Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Dahulu, Bongkar Pasang Kemudian

Pemerintah terlalu bersemangat menjalankan sistem Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan. Infrastruktur kesehatan belum memadai dan tarifnya dipermasalahkan. Sejumlah pemerintah daerah juga masih enggan bergabung.

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir setiap hari antrean panjang terlihat di loket apotek khusus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di lantai satu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kamar untuk rawat inap kelas III, yang jadi tempat utama bagi pasien BPJS Kesehatan, pun selalu penuh. Beberapa orang akhirnya memutuskan pindah ke rumah sakit lain dengan risiko harus menanggung setidaknya separuh biaya. "Daripada menunggu seminggu tapi belum tentu dapat kamar, lebih baik saya pilih rumah sakit lain," kata Iskandar, warga Lampung, yang akhirnya memasukkan istrinya, yang batu ginjalnya harus segera dioperasi, ke Rumah Sakit Islam Jakarta, dua pekan lalu.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Prasetyo Widhi Buwono mengatakan, sejak Kartu Jakarta Sehat dulu diterapkan oleh pemerintah DKI Jakarta hingga kini, dilanjutkan dengan Jaminan Kesehatan Nasional, jumlah pasien di rumah sakit terus membeludak. Prasetyo mencontohkan RS Umum Daerah Pasar Rebo, Jakarta, yang hanya punya 4-5 dokter umum per hari tapi harus melayani hingga 600 pasien. "Satu dokter melayani 100 pasien itu biasa," kata Prasetyo pada awal April lalu. Padahal, menurut Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia ini, rasio yang ideal adalah dokter melayani 50 pasien per hari, sehingga dia bisa menangani satu pasien sekitar 10 menit. "Itu sudah termasuk aspek memberi pendidikan kepada pasien."

Sistem Jaminan Kesehatan Nasional mulai diterapkan pada 1 Januari 2014, yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan. Badan hukum ini sekaligus menggantikan PT Askes, yang resmi ditutup sejak badan itu berjalan. Badan ini juga menjadi wadah bagi semua peserta asuransi kesehatan pemerintah, seperti PT Askes, Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Jaminan Kesehatan Masyarakat, serta asuransi untuk anggota kepolisian dan tentara. Pemerintah daerah yang memiliki program jaminan sosial juga dapat bergabung ke BPJS, seperti program Kartu Jakarta Sehat. "BPJS Kesehatan memang hendak menyatukan semua jenis asuransi kesehatan pemerintah ke dalam satu jenis asuransi," kata Sri Endang Tidarwati, Direktur Kepesertaan dan Pemasaran BPJS Kesehatan, pada awal April lalu.

Bila sistem jaminan kesehatan ini berjalan, Sri menambahkan, tidak akan terjadi lagi penumpukan pasien di rumah sakit, seperti yang terjadi di RSCM, karena sebetulnya banyak jenis penyakit yang cukup ditangani di puskesmas atau klinik. Sistem Jaminan Kesehatan Nasional memang menitikberatkan layanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama atau primer, seperti pusat kesehatan masyarakat dan klinik dokter. Bila penyakitnya kronis atau jenis layanannya tak tersedia, barulah pasien dirujuk ke rumah sakit yang fasilitasnya lebih lengkap.

Untuk melancarkan jalannya sistem ini, pada akhir April lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah. Dana kapitasi adalah dana yang dibayarkan setiap bulan berdasarkan jumlah peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar di sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama. Besarnya beragam, tergantung kelengkapan fasilitasnya. Secara umum dana kapitasi adalah Rp 3.000-6.000 untuk puskesmas atau yang setara, Rp 8.000-10.000 untuk klinik atau praktek dokter, dan Rp 2.000 untuk praktek dokter gigi. Paket rawat inap per hari untuk puskesmas dan klinik adalah Rp 100 ribu dan pelayanan kesehatan kebidanan Rp 25-750 ribu.

Dana itu diberikan langsung tanpa memperhatikan jumlah kunjungan peserta, pemeriksaan, tindakan, obat, dan pelayanan medis lainnya. "Bila sebuah puskesmas melayani 10 ribu peserta dan dana kapitasinya Rp 6.000, puskesmas itu mendapat Rp 60 juta per bulan, tak peduli apakah peserta datang berobat atau tidak," kata Sri. Dengan sistem ini, Sri menambahkan, puskesmas atau klinik akan untung bila sedikit peserta yang sakit. Bila yang sakit hanya 5.000 orang, dana kapitasi yang keluar Rp 30 juta dan sisanya jadi pendapatan klinik itu setelah dikurangi biaya lain. "Ini mendorong dokter untuk mengedepankan pencegahan daripada pengobatan," kata dokter gigi lulusan Universitas Gadjah Mada ini.

Menurut aturan, puskesmas dan lembaga kesehatan setara harus mampu melayani 144 jenis penyakit, dari demam dan radang pita suara hingga HIV/AIDS dan kaki gajah. Dengan banyaknya jenis penyakit itu, puskesmas seharusnya punya fasilitas yang tak kalah dengan rumah sakit, seperti fasilitas kesehatan mata, gigi, dan kulit; fisioterapi; neurologi; laboratorium; serta rawat inap. Persoalannya, saat ini masih banyak puskesmas yang belum memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan seperti itu. Pada Maret lalu, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan masih ada 938 puskesmas atau 9,8 persen dari 9.599 puskesmas yang kekurangan atau bahkan tidak memiliki dokter akibat distribusi tenaga dokter yang belum merata. Selain itu, sepertiga puskesmas belum memiliki petugas kebersihan, sepertiga belum memiliki tenaga di bidang gizi, dan baru separuh yang punya analis laboratorium.

BPJS Kesehatan juga menjamin peserta yang memakai fasilitas layanan tingkat lanjut, seperti rumah sakit, bila dirujuk oleh puskesmas. Biaya rumah sakit ini ditanggung dengan sistem klaim berdasarkan Ina-CBGs (Indonesia Case Base Groups), yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Daftar obatnya mengacu pada Formularium Nasional, yang disusun Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional bentukan Kementerian Kesehatan, dan harganya merujuk pada katalog harga obat elektronik (e-catalogue), yang ditetapkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah setelah melalui pelelangan.

Prosedurnya, rumah sakit mengajukan klaim ke BPJS, yang kemudian dibayarkan setelah diverifikasi oleh badan itu. Perhitungan klaimnya berdasarkan sistem Ina-CBGs. Ini adalah sistem pembayaran yang berdasarkan "paket" diagnosis. Sistem ini mengelompokkan beberapa jenis penyakit yang relatif sama dan tindakan yang diberikan kepada pasien. Rumah sakit akan mendapat pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh pasien untuk kelompok diagnosis bersangkutan. Perkiraan lama perawatan juga sudah ditentukan. Sebelum ini, pembiayaan berdasarkan jumlah jasa (fee for service). Rumah sakit menarik ongkos dari pasien untuk setiap jenis layanan yang diberikan. Hal ini membuka kemungkinan moral hazard pada rumah sakit, karena tak ada perjanjian awal tentang standar biaya ataupun lama perawatan. Tentu ini suatu kemajuan karena pasien yang buta soal medis sekalipun akan mendapat layanan "standar".

Namun pembayaran dengan sistem Ina-CBGs bukannya tanpa masalah. Menurut Prasetyo, sistem Ina-CBGs memang dapat mengendalikan biaya, tapi mengorbankan mutu karena tarifnya rendah. Dia membandingkan perbedaan tarif untuk penyakit yang sama pada rumah sakit tipe A, seperti RSCM, dan rumah sakit tipe B, seperti RSUD Pasar Rebo. Tarif itu, misalnya, untuk kategori penyakit kronis kecil lain, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan tuberkulosis paru, untuk rawat jalan pasien di rumah sakit tipe B hanya dibayar sekitar Rp 155 ribu sebulan. Bila rumah sakit memakai Rp 100 ribu dari pembayaran itu untuk obat dan Rp 50 ribu untuk laboratoriumnya, pasien mendapat obat yang hanya cukup untuk tujuh hari. "Sehingga dalam sebulan pasien itu bisa datang empat kali (untuk mendapat obat)," katanya.

Sejumlah rumah sakit sempat keberatan ketika sistem ini diterapkan. Menteri Kesehatan pun buru-buru mengeluarkan surat edaran pada 15 Januari 2014, yang isinya mengatur agar pasien dapat mengambil obat untuk 23 hari berikutnya di instalasi farmasi rumah sakit atau apotek yang biayanya ditagihkan ke BPJS. Prasetyo membandingkan dengan tarif di rumah sakit tipe A, yang Rp 613 ribu sebulan. "Dengan dana sebesar itu, pasien tentu mendapat obat yang cukup untuk sebulan dan pemeriksaannya juga bisa lebih baik. Jadi, seharusnya disamakan saja tarifnya," ujarnya.

Perbedaan biaya yang terlalu besar ini, kata Prasetyo, berdampak pada perbedaan sikap rumah sakit. Misalnya, menurut dia, di suatu daerah ada rumah sakit tipe A dan B. Rumah sakit tipe B akan menilai bahwa dana Rp 155 ribu itu terlalu kecil untuk menutupi biayanya, sehingga langsung memberi rujukan ke rumah sakit tipe A. "Akibatnya, akan terjadi penumpukan di rumah sakit tipe A ini." Daftar Ina-CBGs memang menunjukkan kesenjangan tarif yang terlalu besar di antara dua jenis rumah sakit. Misalnya, tarif infeksi akut HIV pada rumah sakit tipe B sebesar Rp 216 ribu dan rumah sakit tipe A Rp 601 ribu, himatologi akut Rp 151 ribu dan Rp 601 ribu, serta kekacauan metabolik akut Rp 285 ribu dan Rp 1,1 juta.

Kementerian Kesehatan menyatakan sudah merevisi tarif untuk beberapa jenis penyakit itu, tapi hanya berlaku dalam jangka pendek buat mengantisipasi keluhan rumah sakit. Untuk jangka panjang, Kementerian akan menyusun tarif yang lebih matang. Namun, kata Prasetyo, persoalan kesenjangan tarif ini bersumber pada harga dasar rumah sakit (hospital base rate) yang menjadi komponen perkaliannya, sehingga rumah sakit besar akan memiliki harga dasar yang besar pula.

Persoalan lain yang mendesak, kata Prasetyo, adalah tak tersedianya sejumlah jenis obat dalam daftar yang ditetapkan pemerintah. Pasien diabetes melitus tipe I, misalnya, membutuhkan insulin. Tapi, karena puskesmas yang harus melayani jenis penyakit ini ternyata tak mendapat insulin, pasien harus membeli sendiri. Beberapa jasa spesialis penunjang juga tak masuk daftar Ina-CBGs, seperti ahli gizi klinik, patologi anatomi, patolologi klinis, parasitologi klinis, dan akupunktur medis. "Padahal seorang pasien yang dirawat di rumah sakit kan butuh gizi yang seimbang sesuai dengan penyakitnya dan itu ditentukan oleh ahli gizi klinik," ujarnya.

Meski ada kekurangan di sana-sini, sistem Jaminan Kesehatan Nasional terbukti besar manfaatnya bagi masyarakat. Dulu Jaminan Kesehatan Masyarakat hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu, sedangkan sistem baru ini memungkinkan orang yang berpenghasilan tak terlalu besar untuk jadi peserta dengan biaya yang rendah. Itu dialami Theodora Dyah Ayu Ratnaningsih, yang menderita Plummer's disease-kanker ganas di papiler kelenjar tiroid-sejak 2012. Hingga awal tahun lalu Theodora menghabiskan Rp 200 juta untuk berobat dan operasi. Pada pertengahan April lalu, dia mendaftar jadi peserta BPJS Kesehatan. Kini dia tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk perawatannya.

Toh, Prasetyo pada prinsipnya mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Untuk menjadi negara yang berkualitas, kata dokter ahli penyakit dalam dari Fakultas Kedokteran UI ini, sektor kesehatan harus dimajukan sehingga tercapai perlindungan kesehatan untuk semua warga negara. "Sehingga tidak ada lagi istilah 'sadikin' alias sakit sedikit jadi miskin, karena ketika orang sakit, dia harus menguras tabungan dan penghasilannya."

Masalahnya, belum semua orang dilindungi sistem ini. Pemerintah hanya menanggung iuran untuk 86,4 juta orang miskin dan tidak mampu. Sisanya, menurut Komite Aksi Jaminan Sosial, masih ada sekitar 10,3 juta orang. Kekurangan ini seharusnya ditutup dengan Jaminan Kesehatan Daerah, tapi tak semua pemerintah daerah mau bergabung dengan BPJS Kesehatan. Data BPJS Kesehatan menunjukkan baru 98 dari 511 kabupaten/kota di Indonesia yang bergabung ke BPJS Kesehatan. Masalah utamanya adalah besar anggaran kesehatan yang tersedia di daerah tersebut. Pemerintah Kota Surakarta, misalnya, enggan bergabung karena BPJS Kesehatan memakai sistem asuransi dengan iuran tetap, sedangkan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PMKS) yang mereka miliki berdasarkan tagihan dari pemberi layanan kesehatan.

Kota Surakarta tahun lalu, misalnya, menganggarkan Rp 21 miliar untuk PMKS, tapi hanya terserap Rp 10 miliar, sehingga sisanya kembali ke kas daerah. Bila PMKS menjadi BPJS Kesehatan, Surakarta harus membayar rutin Rp 6,3 miliar untuk 27 ribu orang miskin yang ditanggungnya. Ini belum termasuk pengeluaran untuk 233 ribu peserta PMKS yang tak termasuk miskin tapi tidak punya asuransi kesehatan.

Kendati masih bersimpang masalah, Sri tetap optimistis pada sistem BPJS Kesehatan. Lembaganya menargetkan tahun ini akan memiliki sekitar 245 juta peserta. Hingga April lalu, sudah 119,4 juta orang yang terdaftar, sehingga target tahun ini diperkirakan tercapai. "Mulai tahun depan Jaminan Kesehatan Daerah dan berbagai asuransi lain akan terintegrasi dengan BPJS Kesehatan, sehingga pada 2019 seluruh rakyat Indonesia akan dijamin kesehatannya," katanya.


Tim Liputan Khusus BPJS
Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto Kepala Proyek: Kurniawan Penyunting: Nugroho Dewanto, Qaris Tajudin, Kurniawan Penulis: Cheta Nilawaty, Isma Savitri, Kurniawan, Purwani Diyah Prabandari, Riky Ferdianto Penyumbang bahan: Sohirin, Ahmad Rafiq (Jawa Tengah), Iin Nurfahraini Dewi Putri (Sulawesi Selatan) Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian Desain: Rizal Zulfadli Periset foto: Jati Mahatmaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus