Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEKNOLOGI mengubah cara berdakwah. Para dai tak lagi mengandalkan panggung besar, atau mengumpulkan massa di lapangan luas, untuk berceramah tentang agama. Mereka memakai media sosial, yang punya jangkauan lebih luas, karena lebih cocok dengan kebiasaan orang zaman sekarang, yang akrab dengan gawai dan terkoneksi dengan Internet. Dan, sesungguhnya, memakai media untuk berdakwah sudah sejak dulu dilakukan para penyiar agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wali Songo memakai wayang, yang akrab dengan masyarakat. Jika ditarik ke masa yang lebih modern, ada Rhoma Irama, yang memakai musik untuk menyebarkan ajaran Islam pada 1980-an. Majalah Tempo merekamnya dalam artikel edisi 30 Juni 1984 berjudul "Satria Berdakwah, Raja dari Bawah". Artikel tersebut menceritakan konser besar si raja dangdut ini pada November 1983 di Stadion Utama Senayan, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pergelaran Pensi 83 itu dihadiri ribuan orang. Massa bertempik-sorak dan berteriak karena Rhoma, di panggung itu, memakai dramaturgi yang mengesankan. Panggung gelap, lalu lampu menyala dengan Rhoma berdiri mengucap salam dengan cengkok dangdutnya yang khas.
Gelegar massa pun pecah bagai huru-hara. Tapi tak lama. Serta-merta sang megabintang mengangkat kedua tangannya, dan stadion pun senyap. Pertunjukan dimulai: setelah mengutip ayat-ayat Al-Quran dalam kata pengantar yang singkat, sang raja berdendang.
Daya tarik Rhoma, agaknya, terutama diberikan oleh kekuatannya dalam merangsang dan menggerakkan lewat melodi yang mengalun tapi energetik dan populer dengan sebutan dangdut itu. Suara Rhoma pun sangat dikenal: tidak merdu, tidak pula kasar seperti suara penyanyi rock, tapi cenderung panas atau gelisah dengan gelombang kecil-kecil yang merayu, melantunkan kejujuran dan, entah bagaimana, bayangan kesengsaraan.
Kelebihan Rhoma dibanding yang lain ialah ia tidak hanya menyanyikan lagu-lagu cinta dan berbagai impian "masyarakat bawah"-konsumennya yang paling besar. Ia juga melagukan keinginan-keinginan atau "aspirasi" mereka. Bahkan sikap politik Rhoma, yang memilih mengkampanyekan Partai Persatuan Pembangunan, lebih terasa sebagai perwujudan sikapnya yang bulat untuk "bangkit dari bawah" atau mewakili lapisan itu.
Di situ jugalah faktor agama dalam musiknya tidak menjadi hal yang aneh. Nasihat budi pekerti, anjuran beribadah, petuah agar bersikap adil, juga dalam pengertian sosial, yang semuanya kemudian menjadi lebih jelas bersosok sebagai ajaran agama dengan dibacakannya ayat Al-Quran dalam pengantar atau dinyanyikan sebagai saduran, dalam dunia musik rakyat ternyata tidak mengejutkan bisa berada di jalan yang juga ditempuh lagu-lagu cinta, mimpi duniawi, dan roman-romanan.
Bukan Rhoma yang memulai tradisi ini. Syair-syair lisan di kalangan muslim, termasuk yang dibawakan sebagian grup dendang atau kasidah, umumnya dikarang begitu bebas-dengan melodi yang sekaligus dianggap cocok buat khayalan cinta dan nasihat keagamaan. Kelebihan Rhoma adalah, dari latar belakang yang langsung atau tak langsung, ia telah meneguhkan sebuah tradisi yang samar-samar ke sebuah perwujudan baru yang "otonom", sebuah "musik dangdut dakwah" atau "musik agama versi dangdut". Dan ini musik modern. Di samping itu, sebelum Rhoma, sudah muncul cukup banyak seniman yang mengambil ilham dari agama atau yang secara lebih terang-terangan berdakwah lewat seni: sastrawan, pelukis, penyanyi, orang teater. Di dunia yang paling dekat dengan Rhoma ada grup Bimbo, selain kelompok-kelompok kasidah yang timbul-tenggelam.
Tapi memang harus dikatakan bahwa Rhoma-lah orang terpenting yang berdakwah lewat musik secara benar-benar massal-mengingat jumlah konsumennya yang memang paling besar. Penggemar raja dangdut ini bisa diperkirakan berjumlah 15 juta orang, bahkan mungkin lebih.
Tak mengherankan bila teriakannya disambut antusias, salamnya dijawab dengan gemuruh, doanya diaminkan, dan dakwahnya mendapat tempat. Rhoma Irama, tokoh yang tak pernah bisa ditangkap wajahnya lewat layar TVRI itu, bukan hanya seorang penyanyi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo