Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agar Sama-sama Untung

Banyak keluhan dari dokter dan rumah sakit swasta terhadap pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Kesalahpahaman kerap menjadi masalahnya.

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang dokter di rumah sakit swasta di Jakarta Selatan mengeluh. Dua minggu lalu, seorang ibu yang akan melahirkan di rumah sakit itu terpaksa dilimpahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Perempuan yang awalnya diperkirakan melahirkan normal itu ternyata harus melahirkan dengan cara caesar. "Bayinya sungsang, dan HB (hemoglobin) ibunya rendah, di bawah 5," kata dokter yang tak mau namanya disebut itu.

Pemindahan tersebut dilakukan bukan karena rumah sakit swasta itu tidak sanggup menangani sang pasien. Operasi caesar bukanlah hal yang terlalu pelik untuk mereka. Masalahnya, pasien itu pemegang kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tarif melahirkan caesar di rumah sakit swasta tersebut-sesuai dengan yang ditetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang mengelola JKN-hanyalah Rp 4,5 juta. Tarif itu sudah mencakup semua pelayanan, dari jasa medis, obat, sampai fasilitas penunjang kesehatan lain, seperti kantong darah.

Persoalannya, ibu dari rumah sakit swasta itu punya kondisi khusus. "Ibu itu, karena HB-nya rendah, harus mendapat transfusi darah lebih dari sembilan kantong," ujar sang dokter. "Harga satu kantong darah bisa mencapai Rp 1,5 juta." Artinya, ada kelebihan Rp 9 juta dari tarif yang ditetapkan BPJS Kesehatan. "Siapa yang mau menanggung semua beban itu?" kata dokter tersebut.

Minimnya paket pembiayaan dari BPJS merupakan salah satu hal yang dikeluhkan dokter atau rumah sakit dari penerapan JKN. Paket ini disebut Ina-CBGs (Indonesia Case Base Groups). Adapun arti case base groups adalah cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. BPJS Kesehatan tidak menentukan plafon (batas atas pembiayaan), yang detailnya bisa ditentukan sendiri oleh dokter atau rumah sakit. Dengan sistem paket, semuanya sudah dipastikan.

Masalahnya, menurut sejumlah dokter, tarif Ina-CBGs untuk beberapa pengobatan primer, terutama dalam penanganan penyakit kronis, dianggap terlalu kecil. Para penyedia pelayanan kesehatan melihat paket Ina-CBGs hanya mengedepankan prinsip minim biaya dan mengesampingkan mutu yang baik.

Prasetyo Widhi Buwono, spesialis penyakit dalam yang tergabung dalam Pengurus Besar Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, memberi contoh pasien kanker yang membutuhkan kemoterapi. Dalam kemoterapi, pasien menggunakan obat yang disebut Folfox, yang harganya Rp 4 juta per paket. Agar kemoterapinya tuntas, pasien membutuhkan empat kali pengobatan itu. Artinya, untuk menuntaskan pengobatan kanker, seorang pasien membutuhkan Rp 16 juta. Namun BPJS Kesehatan menetapkan tarif kemoterapi sebesar Rp 4 juta. Kekurangan itu bisa ditutupi dana pribadi pasien. "Tapi pasien yang tidak memiliki dana bagaimana? Padahal pasien sudah menjalani dua kali kemoterapi," ujar Prasetyo dalam diskusi di kantor Tempo sebulan lalu.

Keluhan ini ditampik Direktur Utama BPJS Fahmi Idris. Menurut dia, jika prosedur dijalankan dengan benar, tidak akan ada kekurangan pembiayaan. "Berdasarkan verifikasi dari Kementerian Kesehatan, hampir 90 persen rumah sakit justru surplus. Yang defisit hanya 4 persen," kata Fahmi.

Bila prosedur pengobatan sudah dilakukan dengan benar tapi masih ada kekurangan yang dialami rumah sakit, BPJS menyediakan paket untuk menaikkan pembiayaan yang disebut Special Casemix Main Group. Paket ini disediakan untuk kasus-kasus yang membutuhkan tindakan spesial. "Tapi ada syaratnya, harus dicek dulu perilaku kontrol pelayanan kesehatannya. Kalau sudah sesuai semua perilakunya, baru bisa mendapatkan top up itu," ujar Fahmi.

Hal lain yang dikeluhkan dokter adalah honor untuk dokter yang memberi pelayanan medis. Dari pasien yang tidak memakai JKN, dokter bisa mendapat penghasilan mulai puluhan ribu hingga lebih dari seratus ribu rupiah per pasien. Namun, dalam tarif Ina-CBGs, dokter hanya mendapat Rp 3.000-6.000 untuk puskesmas, Rp 8.000-10.000 untuk klinik pratama, praktek dokter, atau dokter praktek beserta jaringannya, dan Rp 2.000 buat praktek dokter gigi mandiri untuk satu orang peserta dalam satu bulan.

Menanggapi soal ini, Fahmi menegaskan, cara berpikir para dokter seharusnya mulai diubah dari fee for service menjadi pembayaran berdasarkan performa pelayanan untuk masyarakat. Jika dilihat sekilas, apa yang dibayarkan BPJS Kesehatan jauh lebih kecil. Namun penghasilan para dokter justru bisa lebih besar jika mampu menjaga kesehatan masyarakat, sehingga klaim tak perlu dibayarkan.

Di luar kedua hal di atas, masalah yang kerap dikeluhkan rumah sakit adalah soal verifikasi klaim. Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo-yang juga dokter spesialis obstetri dan ginekologi serta pemilik Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak Sadewa-mengungkapkan penerapan sistem Jaminan Sosial Kesehatan di lapangan masih berubah-ubah. Sistem yang berubah-ubah ini menyulitkan klaim rumah sakit. "Datanya harus bolak-balik direvisi, makan waktu. Ini kan menyebabkan tunggakan penggantian klaim," kata Hasto.

Proses verifikasi klaim dari rumah sakit swasta di daerah ke BPJS yang harus dilakukan secara sentralistis di Jakarta diakui juga menjadi masalah yang menyulitkan rumah sakit. "Misalnya, pelayanan kesehatan yang sudah diberikan rumah sakit tidak dapat diklaim ke BPJS karena tidak memenuhi syarat, jadi harus dikoreksi balik lagi ke daerah. Akibatnya jadi utang yang berkepanjangan. Ini melelahkan," ujar Hasto dua pekan lalu.

Fahmi mengakui banyak kebijakan yang berubah sebagai bentuk penyempurnaan sistem JKN. Kebijakan yang berubah-ubah ini sebenarnya bukan buat mempersulit rekanan BPJS, melainkan untuk memudahkan. Sebab, kebijakan yang masih sering berubah ini merupakan perwujudan dari umpan balik yang disampaikan rekanan kepada tim pengkaji BPJS. Ia mencontohkan sekaligus menjawab pernyataan yang mengatakan klaim rumah sakit di daerah agak sulit karena harus dilakukan di Jakarta.

"Sekarang untuk kapitasi (pembayaran pelayanan kesehatan per kapita) saja dananya sudah langsung dipegang bendahara puskesmas, dan ini ada dasar hukumnya, tidak lagi di dinas kesehatan atau di pemerintah pusat," kata Fahmi. Agar tidak mengalami kendala dalam proses verifikasi, klaim sebaiknya diajukan satu hari sebelum dana dicairkan. Sebab, proses verifikasi klaim harus dilakukan dalam waktu 15 hari.

Bila BPJS telat membayarkan klaim kepada rumah sakit rekanan, BPJS-lah yang akan dikenai denda oleh Kementerian Kesehatan. "Jadi bisa dibilang tidak ada rumah sakit yang tertunggak biaya pembayaran klaimnya," ujar Fahmi.

Meski begitu, ada beberapa rumah sakit yang tetap merasa diuntungkan dengan menjadi rekanan BPJS. Sebuah rumah sakit dapat memiliki cakupan pasien yang lebih banyak dengan menjadi rekanan BPJS. Cakupan pasien yang lebih banyak ini memiliki nilai promosi yang lebih besar kepada masyarakat. "Dengan begitu, popularitas sebuah rumah sakit menjadi lebih tinggi di masyarakat," kata Hasto.

Direktur Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dr Hananto Adriantoro mengungkapkan Harapan Kita mencapai angka surplus setelah menjadi rekanan BPJS. "Ini karena kami memiliki sistem verifikasi yang jelas dan langsung terkoneksi dengan BPJS, sehingga tidak ada proses berbelit-belit ketika mengklaim," ujar Hananto saat diwawancarai di ruang kerjanya. Sistem verifikasi yang jelas milik Harapan Kita, menurut Hananto, sudah dipersiapkan sejak 2013.

Harapan Kita memiliki sistem penggolongan penyakit beserta diagnosis dan cara penanganan (clinical pathway) yang sudah terdata dengan baik. Sistem ini juga terkoneksi secara online dengan data dasar yang ada di BPJS, sehingga mudah untuk mengklaim biaya yang sudah dikeluarkan. Rumah sakit itu juga sudah mempersiapkan sumber daya, baik dokter maupun tim administrasi, yang bekerja satu atap dengan petugas BPJS. Petugas ini sengaja didatangkan agar bila ada kesalahan verifikasi dalam diagnosis penyakit beserta penanganannya dapat langsung dikoreksi.

Harapan Kita bahkan sudah mempersiapkan pengadaan obat dan alat kesehatan melalui lelang terbatas. Kriteria yang dipilih adalah produsen obat yang sudah memiliki perusahaan induk di Indonesia. "Kalau belum ada, kami tidak mau, karena itu sama saja dengan membeli obat kepada calo. Harganya bisa berkali lipat," kata Hananto.

Harapan Kita juga menerapkan sistem pembayaran jasa medis yang berbeda dengan rumah sakit lain. Para dokter tidak lagi dibayar berdasarkan pelayanan (fee for service), tapi berdasarkan performa berjenjang dan pengalaman. "Jadi orientasi untuk kompensasi mereka adalah performa mereka terhadap kesembuhan pasien, sehingga dokter tidak bergerak sendiri-sendiri," ujar Hananto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus