Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lepasnya Kartu Emas

Belum sampai seperlima kabupaten yang bergabung penuh dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Masalah keuangan dan data penduduk miskin alasannya.

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah Wahyuni terlihat pucat. Langkah perempuan 52 tahun ini gontai begitu turun dari becak di depan Balai Kota Surakarta. Ditemani anaknya, ia menuju loket pelayanan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu. Dia antre untuk mengurus kartu Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS). "Kartu yang lama habis masa berlakunya," kata warga Jebres, Surakarta, ini, Selasa dua pekan lalu.

Setelah menunggu sekitar dua jam, Wahyuni mendapatkan kartu barunya yang juga berkategori gold (emas). Artinya, semua biaya kesehatannya ditanggung Pemerintah Kota Surakarta.

Wahyuni sangat membutuhkan kartu tersebut. Penyakit ginjal membuatnya harus cuci darah setiap pekan. Suaminya yang seorang penjual wedangan tak mampu mengongkosi pengobatannya. Biaya sekali cuci darah saja sekitar Rp 800 ribu. Belum untuk membeli obat-obatan lainnya. "Kartu ini sangat menolong saya," ujarnya.

Wahyuni adalah satu dari 27 ribu warga miskin yang memiliki kartu emas itu. Di luar pemegang PKMS kategori gold, Pemerintah Kota Surakarta menanggung sekitar 230 ribu warga pemegang kartu PKMS kategori perak. Pemegang kartu ini bukan warga sangat miskin, karena itu hanya mendapat bantuan layanan kesehatan dengan plafon maksimal Rp 5 juta setahun.

Di Surakarta, kartu Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta masih berlaku. Dana untuk ongkos kesehatan para pemegang kartu PKMS yang merupakan warga miskin dan tak mampu tersebut berasal dari Pemerintah Kota dan sebagian dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Mereka belum diintegrasikan ke program Jaminan Kesehatan Nasional baru, yang mulai diberlakukan 1 Januari lalu.

"Kami belum siap," kata Wali Kota Surakarta F.X. Hadi Rudyatmo. "Kami harus berhitung, baik menghitung anggaran maupun baik dan buruknya dibanding PKMS."

Perhitungan yang rumit ini ada karena sejarah jaminan kesehatan sebelum 1 Januari 2014. Tahun lalu pemerintah pusat memiliki program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) guna memberi pelayanan kesehatan gratis kepada rakyat miskin. Namun tak semua warga terpayungi program ini. Yang tidak terpayungi kemudian mendapatkan Jaminan Kesehatan Daerah, yang di setiap daerah namanya berbeda-beda. Di Solo, Jaminan Kesehatan Daerah bernama PKMS.

Ketika Jamkesmas berubah menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), warga yang berada di bawah naungan Jaminan Kesehatan Daerah tidak ikut digabungkan ke sana. Tapi itu hanya soal waktu. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengamanahkan warga miskin dan tak mampu ke pemerintah, meski bisa bertahap.

Masalahnya, untuk memasukkan pemegang kartu PKMS ke JKN, yang memakai sistem asuransi, Surakarta setidaknya memerlukan anggaran sekitar Rp 6,3 miliar. Dana tersebut untuk membayar iuran atau premi 27 ribu pemegang kartu emas-setiap bulan setiap orang sebesar Rp 19.225. Angka tersebut di luar anggaran untuk tanggungan biaya kesehatan para pemegang kartu PKMS silver.

Surakarta bukan satu-satunya daerah yang belum mengalihkan penerima Jaminan Kesehatan Daerah ke JKN atau BPJS Kesehatan. Menurut Kepala Departemen Pemasaran dan Kepesertaan BPJS Divisi Regional 6 Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta, Maya Susanti, saat ini kantornya baru menerima migrasi Jaminan Kesehatan Daerah dari empat daerah. Keempatnya adalah Klaten, Kota Pekalongan, Kota Tegal, dan Jepara. Kabupaten Semarang akan menyusul bulan depan. Sisanya, 30 daerah, belum bergabung.

Hal ini, tentu saja, tidak hanya terjadi di Jawa Tengah. Data di BPJS Kesehatan menunjukkan belum ada seperlima dari 511 kabupaten/kota di Indonesia yang mengintegrasikan para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat mereka ke BPJS Kesehatan. "Baru 98 daerah," ucap Kepala Departemen Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Irfan Humaidi. Menurut Irfan, kendala utamanya adalah kemampuan keuangan daerah seperti di Surakarta.

Salah satu yang belum sepenuhnya bergabung, selain Surakarta, adalah Semarang. Saat ini, 166 ribu warga miskin menjadi tanggungan Jaminan Kesehatan Kota Semarang. Sedangkan 207 ribu warga miskin lainnya sudah masuk JKN, karena mereka sebelumnya adalah peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Belum bergabungnya 166 ribu warga miskin itu ke JKN, menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Widoyono, karena keuangan Pemerintah Kota Semarang belum cukup untuk proses tersebut. "Karena harus bayar premi tetap," katanya. Premi tetap ini harus dibayarkan meski pemegang kartu tidak menggunakannya, karena masih sehat. Sedangkan kalau dengan Jaminan Kesehatan Kota Semarang, pemerintah daerah hanya membayar saat klaim diajukan.

Maka kalau akan bermigrasi dan tidak ada perubahan jumlah warga miskin, Pemerintah Kota Semarang harus menganggarkan sekitar Rp 38,4 miliar untuk pembayaran iuran-sedikit lebih besar daripada biaya untuk program Jaminan Kesehatan Daerah sebesar Rp 35 miliar.

Selain soal tambahan dana, menurut Widoyono, ada kendala teknis soal data kependudukan. Ini terkait dengan verifikasi warga miskin dan warga tak mampu yang harus masuk daftar Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan di BPJS Kesehatan.

Verifikasi warga miskin dan warga tak mampu memang dilakukan ulang setelah jaminan kesehatan berpindah ke BPJS Kesehatan. Hal ini kerap menjadi kendala penggabungan karena, menurut Maya Susanti, terkadang ada masalah pada data peserta Jaminan Kesehatan Daerah. Misalnya ada nama satu orang yang sama tercatat beberapa kali. Juga ada warga yang sebenarnya mampu tapi masuk daftar peserta.

Daerah yang belum bergabung kini mempersiapkan diri mengintegrasikan program Jaminan Kesehatan Daerah ke Jaminan Kesehatan Nasional yang baru. Misalnya di Sulawesi Selatan, yang belum ada satu pun kabupaten atau kota yang menggabungkan peserta Jaminan Kesehatan Daerah ke BPJS Kesehatan.

Saat ini, menurut Kepala Seksi Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Rahmat Jaya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan baru mengeluarkan surat edaran agar kabupaten atau kota dapat memilah masyarakat yang tidak mampu yang akan menjadi penerima bantuan iuran jaminan kesehatan. Pembagian tanggung jawab dananya sama seperti program Jaminan Kesehatan Daerah, "Yakni 60 persen dari pemerintah kabupaten atau kota dan 40 persen dari pemerintah provinsi," ujarnya. Peserta Jaminan Kesehatan Daerah di Sulawesi Selatan tercatat 4,2 juta orang.

Untuk mempercepat pengintegrasian tersebut, BPJS Kesehatan mendekati berbagai pihak yang berkepentingan di daerah. Misalnya kepala daerah, sekretaris daerah, kepala dinas kesehatan, badan perencanaan pembangunan daerah, juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Targetnya, sesuai dengan peta yang sudah dibuat, "Pada 2016, semua daerah sudah bergabung," kata Irfan Humaidi.

Wali Kota Solo Hadi Rudyatmo berjanji segera mempersiapkan anggaran untuk merealisasinya. "Akan kami siapkan pada 2015," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus