini, proses pendidikan enggak ada yang ganjil. Mereka akomodatif," kata Fajar, yang memilih sekolah ini karena kualitasnya sudah teruji baik pelajaran agama maupun umum.

Untuk memperkuat posisi, sekolah Islam terpadu membentuk Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia pada 2003. Awalnya hanya ada empat sekolah, termasuk Nurul Fikri dan Ummul Quro, pada awal 1990-an. Kini tercatat ada 3.000 sekolah Islam terpadu di seluruh Indonesia. Yang terafiliasi dengan jaringan ini 2.317 sekolah dengan sekitar 970 ribu siswa dan 80 ribu guru. "Kami targetkan di setiap kecamatan ada satu SDIT dan tiap desa ada satu TKIT," ucap Ketua Umum Jaringan Sekolah Islam Terpadu Sukro Muhab.

Soal biaya mahal, Sukro mengibaratkannya dengan orang berbelanja. "Kalau Anda belanja di minimarket, dapat barangnya itu-itu saja. Kalau di supermarket dapatnya banyak kan karena belanjanya juga banyak," ujarnya.


Nurul Fikri menyediakan guru tahfid, yang berbeda dengan guru kelas dan guru pelajaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus