Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agama di Ruang Publik

PADA mulanya iman itu bersifat sangat privat, sangat pribadi.

20 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Agama di Ruang Publik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya iman itu bersifat sangat privat, sangat pribadi. Tapi, karena pesan iman menganjurkan agar mengajak orang lain berbuat baik serta berbagi pengalaman dan keyakinan beragama, setiap agama pada dasarnya adalah sebuah gerakan misionaris dengan cara dan semangat yang berbeda-beda. Sifat agama selalu ingin mengisi dan tampil di ruang publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara normatif-preskriptif, makin rajin seseorang mengikuti berbagai kegiatan keagamaan, semestinya makin saleh seseorang itu secara sosial, menjadi insan terpuji dan penebar kasih Tuhan, buah dari iman dan ilmunya. Tapi sebagian penceramah agama cenderung tak menekankan itu. Bagi mereka, fungsi ritual yang utama itu ada dua: untuk mengejar pahala sebagai tabungan akhirat dan penghapus dosa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendekatan keberagamaan semacam ini bisa membuat moral sosial lembek, tidak melahirkan gairah menjadikan Islam sebagai sumber dan pilar peradaban. Ritual hanya menjadi semacam institusi penebusan dosa. Yang juga cukup fenomenal di negeri ini adalah maraknya remaja dan media sosial dalam mengisi ruang publik dengan narasi dan simbol-simbol keagamaan. Sebagian menjalani agama dengan fun, santai, dan penuh canda, sebagian lagi senang dengan narasi keagamaan yang bernada keras, penuh kosakata ancaman, seperti "bidah", "sesat", dan "neraka".

Pendekatan Islam yang kaku, ideologis, dan hiper-tekstualis telah menggerus ekspresi keberagamaan di Nusantara, yang dulu dikenal toleran dan tidak senang berkonflik. Islam yang tumbuh di Indonesia awalnya adalah Islam yang datang dengan damai dan rileks. Kemudian terjadi akulturasi dengan budaya setempat sehingga berbagai tradisi dan simbol lokal "diislamkan", misalnya wayang, beduk, dan sejumlah kegiatan seni dan budaya di daerah. Maka muncul ekspresi budaya Islam dengan warna Nusantara yang kental.

Dalam hal berpakaian, dulu istri kiai hampir tak ada yang mengenakan tutup kepala dengan rapat seperti sekarang. Para kiai pun tidak memakai pakaian Arab. Pada 1974, ketika saya masuk kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ciputat, mahasiswi umumnya tidak menutup kepala secara rapat. Jadi baru belakangan ini terdapat fenomena yang mencolok dalam kegiatan agama.

Fenomena itu meliputi, pertama, pengaruh budaya Arab yang kian berkembang, termasuk menguatnya paham keagamaan yang tekstual-skripturalis. Kedua, kekerasan di Timur Tengah berimbas ke Indonesia dengan munculnya kelompok yang mengusung jargon jihad, khilafah, takfiri, dan syahid dengan bom bunuh diri. Ketiga, politisasi dan kapitalisasi emosi keberagamaan dalam kontestasi politik. Keempat, maraknya dakwah agama di media sosial dan munculnya mubalig baru yang tiba-tiba populer, seolah-olah selebritas keagamaan.

Kegairahan anak muda beragama di perkotaan didorong pencarian untuk menemukan identitas diri dan pegangan hidup ketika suasana global dan nasional dianggap tidak memberikan rasa aman dan nyaman. Maraknya ceramah agama di ruang publik dan media sosial menambah gegap-gempita narasi keagamaan populer serta membuat orang malas membaca buku yang tebal dan berat.

Sebagian dari mereka cenderung eksklusif, tidak lagi ramah terhadap perbedaan. Ketika menyangkut aspirasi politik, keberislaman yang semestinya menjadi sumber rahmat dan kebahagiaan bagi semua makhluk-tidak hanya dirasakan umat Islam-justru dilumuri caci-maki dan kebencian. Ini sebuah sikap keberagamaan yang kurang percaya diri, yang mungkin keluar dari perasaan kalah dalam panggung persaingan nasional dan global serta wawasan keagamaan yang sempit.

Dari semua itu, fenomena yang tidak pernah terjadi sebelumnya adalah berdakwah melalui YouTube dan Facebook. Saya sendiri bersama sekelompok teman Ciputat bereksperimen menyelenggarakan forum diskusi live streaming seputar isu politik, sosial, dan keagamaan, yang kami beri nama KLS (Komunitas Lingkar Semanggi), dengan hashtag The Voice of Islam Indonesia. Pemirsa bisa menyimaknya melalui akun Facebook Komaruddin Hidayat.

Sejak memulainya pada 22 April 2018, kami sudah memasuki seri keenam. Hasilnya jauh melebihi dugaan kami. Yang membuka Facebook kami rata-rata 7.000 pemirsa. Jumlah itu terus bertambah. Dari Facebook, kami kemudian memformat rekamannya untuk ditayangkan di YouTube.

Berdakwah lewat media sosial sangat praktis dan murah. Bayangkan sulitnya menghadirkan seratus orang untuk mendengarkan diskusi ilmiah dengan tema serta pembahasan yang serius dan akademis di sebuah tempat atau gedung. Tentu saja, ini juga membutuhkan tenaga dan biaya yang mahal. Tapi, melalui live streaming, dengan modal utama telepon seluler, tripod, mikrofon clip on, serta pembicara yang sudah punya reputasi, ongkosnya sangat murah dan jangkauannya bisa mencapai ribuan pemirsa di dalam dan luar negeri.

Semula kami menargetkan jumlah pemirsa cukup di bawah seribu karena tema dan pendekatan terhadap isu-isu yang dibahas sangat akademis, historis-empiris. Pendeknya sangat segmented. Misalnya, temanya mengenalkan bagaimana tradisi keilmuan Barat mempelajari sosok Muhammad dan Al-Quran, yang berlangsung sangat dinamis, liberal, dan historis. Ini sulit disampaikan begitu saja di ruang publik karena bisa-bisa jemaah terguncang paham dan imannya. Tapi ini perlu dikenalkan kepada masyarakat Indonesia agar tertantang secara ilmiah dan tidak kagetan lalu marah-marah kepada orang yang berbeda pandangan.

Dari eksperimentasi itu, kami punya kesan kuat bahwa ada lapisan sosial yang menginginkan kajian agama yang lebih kritis-dialogis dan terbuka, tidak monolog. Ibarat jenjang kuliah, mereka membutuhkan materi sajian setingkat mahasiswa S-3 atau bahkan post-doc. Di sini faktor kualitas penceramah menjadi sangat penting. Sesungguhnya dakwah melalui live streaming sudah dilakukan banyak orang, tapi yang mampu menarik pemirsa tidaklah banyak.

Yang fenomenal tentu saja UAS alias Ustad Abdul Somad, yang jumlah pemirsanya berlimpah. Tapi eksperimentasi Ulil Abshar Abdalla dengan program mengaji kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali dan Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd juga cukup berhasil. Kedua kitab tersebut diharapkan mampu menghubungkan pemirsa dengan khazanah Islam klasik yang amat kaya, mendalam, dan terbuka, bukan sekadar sajian populer yang biasanya berupa copy-paste lewat WhatsApp yang skripturalistik.

Saat ini, informasi ilmu pengetahuan, termasuk studi agama, tidak dibatasi hanya di dalam ruang kelas. Bahkan narasumber yang lebih berbobot lebih mudah dijumpai di media sosial. Kalau dunia perguruan tinggi tidak mengubah diri dan tidak mengantisipasi perkembangan dan ledakan informasi keilmuan di luar kampus, jangan-jangan yang diharapkan mahasiswa hanyalah sekadar titel kesarjanaan. Lalu untuk apa negara membelanjakan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk pendidikan?

Komaruddin Hidayat
Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus