Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Aids dan dukun voodoo

Richard Selzer, seorang dokter AS, datang ke Haiti untuk menyelidiki dari rumah sakit hingga tempat pelacuran, untuk mengetahui penyebaran AIDS disana. Ia menuliskan pengalamannya di majalah life.

27 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT itu jam 10 malam ketika kami tiba di Copacabana, sebuah pusat pelacuran kumuh di Jalan Dessalines di distrik lampu merah Port-au-Prince, ibu kota Tahiti. Pemandu saya adalah seorang pemuda Tahiti- bernama Jean-Bernard, yang biasa dipanggil JB. Seperti umumnya anak muda Tahiti, dia pertama kali datang ke sana ketika berumur 14 tahun. Yakni, 10 tahun lalu, untuk dibaptis sebagai remaja oleh salah seorang saudara sepupunya. Sejak turun dari mobil, kami sudah ditawari oleh setengah lusinan pria dan wanita. Tapi kami jalan terus memasuki sebuah bangunan dan berakhir di sebuah ruangan penuh ukiran berlantai batu. Kamar-kamar para pelacur berada di sekelilingnya. Ruang itu nyaris gelap-gulita. kendati diterangi oleh lampu merah-ungu. Hanya deretan gigi-gigi putih yang tampak, sementara musik berirama Latin berdentam keras. Di luar deburan ombak Laut Karibia terdengar. Sekitar 20 pria duduk membelakangi tembok. Sementara perempuan-perempuan berpakaian gemerlap, sendirian, berdua. atau bertiga, mondar-mandir merayu penghuni setiap meja. Beberapa menit kemudian, tiga wanita muda berkulit agak terang mendatangi meja kami. Mereka sangat cantik, muda, dan bergairah. Sebut saja nama mereka Carmen, Mercedes. dan Frasquita. "Saya mau yang tua," kata Frasquita sembari mengelus rambut saya. Mereka lalu tertawa lebar. Lalu Mercedes buka suara, "Jangan tergoda untuk melihat yang lainnya, kamilah yang tercantik." " Kami hanya mau ngobrol," jawab saya, yang langsung dijawab dengan nada terkejut. "Oh, masisi, Anda masisi." Itu adalah istilah ejekan dalam bahasa Creole yang berarti homoseksual. Kalau kita hanya mau ngobrol, kita pasti homo. JB memesan bir dan rokok. Dan memberi US$ 10 kepada setiap wanita. "Kamu berasal dari mana?" ujar saya memulai pembicaraan. "Kami berasal dari Dominika." "Apa kalian rindu kampung halaman?" "Oh, ya, tentu saja. Negeri kami adalah yang tercantik di dunia. Tak ada negeri seperti Dominika." " Kenapa kalian tidak bekerja di sana? Kenapa datang ke Haiti?" "Di Santo Domingo (ibu kota Dominika) sudah terlalu banyak pelacur. Semuanya cantik seperti kami dan berkulit terang. Orang Tahiti suka tidur dengan perempuan berkulit terang." "Kenapa begitu?" "Orang kulit putih punya semua, kekuatan dan uang. Maka, orang-orang hitam bisa membayangkan diri mereka seperti orang kulit putih ketika meniduri kami." Waktu hampir menunjukkan pukul 11 malam, sementara ruangan masih saja kosong. "Kok tidak tambah ramai?" kata saya. "Ini masih terlalu pagi," jawab Frasquita. "Mungkin banyak pria yang takut sakit." "Maksud saya sakit AIDS," kata Carmen. Ia melanjutkan bicara sembari bibirnya mencibir, "Sebenarnya itu cuma omong kosong. Itu adalah penyakit bikin-bikinan pemerintah Amerika, untuk mengeruk keuntungan dari negeri-negeri miskin. Presiden Amerika 'kan membenci rakyat miskin, maka sekarang ia menggembar-gemborkan AIDS supaya bisa mengambil (secuil kekayaan) yang kami miliki." Rekan Carmen yang lain mengangguk penuh semangat. "Mira, Manisku. Lihat, Sayang," kata Carmen lagi. "Suatu hari polisi datang ke sini. Brengsek deh percaya nggak, mereka mengumpulkan 105 orang dari kami dan memeriksa darah kami (untuk mendeteksi AIDS). Itu terjadi setahun yang lampau. Tapi, lihat, tidak seorang pun dari kami mati. Kami semua masih di sini. Mira, kita tidur dengan segala laki-laki dan kita tidak sakit, ya nggak?" "Tapi tidakkah beberapa dari kalian diserang diare dan jadi kurus?" "Satu dua saja. Itu karena mereka tidak makan. Itulah sebabnya mereka lemah." "Hanya laki-laki yang mati," tutur Mercedes. "Mereka berhenti makan, maka matilah mereka. Tapi wanita, sih, sulit mati." "Apa kalian cukup makan?" "O, ya. Jangan kuatir, kami cukup makan. Kami makan seperti layaknya orang miskin, pokoknya kami makan." Tiba-tiba Frasquita menjerit. Ia menunjuk seekor tikus yang keluar dari kolong meja. "Hii, sebesar babi." Kemudian mereka terbahak ramai. Sepi sejenak. Saya berikan 10 dolaran lagi. "Banyak laki-laki di sini yang biseks?" "Terlalu banyak. Itu dilakukan demi uang. Sesudah itu mereka datang kepada kami." Carmen menyalakan rokok kemudian melihat ke bawah. Ia melipat-lipat kembali sapu tangannya. Lalu bermain sulap-sulapan. Mendadak dikibaskannya sapu tangan itu, seolah hendak menemukan kartu As. "Carmen," kata saya, "jika kamu tahu kamu mengidap AIDS, artinya darahmu buruk, apakah kamu masih tetap akan tidur dengan laki-laki?" Dengan kasar ia memutar kepalanya, dan terkekeh. Ia lalu berdiri, yang lain mengikutinya. "Sialan. Kamu laki-laki keji," katanya. Lalu, dengan kalem ia bilang, "Kamu bloon, tidak tahu apa-apa." "Kamu membunuh pria-pria Haiti," ujar saya. "Tiap orang saling membunuh yang lainnya," jawabnya. "Jangan pergi," kataku. "Duduklah sebentar." Sekali lagi saya meraih dompet di saku. Tapi mereka sudah berlalu, pergi bersama sinar yang ada di ruangan. Mercedes dan Carmen duduk di seberang meja tempat tiga laki-laki yang menunggunya sejak tadi. Frasquita mondar-mandir di ruangan. Diiringi musik, ia seolah berjoget sendiri, menjentik-jentikkan jemarinya, dan bernyanyi pelan sendirian. Tengah malam Copacabana semakin penuh. Kini suasananya sama dengan klub malam lain, tempat lelaki dan perempuan mencari buruan. Kami bangkit berdiri. Di tengah ruangan, saya lihat dua sejoli asyik berjoget. Keduanya seolah menunggangi musik dalam entakan-entakan penuh gairah seks. Saya lihat prianya terengah-engah, berkeringat, basah. Tiba-tiba, ia jatuh. Ia lalu duduk kembali di kursi. Perempuannya mendekat, merayunya, mengolok-oloknya, tapi ia tetap tak beranjak. Seorang lelaki membawa tongkat mengkilat menghadang saya. "Saya ikut dengan Anda?" ia bertanya kepada saya. "Saat yang indah. Sepuluh dolar? Lima?" * * * Saya diundang oleh Dokter Jean William Pape, direktur Klinik AIDS. Dari luar tempat itu benar-benar tak kentara sebagai rumah sakit. Di dalamnya terbagi atas ruang-ruang kecil yang dihubungkan dengan sebuah koridor berliku-liku. Jam sembilan pagi ruang tunggu sudah penuh sesak oleh pasien. Satu-satunya suara yang terdengar adalah rintihan tertahan diselingi dengan batuk-batuk. Giliran seorang pasien pria pria berusia 27 tahun bernama Miracle masuk. Dia berjalan gontai, seperti seorang petinju yang sudah grogi yang menurunkan kedua lengannya untuk menunggu pukulan terakhir. Dia berpakaian rapi dan bertopi wol. Ketika topinya dibuka, rambutnya tipis, kemerah-merahan, dan lurus. Kulitnya juga dipenuhi dengan bercak-bercak merah yang sangat gatal. "Itu adalah salah satu tanda pengidap AIDS di Haiti," kata Pape kepada saya. Selama pemeriksaan dan wawancara, dia terus menggaruk tubuhnya pelan-pelan, dan sulit diajak bicara. Gejala lain para pengidap AIDS di Haiti, mereka terserang diare selama enam bulan. Suara gemerutuk di dadanya dari embun TBC bisa terdengar tanpa stetoskop. Dia seperti tangki air bocor yang penuh gelembung-gelembung udara dan busa. Ringkasnya, dia sudah kepayahan. "Anda tinggal di mana?" tanya saya. "Kenscoff, sebuah desa dekat Port-au-Prince. Saya datang naik tap-tap (bis kota berukuran kecil, yang sering dihias secara berlebihan dengan slogan-slogan keagamaan, ikon, bunga, binatang). Setelah itu Miracle disuruh pulang dan diminta datang lagi sebulan kemudian. Dia dibekali sebuah resep untuk menyuplai Sera. "Mangke kou bef (Sampai jumpa lagi, dalam bahasa Creole). Makanlah seperti sapi jantan," ujar Dr Pape. "Mungkinkah Miracle bisa datang lagi?" tanya saya kepada Pape. "Tidak," jawabnya pasti. Pasien berikut seorang wanita berusia 26 tahun. Ketika masuk dia meletakkan tangan kanannya di kening seperti memberi hormat gaya militer. Sebenarnya dia melindungi matanya dari cahaya. "Sekarang Anda akan melihat sesuatu yang cantik luar biasa," ujar Pape, yang lalu meminta wanita itu merendahkan tangannya. Sebuah pemandangan mengerikan langsung tersaji. Mata kanan wanita itu mencuat keluar karena didorong oleh sebongkah tumor, hasil produk samping AIDS. Ketika dia menengok, tampak bongkahan tumor lainnya tampak menggelantung di lehernya. Penderitaan wanita itu dimulai dua tahun lalu ketika menerima trantusi darah di sebuah bank darah (bank itu kini sudah ditutup). "Dapatkah Anda mengobati saya?" ujar wanita itu. "Tidak." "Dapatkah Anda memotongnya?" "Tidak." "Apakah ada pengobatan radiasi?" "Tidak." " Chemotherapy?" Pape lalu menengok pada saya dengan wajah sedih. Dia datang karena tak ada tempat lain lagi. "Apa yang akan dia lakukan?" tanya saya. "Besok atau lusa dia akan mendaki gunung untuk mencari pengobatan dari para houngan, pendeta voodoo, seperti yang dilakukan nenek moyangnya 200 tahun lalu," jawab Pape. Praktek hari itu selesai sampai pada pasien AIDS ke-36. "Anda berada dalam lingkungan berisiko tinggi di sini - TBC dan infeksi lainnya,"' ujar Pape pada saya. Lalu kami berangkat ke sebuah pegunungan di atas Port-au-Prince. Meskipun matahari bercahaya cerah, daerah pedesaan yang kami lewati tampak sayu. Anak-anak sekolah yang berpapasan dengan kami berteriak, minta sesuatu. Tujuan kami rumah sakit Misi Baptis, yang banyak melaporkan kasus-kasus AIDS. Ketika kami tiba, di sana sudah bergerombol para pasien di pintu masuk. Berbeda dengan keadaan di luar. Rumah sakit itu seperti kantung produksi, penuh dengan pohon buah-buahan. Selain itu bangunannya juga tampak bersih dan mengkilap. Menurut dokter kepala, tahun lalu mereka hanya menemukan 10 kasus AIDS, dan belakangan sudah menyusut tinggal 5 kasus. "Mengapa bisa begitu?" tanya kami. "Karena kami tidak mengizinkan mereka datang," jawabnya. "Kenapa?" "Kalau dibiarkan, kami hanya mengurusi AIDS di sini. Jadi, kami minta mereka pergi saja." "Ke mana para pasien AIDS pergi?" "Sebagian ke rumah sakit di Port-au-Prince atau rumah sakit umum di kota-kota. Sisanya menunggu ajal di rumah atau pergi ke dukun voodoo." "Apakah mereka tahu AIDS?" "Ya, mereka sangat tahu, dan mereka juga tahu bahwa penyakit itu tak tersembuhkan." Kami menuju ke kantor seorang pastor Amerika yang mengepalai rumah sakit itu. Dia tinggi, ganteng, dengan senyum keagamaan. "Voodo adalah setan sebenarnya di sini," ujarnya, memulai segala serapahnya kepada kepercayaan tradisional itu. "Itu agama setan, sebuah kanker di Tahiti. Voodo lebih buruk dari AIDS dan juga penyebab munculnya epidemi AIDS. Tahukah Anda, seorang pria yang mau jadi houngan harus melakukan sodomi dengan pria lain? Dan tak hanya itu. Para houngan akan meminta calon houngan untuk melakukan hal sama pada diri mereka untuk menenteramkan roh. Jadi, mereka meritualkan homoseksualitas. Karena itulah AIDS tersebar." Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke rumah sakit umum di jantung kota Port-au Prince, yang keadaannya sangat bertolak belakang dengan rumah sakit yang baru kami kunjungi. Penuh sesak, ribut, dan semua staf terdiri atas anak-anak muda setempat. Ini rumah sakit universitas. Kami diajak berkeliling oleh Joceline. Setiap tempat tidur di tiga ruang besar penuh diisi pasien. Di lantai banyak keluarga pasien bergeletakan. Di sebuah koridor yang merangkap ruang perawatan darurat tergeletak seseorang yang sedang mendapat infus. Dia boleh dibilang sudah seperti mayat. "Berapa pasien AIDS yang Anda temukan di sini?" "Tiga atau empat penderita per hari. Kami kirim mereka kembali ke rumah. Kadangkala keluarga mereka mengasingkannya, dan mau tak mau kami mesti menerimanya kembali. Tiap hari keluarga mereka membesuk, untuk melihat apakah penderita sudah meninggal. Maksudnya, mereka hendak mengambil tubuh jenazah, karena itu penting bagi mereka. Truk-truk datang satu dua kali sepekan, mengangkuti mayat. Banyak dari yang mati adalah anak-anak. Mereka dimakamkan di pekuburan masal." Sebenarnya, homoseksualitas tabu terbesar di Haiti, karena itu tidak satu pria pun akan mengaki perbuatan itu. Sedangkan biseksualitas, memang umum. Banyak pria beristri akan mencari pria lain, seperti juga banyak perempuan berorientasi heteroseksual pergi mencari pria lain untuk main seks. Lebih jauh, banyak sekali, jika tidak seluruhnya pria Haiti pergi ke tempat-tempat pelacuran dari waktu ke waktu. Maka, tidaklah sulit untuk melihat bagaimana virus AIDS menyebar secara mudah pada kedua jenis kelamin di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus