Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Allah adalah 'kendaraan'

Setelah hidup, manusia menempuh kehidupan di alam kubur dan akhirat. kesadaran hanyalah bagian kecil karunia allah. tubuh butuh salat, karena lahir dari firman, kun fayakun. melayang tanpa tujuan.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA sudah telanjur jadi manusia. Apa boleh buat. Pengembaraan dengan sendirinya terus dilanjutkan, mau tidak mau. Setelah hidup kita di dunia ini berakhir, konon, kita masih menempuh penghidupan di dua alam lagi: alam kubur dan alam akhirat. Seperti juga di alam roh dan alam rahim, kita juga tak kenal alam kubur dan alam akhirat, karena memang kita belum pernah menginjak tempat itu. Tampaknya, setiap orang sedang menempuh suatu perjalanan yang spektakuler, disadari atau tidak, dan tak ada jalan lain tempat kita mencoba menyeleweng. Suatu pengembaraan keniscayaan. Hanya di alam dunia inilah kita sadar. Sadar betulkah kita? Manusia yang merugi -- seperti selalu disindirkan oleh Allah agaknya membayang-bayangi sepak-terjang kita. Hingga kita menjadi tidak sadar betul dalam menempuh kehidupan ini. Sampai Allah perlu berkali-kali menurunkan para nabi-Nya berikut kitab-kitab suci-Nya, untuk menerangjelaskan, untuk menjadikan manusia sadar. Kesadaran rupanya hanya sebagian kecil karunia dari seluruh kehendak Allah. Manakah yang lebih berguna, kesadaran atau ketidaksadaran. Jika ketidaksadaran mengantarkan Surga (sebagaimana keadaan Adam sebelum memakan buah yang diberikan Hawa), lalu kesadaran mengantar kita ke suatu pertanyaan yang mendasar. Seperti apa Allah Sang Pencipta adalah gumam yang hampir setiap saat muncul bagi orang yang suka bertanya. Apakah Allah semacam Pribadi yang duduk mencangkung di atas Arasj? Atau apakah Allah semacam zat asam yang keluar masuk paru-paru kita? Sebelum habis pertanyaan di benak kita, selalu saja muncul jawaban: "Bukan itu," siapa pun yang menjawabnya. "Bukan itu" barangkali jawaban yang paling ampuh yang sudah sewajarnya kita terima, untuk mengingatkan bahwa Allah yang jelas terhampar, kita tak perlu berpikir yang bukan-bukan. Wujud Allah adalah Kepastian, yang dapat mengantar hamba-Nya, ke mana pun yang dikehendaki-Nya. Semacam kendaraan. Allah sebagai "kendaraan" tak lain adalah di dalam-Nya kita dapat menikmati keselamatan perjalanan-Nya. Dengan hidayah-Nya. Agaknya tidak ada jalan yang menghubungkan hamba dengan Allah kecuali jika Tuhan berkenan turun tangan. Jalan inilah yang dicoba dibangun oleh kelompok tarekat. Di atas jalan itulah kelompok tarekat menebarkan impiannya. Dan itu sah saja. Yang payah adalah sejumlah guru tarekat yang sudah menjadi berhala. Kemunduran umat -- lahir batin -- sedikit banyak karena ulah guru tarekat yang suka mengklaim sebagai pimpinan Dinas Perkaplingan Surga (meminjam olok-olok yang dilontarkan oleh Mustofa Bisri, seorang kiai dari Rembang yang mengkritik para guru tarekat yang sok tahu itu). Guru-guru ini, pada puncaknya, memborong buku yang mengkritiknya, bukan untuk dibagi-bagikan kepada murid-muridnya, melainkan dibakarnya. Melihat itu semua, keguruan tarekat, sebagai lembaga, saya usulkan untuk membubarkan diri, secara suka-rela. Dengan demikian kelompok tarekat ini tidak mengenal guru-murid lagi. Kemudian yang muncul adalah kelompok diskusi tarekat. Dalam kelompok baru ini, semua anggota sama kedudukannya: belajar bersama, memahami bersama "olah gerak" Allah Yang Mahakuasa, tanpa mengurangi sedikit pun rasa hormat kepada para guru sejati yang sungguh-sungguh bekerja demi Tuhan. Setiap anggota kelompok berhak berbicara dan mengadakan penilaian, bebas mengemukakan pendapat, sebebas ia berbicara di rumahnya masing-masing. Di rumah ia bisa nerocos ketika sudah mampu, misalnya, mengatasi suatu krisis: "Saya sudah mendapat petunjuk Tuhan ...." Atau: "Kemarin saya diperingatkan Tuhan ...." Mengapa pengertian-pengertian semacam ini -- bahwa setiap orang merasa dapat berhubungan langsung dengan Tuhan -- tidak dikembangkan di dalam kelompok tarekat? Salat kita sebagai sebuah lembaga sudah merupakan landasan yang kuat untuk digunakan sebagai metode kelompok tarekat. Salat adalah mi'raj kita, suatu proses untuk bertemu Allah, meskipun itu lima kali sehari. Seandainya "kita" merasa sebagaimana Allah -- tidak membutuhkan salat itu, namun tidak demikian dengan tubuh kita. Tubuh kita yang daging ini kelihatannya sangat membutuhkan salat, karena ia lahir dari firman, Kun! Fayakun ingin bergaul dengan firman (salat) pula. Penyatuan kembali "kata-kata-kata" yang sudah mendaging itu mempererat hubungan dengan Sang Pencipta, yang sering ngejawantah sebagai "Aku lebih dekat daripada urat lehermu", memberi penegasan betapa hubungan langsung orang per orang dengan Tuhan merupakan dalil yang tak terbantah. Sujud kita lima kali sehari kepada Lahan Yang Maha Takterbatas menjadikan penglihatan kita terang bahwa kelompok-kelompok tarekat juga dapat jenuh. Meski rasa jenuh itu baik, ia perlu didobrak lewat ketiadaan guru-murid. Begitulah, orang tidak merasa lagi sebagai guru yang berkewajiban membimbing terus, kapan seorang anggota dapat dikedepankan. Orang tidak lagi merasa menjadi murid abadi, yang selalu harus menunduk, meski hanya untuk bersalat pada waktunya. Kelompok diskusi tarekat begini tidak perlu punya tempat. Ia dapat meminjam tempat, misalnya, kepada Paramadina, pimpinan Nurcholish Madjid, atau Pusat Pengembangan Kebudayaan UGM, pimpinan Umar Kayam. Justru di tempat begini, kelompok tarekat menjadi bebas dari pamrih maupun prasangka, dapat menjaring peminat lebih luas, termasuk masyarakat intelektual. Orang pandai yang diminta jadi pelatih tidak merasa jadi guru, dan orang yang berlatih tidak merasa jadi murid. Mereka datang -- sebagai peminat, atau yang cuma ingin tahu, atau hanya ingin melemparkan unek-unek -- dapat berdiskusi, berdikir, dan setelah selesai lalu bubar kembali, tanpa terikat apa-apa. Kesimpulan ini tampak begitu sederhana dan dapat dianggap absurd. Usulan ini pasti secepatnya akan ditangkis: kelompok tarekat tanpa guru, betapa murid-murid bakal tersesat. Jangan khawatir, betapa pun tersesat kita, jika karena mencintai Allah, barang tentu suatu ketersesatan yang tidak mungkin dibiarkan oleh Allah. Siapa yang dirinya diperuntukkan bagi Allah, maka Allah pun diperuntukkan baginya. Allah adalah satu-satunya kendaraan yang dapat mengantarkan kita ke tempat pertemuan-Nya. Konon, jika kendaraan itu tak ada, itu isyarat bahwa bumi maupun langit menolak kita. Lantas kita bakal melayang-layang, tanpa tujuan, menjadi telur amun-amun, gelembung busa yang antara tampak dan tak tampak. Tarekat akan berarti jika ia selalu mengingatkan, seperti bunyi "persyaratan" mistik, bahwa beberapa orang pilihan saja yang mampu mencapai bukit terjauh tempat tinggal burung mistik, Simurg -- untuk memahami bahwa mereka itu hanya mencapai apa yang telah ada di dalam diri mereka sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus