Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIMINTA menganalisis kanal Tafaqquh Video di YouTube pada Januari lalu, Gustiranda Mopili terperanjat melihat hasilnya. Kanal resmi video ceramah Abdul Somad Batubara itu telah menayangkan lebih dari seribu video yang ditonton lebih dari 60 juta kali. Ditambah video Somad yang diunggah pihak lain, angkanya 90 juta kali. Ribuan video itu rata-rata ditonton selama 13 menit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi Tafaqquh hanya meraup belasan juta rupiah per bulan dari iklan. Dengan data performa itu, menurut Gustiranda, Tafaqquh berhak mendapat lebih. "Ustad Somad semestinya bisa mendapat Rp 300-400 juta sebulan. Itu bukan masalah besar buat dia," kata Gustiranda, Kamis dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gustiranda makin terkejut karena Alfa Records, label rekaman yang digandeng Tafaqquh untuk mengelola video Somad, tak mengetahui potensi pendapatan Somad dari YouTube. Padahal Somad menggantungkan anggaran dakwah dan operasional pesantrennya di sana. "Bayangkan usaha mereka untuk memproduksi video-video tersebut, tapi hanya mendapat belasan juta. Padahal untuk kepentingan dakwah," ujar Gustiranda.
Alfa Records kemudian mengontrak perusahaan Gustiranda, Indonesia Digital Entertainment (IDE), sejak Februari lalu, untuk mengoptimalkan kanal video Somad. Kini Alfa memahami cara memetik untung dari YouTube. Menurut Head of Digital Alfa Records Asep Nugraha, setidaknya ada dua cara yang jamak diterapkan.
Pertama, menyematkan iklan pada video yang diunggah. Karena YouTube bagian dari jaringan Google, iklan berbayar diraup lewat Google AdSense. Semua kanal di YouTube yang menggunakan AdSense berhak menerima pendapatan dari iklan sebesar 68 persen. Tapi, untuk bisa menerapkan AdSense, kanal tersebut harus mengumpulkan 4.000 jam waktu tonton dan 1.000 pelanggan lebih dulu. Sebagai gambaran, Somad sudah memiliki 430 ribu pelanggan dan 139 juta menit waktu tonton dalam waktu tiga bulan.
Adapun nilai pendapatan dari iklan mengacu pada cost per mille (CPM). CPM berarti pendapatan per 1.000 impresi. Impresi adalah ukuran berapa kali dan berapa lama sebuah iklan ditonton. Contohnya, bila video dengan 10 juta penonton memiliki iklan yang ditonton 50 ribu kali, video itu disebut mendapatkan 50 ribu impresi.
Menurut Asep, nilai CPM untuk wilayah Indonesia antara US$ 0,25 dan US$ 1 per 1.000 impresi. "Pada saat Ramadan, bisa naik jadi US$ 2 per 1.000 impresi," ujar Asep. Ia menuturkan, nilai CPM ditentukan pengiklan, bukan Somad.
Jika Somad hanya mengandalkan AdSense, menurut Asep, pendapatannya Rp 15-20 juta per bulan. Ini karena pendapatan itu hanya berasal dari impresi di satu kanal. Asep enggan membuka berapa impresi kanal Somad per bulan. "Itu data internal," katanya.
Untuk menggemukkan keuntungan, cara kedua harus diterapkan, yakni memberi label hak cipta pada konten yang diunggah. Kanal Somad juga memakai cara ini. Menurut Asep, mereka menarik semua pendapatan iklan dari konten Somad yang diunggah ulang oleh pihak lain tanpa izin dan menurunkan konten tersebut dari YouTube.
Somad, yang berdakwah di YouTube sejak 17 Maret 2012, baru memasang hak cipta pada Februari lalu, ketika Tafaqquh meneken kontrak dengan Alfa Records. Berdasarkan peraturan YouTube, yang berhak mengelola hak cipta adalah yang memproduksi konten sendiri, seperti rumah produksi dan label rekaman.
Pemasangan hak cipta itu dilatari keluhan Somad bahwa video dakwahnya kerap dipotong-potong pihak lain dan diunggah ulang dengan judul provokatif, sementara dia tak mendapat keuntungan sepeser pun dari video tersebut. "Ustad Somad sudah mencoba lapor ke YouTube, tapi tak bisa apa-apa. Tafaqquh kemudian meminta tolong kami untuk melindungi hak ciptanya," ujar Asep.
Perwakilan Tafaqquh, Nawir Qulubana, tak bersedia menjelaskan lebih jauh soal pengelolaan video Somad. "Maaf, kami belum bisa (berkomentar)," ujarnya. Tapi pemilik IDE, Gustiranda Mopili, mengatakan sebagian besar keuntungan Somad berasal dari pelanggar hak cipta, yang jumlahnya bisa mencapai 4.000 per hari. Ini membuat Somad setidaknya bisa menangguk Rp 300-400 juta per bulan.
Antara Tablig dan Monetisasi
Dari 4.000 video pelanggar hak cipta dalam sehari, tim Somad meminta YouTube menutup sekitar 400 video. "Karena melanggar copyright dan berbau fitnah," kata Gustiranda. Menurut Gustiranda, pihak lain sebenarnya boleh mengunggah video Somad ke YouTube dan mengambil untung. Syaratnya adalah meminta izin lebih dulu kepada pemegang hak ciptanya.
Strategi AdSense dan hak cipta juga diterapkan Hanan Attaki, pemilik kanal Pemuda Hijrah sejak September 2017. Apalagi kanal dan hak cipta konten Hanan juga dikelola Alfa Records sejak tahun lalu.
Direktur Kreatif Gerakan Pemuda Hijrah Shift Fani Krismandar mengakui YouTube memberikan keuntungan finansial yang lumayan bagi Hanan. Apalagi jika videonya menarik sehingga tak sulit mendapatkan impresi besar. Tapi Fani enggan mengungkapkan nilai pendapatan Hanan. "Kami juga belum menggarap monetisasi YouTube secara serius karena sumber dayanya terbatas," ujarnya.
Hanan juga tak berkomentar tentang pendapatannya. Ia hanya mengatakan penggunaan YouTube efektif untuk menarik minat jemaah muda. "Jumlah viewer hampir sama dengan yang datang ke kajian, 6.000-7.000 orang," ujarnya. Pada saat mengisi kajian, Hanan dibayar Rp 10-20 juta.
Khalid Basalamah, yang dibantu perusahaan jaringan multikanal, Digital Rantai Maya (DRM), menerapkan cara serupa. Menurut Kepala YouTubers Acquisition & Talent Development DRM Faisal Nurachman, pihak Khalid menyadari kelebihan strategi hak cipta untuk memperoleh profit.
Walau begitu, Faisal tak mengungkapkan pendapatan Khalid yang bergabung ke YouTube sejak Februari 2013 itu. Ia hanya menyebutkan uang yang diperoleh dari YouTube saat ini lebih dari cukup untuk membiayai dakwah ustad asal Makassar itu.
Malah, menurut Faisal, keuntungan Khalid masih bisa berkembang. Sebab, ada pasar yang belum banyak digarap, yaitu pasar luar negeri. Pasar luar negeri tergolong menjanjikan karena nilai iklannya dua kali lipat Indonesia. Singapura, misalnya, menerapkan nilai CPM US$ 4 per 1.000 impresi. "Sudah kami sampaikan kepada Pak Khalid," ujar Faisal. Khalid, ketika dimintai komentar perihal profit dari YouTube, mengatakan tidak mendapat keuntungan apa pun.
Menurut penghitungan SocialBlade, situs pemantau performa media sosial, pendapatan kanal Khalid ditengarai Rp 6,8-108 juta per bulan. Angka itu bisa berubah-ubah bergantung pada variabel nilai CPM yang digunakan.
Potensi keuntungan yang lumayan membuat perusahaan label rekaman, agregator, hingga jaringan multikanal getol mencari penerus Somad cs. IDE, misalnya, sedang menganalisis kanal-kanal ustad yang belum punya nama. Adapun DRM berniat menambah jumlah ustad yang dikelolanya selain Khalid Basalamah. "Ke depannya, akan makin banyak ustad di YouTube," kata Faisal.
Istman M.P., Rusman Paraqbueq, Anwar Siswadi (Bandung)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo