Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI namanya saja penyakit yang diderita Theodora Dyah Ayu Ratnaningsih sejak 2012 ini sudah terdengar mengerikan: struma nodosa toxic atau Plummer's disease. Penyakit ini memang varian kanker ganas-empat macam sekaligus-yang bercokol di dalam papiler kelenjar tiroid dara 28 tahun itu dan terbilang langka. Tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang menangani Theo bahkan menyebut penyakit itu baru pertama kali terjadi di dunia.
Butuh waktu dua tahun bagi tim dokter memastikan diagnosis kanker yang menyerang bagian atas leher Theo. Selama itulah ia terus menjalani sederet tes kesehatan yang biayanya menguras kantong. Hingga awal tahun lalu, hampir Rp 200 juta sudah digelontorkan warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, itu untuk berobat dan sekali operasi.
Tak ayal, Theo pun pening memikirkan berapa banyak lagi duit yang bakal melayang untuk biaya operasi, ablasi, dan kemoterapi. Belum lagi tes laboratorium untuk endokrinologi, yang mesti rutin dijalani saban dua pekan sekali. Untuk rawat inap di RSCM Kencana, misalnya, dia mesti merogoh duit Rp 1,5 juta per malam. Sedangkan kontrol dokter menelan biaya Rp 400 ribu sekali pertemuan. "Karena akan operasi lagi, aku hampir tiap hari kini kontrol ke dokter," katanya Ahad dua pekan lalu.
Seorang kolega kemudian menyarankan Theo menjadi anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dengan harapan mendapat keringanan biaya pengobatan. Saran itu diikuti Theo pada pertengahan April lalu. Ia memilih setoran per bulan Rp 59.500 untuk layanan pengobatan kelas I gratis di rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Kartu anggota BPJS Kesehatan ternyata ampuh mengurangi sebagian beban pikiran Theo. Kini ia tak perlu mengeluarkan duit sepeser pun untuk berobat. Pun operasi keduanya nanti, yang diperkirakan menghabiskan biaya ratusan juta rupiah, bakal ditanggung pemerintah. "BPJS sangat membantuku," ujar Theo, yang dulu bekerja di sebuah bank pelat merah.
Tuah sakti kartu BPJS Kesehatan juga dirasakan Silhen. Saat ditemui Tempo di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional di Cawang, pertengahan bulan ini, pria 54 tahun asal Bukittinggi itu sedang dalam tahap pemulihan setelah menjalani operasi saraf tulang belakangnya yang terjepit. Rampung operasi dan keluar dari ruang perawatan intensif (ICU), Silhen dipindahkan ke kamar kelas II seluas 3 x 5 meter di rumah sakit pemerintah yang baru dibuka Februari tahun lalu.
Berbekal kartu BPJS, Silhen tak mengeluarkan biaya sedikit pun untuk operasi, pengobatan, dan rawat inap selama sepekan. Padahal, untuk kasus seperti itu, pasien biasanya mesti mengucurkan puluhan hingga ratusan juta rupiah, belum termasuk terapi pasca-operasi. Yang membuat Silhen bungah, pelayanan RS Pusat Otak Nasional dirasakannya sangat memuaskan.
"Sebentar-sebentar saya diperiksa dokter atau perawat. Dibanding dua operasi saya sebelumnya di tempat lain, saya merasa pelayanan di rumah sakit ini mendingan. Padahal saya sempat cemas tidak dilayani baik karena berobat dengan kartu BPJS Kesehatan," kata pria yang kali pertama menderita saraf terjepit pada 1989 ini.
Silhen semula berencana menjalani operasi di sebuah rumah sakit di Melaka, Malaysia, atau di RS Stroke Nasional Bukittinggi. Namun hal itu urung dilakukan setelah dokter keluarganya di RS M. Jamil, Padang, merujuknya menjalani operasi di RS Pusat Otak Nasional. Sesuai dengan ketentuan BPJS Kesehatan, pengobatan dengan dokter spesialis mesti berdasarkan rekomendasi dokter keluarga lebih dulu.
Per 6 Mei lalu, Silhen pun masuk RS Pusat Otak Nasional. Urusan administrasi di loket BPJS Kesehatan rumah sakit tersebut kelar tak sampai 30 menit. Setelah itu, ia mendapat kamar rawat inap kelas II, karena kamar kelas I penuh. Kendati membayar premi untuk pengobatan kelas I, Silhen tak mempersoalkannya. "Kamar kelas II di sini juga bagus, jadi tak ada masalah. Yang penting proses administrasi dengan BPJS Kesehatan di rumah sakit ini cepat," ujarnya.
Direktur RS Pusat Otak Nasional Mursyid Bustami menjelaskan, rumah sakitnya berada langsung di bawah Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan. Maka biaya operasional masih sepenuhnya ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Adapun status rumah sakit belum badan layanan umum sehingga semua pendapatan berstatus pendapatan negara bukan pajak.
Itu sebabnya, kata Mursyid, rumah sakitnya tak pernah mengalami seret klaim BPJS seperti terjadi di daerah lain. "Walau ongkos pengobatan saraf sangat tinggi dan peralatan di rumah sakit kami termasuk yang tercanggih di Indonesia, biaya berobat pasien BPJS ditanggulangi semua oleh pemerintah. Kadang memang kas rumah sakit tak mencukupi, tapi untungnya kami punya anggaran pro-subsidi," ucap dokter spesialis saraf itu, Ahad dua pekan lalu.
Biaya penanganan pasien yang menjalani operasi di RS Pusat Otak Nasional diperkirakan Mursyid mencapai puluhan juta rupiah. Dia menyebutkan biaya rawat di ICU per hari Rp 2,5-3 juta, belum termasuk obat. Sedangkan ongkos operasi diperkirakan Mursyid mencapai Rp 50 juta, tergantung jenis penyakit dan tingkat kesulitan pembedahan. "Tapi, dengan BPJS Kesehatan, semuanya gratis. Tidak ada pungutan apa pun."
Tiga bulan lalu, Silhen-yang sebelum ini selalu berobat menggunakan duit dari kocek pribadi-mendaftar BPJS di kantor Asuransi Kesehatan Bukittinggi. Fotokopi kartu keluarga dan kartu tanda penduduk serta foto pribadi berukuran 3 x 4 sentimeter dia serahkan sebagai syarat pendaftaran. Setelah itu, Silhen membayar premi Rp 59.500, karena memilih pengobatan kelas I. Proses administrasi tersebut berlangsung satu jam saja.
Adapun Theo sempat dua hari berturut-turut antre mendaftar di kantor BPJS Kesehatan Pancoran, Jakarta Selatan. "Aku putus asa karena antreannya selalu panjang meski sudah datang pagi pukul 10," ujarnya. Setelah mendapat informasi dari pusat layanan informasi BPJS bahwa bisa mendaftar di Internet, akhirnya dia "balik kanan" dan mendaftar via online.
Mendaftar BPJS Kesehatan via online, disebut Theo, jauh lebih mudah. Di situs BPJS, ia hanya perlu mendaftarkan nama, KTP, nomor pokok wajib pajak, alamat e-mail, dan nomor telepon seluler serta memilih status keanggotaan, apakah pribadi atau keluarga. Setelah itu, pembayaran premi dilakukan lewat transfer di anjungan tunai mandiri Bank Mandiri atau Bank Rakyat Indonesia. Rampung melunasi premi, Theo mesti kembali ke kantor BPJS untuk menyerahkan bukti setoran, formulir pendaftaran, dan foto ukuran 3 x 4 cm.
Di kantor BPJS Kesehatan, pendaftar online dilayani di loket khusus yang antreannya jauh lebih pendek. Walhasil, Theo pun beres mengurus pendaftaran tak lebih dari lima menit. "Mungkin selama ini sosialisasi pendaftaran online tidak gencar di masyarakat," ujarnya. Bisa pula, menurut dia, peminat BPJS adalah masyarakat kelas menengah ke bawah yang kurang mengenal Internet, jadi tak banyak yang antre di loket khusus.
Setelah kartu BPJS Kesehatan di tangan, Theo tak bisa langsung berobat di dokter yang biasa menanganinya di RSCM Kencana. Ia mesti lebih dulu meminta surat pengantar dari dokter puskesmas di dekat tempat tinggalnya. Setelah melihat surat itu, dokternya di RSCM akan memberi tanggapan apakah Theo mesti rawat jalan, operasi, atau tidak perlu pengobatan lagi. "Saya mesti berobat ke RSCM karena memang di sana fasilitas penanganan penyakit saya tersedia lengkap," tuturnya.
Namun keampuhan kartu BPJS Kesehatan tak terlalu dirasakan Choirul Bariah, 53 tahun. Operasi usus buntu putranya, Akhsanul Yasril Ihza, 16 tahun, di RS Telogorejo, Semarang, awal Mei lalu, tak sampai seperempatnya ditanggung pemerintah. Padahal Akhsanul terdaftar sebagai pasien kelas I BPJS. Dari total biaya operasi dan pengobatan sebesar Rp 28 juta, hanya Rp 5 juta yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Choirul sudah menyampaikan protes ke pegawai BPJS Kesehatan di RS swasta tersebut. Namun penjelasan yang diterimanya tak memuaskan. Kata si pegawai, BPJS hanya menanggung biaya pengobatan hingga Jumat, yang berarti ongkos operasi pada akhir pekan tak masuk cakupan. "Sepertinya implementasi BPJS baru bagus di pusat (Jakarta) saja. Di daerah masih amburadul."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo