BANYAK cara untuk merayakan hari kasih sayang, Valentine Day. Pelajar SMA 3 Padang, misalnya. Mereka tak berpesta hura-hura, tetapi cukup dengan long march dari Bukittinggi ke Danau Maninjau. Masing-masing tak sulit memperoleh izin dari orangtuanya. Izin dari sekolah? Ah, itu tak perlu. "Kami pergi atas nama kelompok pencinta alam," kata Ferry, salah seorang pelajar. Sabtu sore pertengahan Februari lalu, rombongan berkumpul di terminal Lintas Andalas Padang. Perjalanan panjang pun dimulai. Mula-mula mereka naik bis ke daerah Padang Luar, Bukittinggi. Setelah istirahat sebentar, para siswa berjalan kaki di malam hari ke Maninjau. Menjelang subuh mereka tiba di Embun Pagi, sebuah kawasan wisata terkenal di Maninjau. Pukul 09.00, mereka kembali ke Padang sembari membawa kenangan. Dan inilah kenangan yang masih membekas sampai kini. Kepala sekolah memanggil semua murid yang ikut long march itu. Karena bolos? Tidak, kegiatan itu kan berlangsung Sabtu sore sampai Minggu malam, jadi pada saat libur. Pak Kepala Sekolah tampaknya tak suka kegiatan tadi, apalagi tanpa ada izin. "Kalian tidak boleh masuk kelas sebelum orangtua kalian ke sini," kata Sjamsoeddin Djamil, kepala sekolah itu. "Berani-beraninya kalian melakukan long march tanpa izin sekolah. Apa saja yang kalian lakukan di daerah dingin seperti Embun Pagi itu?" Belum sempat anak-anak itu menjawab, Pak Djamil sudah menambahkan, "Saya meragukan kesucian kalian, terutama yang wanita. Kalau perlu, harus divisum dulu sebelum masuk sekolah lagi". Ini bukan gertak sambal gaya Padang. Para siswa itu langsung kena skors. Jumlahnya 28 orang. Mereka tidak diizinkan belajar terhitung dari tanggal 14 hingga 2 Fehruari. Bila orangtua siswa tidak datang sampai batas skors, Sjamsoeddin Djamil tak segan-segan menjatuhkan hukuman yang lebih berat. "Akan saya pecat," katanya, waktu itu. Berbondong-bondong orangtua murid datang ke sekolah. Ternyata, orangtua tetap diwajibkan membawa visum keperawanan anaknya. Repot. Apalagi mencari visum jenis itu sulit sekali di Padang. Konon, pihak rumah sakit hanya mau memeriksa dan memberikan visum kalau ada permintaan dari pihak kepolisian. Nah, berabe. Untunglah, Adnan Rahman, Koordinator Administrasi Kanwil P dan K Sumatera Barat, turun tangan. Soal visum itu ternyata bukan harga mati. Yang penting ada janji dari orangtua murid untuk mengawasi tingkah laku anaknya. "Visum itu hanya untuk tes mental anak dan orangtuanya," kata Adnan. Kenapa, sih, urusan long march sampai memerlukan visum? Ini jawab Sjamsoeddin: "Wanita ibarat gelas. Berapa pun harganya, tak akan berarti kalau sudah retak." Masih tetap tak jelas. Kecurigaan berlebihan justru bisa membuat gelas itu retak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini