Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERNYATA, wabah AIDS yang menakutkan itu tak seperti yang dibayangkan delapan tahun lalu. AIDS bukan "wabah hitam", tulis International Herald Tribune, pekan lalu. Ternyata. satu ledakan wabah yang menyerang seluruh umat manusia - setidaknya menyerang Amerika Serikat seperti dibayangkan ketika AIDS sedang ramai-ramainya dibicarakan, tak terjadi. Data-data di AS di awal tahun ini menunjukkan berhentinya wabah itu. Survei yang dilakukan di kalangan kaum homo oleh berbagai pihak menemukan bahwa penderita AIDS tak bertambah banyak. Toh, Otis R. Bowen, Menteri Kesehatan dan Pelayanan kemanusiaan AS, di samping kini agak lega karena perkembangan AIDS tak selaju yang ia duga, ia masih memperingatkan agar kemungkinan penularan AIDS tetap dijaga. Bisa jadi kesungguhan orang-orang Amerika (dan mungkin juga orang-orang sedunia) menanggulangi AIDS membuat perkembangan penyakit gawat ini terbatasi. Berubahnya sikap kebanyakan orang Amerika untuk hanya berhubungan dengan seorang tertentu memang serius. Bahkan si jagoan 007 James Bond dari Inggris pun di tahun lalu hanya punya seorang teman cewek. Padahal, biasanya agen rahasia itu selalu tak melepaskan tiap kesempatan untuk kencan. Memang, akhirnya Gedung Putih pun bangkit memberi komando perlawanan tak kenal menyerah. Sejumlah milyuner mengumpulkan dana guna membiayai penelitian penyakit yang diketahui mewabah sejak awal 1980. Bintang yang belum pudar juga itu, Elizabeth Taylor, umpamanya, menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk riset tentang AIDS. Awal tahun lalu, hampir di semua negara yang telah terserang AIDS, dengan serius dikampanyekan penggunaan kondom - di Jepang. Inggris, apalagi AS. Menteri Pendidikan AS sendiri, William Bennet, tahun lalu pun memerintahkan agar kampanye pemakaian kondom digiatkan di sekolah-sekolah juga. Di AS. Februari 1987 boleh dibilang bulan kondom. Ketika itu hampir semua orang, semua lembaga, terlibat kampanye kondom. Jaringan televisi, sekolah, toko seks. Sejumlah orang membentuk lembaga yang disebut HERO, menyebarkan kondom secara gratis kepada mereka yang tak mampu. Lalu di sekolah-sekolah menengah didemonstrasikan cara memakai alat pencegah penularan penyakit lewat hubungan seks tersebut. Mei 1987, untuk pertama kalinya Presiden Ronald Reagan bicara tentang AIDS di hadapan umum. Ia berbicara tentang HIV - Human Immunodeficiency Virus, yang selama ini dianggap sebagai biangnya wabah - di hadapan para penyumbang dana buat riset AIDS atas undangan nenek cemerlang Elizabeth Taylor. Sejumlah penemuan obat baru yang diduga bisa melawan AIDS muncul di sana-sini. Dari yang tradisional dan berbau takhyul sampai yang ilmiah yang muncul dari laboratorium. Sementara itu, penelitian di AS menemukan hal-hal yang detail. Misalnya, pihak perempuan ternyata lebih mudah dijangkiti AIDS lewat hubungan seks. Bahwa 40% dari kasus AIDS di AS diderita oleh kaum kulit hitam dan orang Hispanik. Lalu, belum 5 bulan yang lalu ditemukan bahwa penderita AIDS terbesar ternyata bukan kaum homoseksual. Tetapi mereka yang kecanduan obat bius. Sejumlah buku pun terbit. Dari seluk-beluk dan petunjuk menghindarkan AIDS, sampai buku-buku yang bercerita tentang pengalaman mereka yang menunggu kematian karena AIDS. Wabah ini pun lalu jadi bisnis, karena dilaporkan semua penerbitan tentang AIDS laris di AS. Bahkan kemudian ada penjualan dan lelang lukisan bertemakan "Seni Rupa Melawan AIDS", dan terkumpullah US$ 2,5 juta dari lukisan-lukisan itu. Sementara itu, sampai akhir tahun lalu lembaga yang didirikan oleh Elizabeth Taylor, Elizabeth Taylor's American Foundation for AIDS Research namanya, sudah mendapatkan sumbangan dari berbagai pihak berjumlah US$ 8,5 juta. Namun, di samping kabar yang mencerminkan betapa umat manusia merasa satu, merasa sepenanggungan dalam melawan wabah AIDS, muncul pula kenyataan yang tak enak. Terbetik berita bahwa di Australia anak-anak yang menderita dikucilkan, tak boleh masuk sekolah, para tetangga melarang anak-anak mereka bergaul dengan anak penderita itu. Itu sebabnya para ahli di Amerika dengan gencar menyatakan bahwa anak-anak yang menderita AIDS tak perlu dikucilkan, bila memang masih kuat belajar. Di Kota Swansea, Massachusetts, di sebuah sekolah, 700 orangtua mendengarkan dengan ragu uraian seorang dokter yang diundang, bahwa mereka tak perlu melarang seorang anak perempuan berusia 13 tahun masuk sekolah karena ia terkena AIDS. Pertemuan yang berlangsung tiga jam itu diadakan oleh pimpinan sekolah yang yakin bahwa murid yang menderita tak akan menularkan penyakitnya, sementara para orangtua protes agar si anak penderita dikeluarkan. Lucunya, sejumlah dokter di Amerika lalu tak mau menerima pasien pengidap AIDS, meski si pasien cuma hendak memeriksakan kesehatan telinganya, misalnya. Padahal menurut para ahli, penularan AIDS dari pergaulan sehari-hari kecil sekali kemungkinannya. Penyakit mengerikan ini selama ini diketahui penularannya hanyalah lewat kontak darah ke darah, atau air mani ke darah. Tak ditemukan kasus penularan lewat air, udara, makanan, atau sentuhan tubuh. Bahkan hanya berciuman tak terbukti bisa menularkan AIDS. Juga, penyakit ini tak menular lewat sarana umum, misalnya WC umum, telepon umum, kendaraan umum, kolam renang. AIDS juga tak menular lewat pakaian. Juga tak menular lewat gigitan nyamuk. Bahkan hanya tinggal serumah dengan penderita AIDS tak lalu langsung ketularan. Yang perlu dihindarkan pemakaian bersama sarana yang memungkinkan melukai tubuh, misalnya pisau cukur. Tapi memang boleh dikata AIDS lalu juga merupakan penyakit sosial. Di Negara Bagian Atlanta diceritakan seorang lelaki tiap sore menyirami kebun belakang rumahnya, untuk membunuh nyamuk. Ia khawatir bila nyamuk yang terbang dari tetangga di belakangnya masuk rumahnya. Soalnya, si tetangga diketahui menderita AIDS. Baru setelah ia diyakinkan bahwa penularan AIDS tak lewat nyamuk, ia hentikan kegiatannya yang mubazir itu. Dan baru-baru ini sajalah, berdasarkan penelitian para ahli psikologi massa, diakui bahwa citra AIDS yang begitu gawat salah satunya muncul dari sikap para orangtua. Para orangtua itu sebenarnya hanya ingin yakin bahwa anaknya tak bakal ketularan karena di sekolahnya seorang temannya menderita AIDS. AIDS bukan wabah yang hitam. Mungkin ini satu optimisme berlebihan. Tapi tanpa optimisme, lalu apa artinya hidup. George Whitmore, penderita AIDS yang menulis buku tentang dirinya dan teman-temannya itu, meski menyadari benar bahwa dalam tubuhnya tersimpan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak, ia tetap menjalani hidup sehari-hari dengan harapan. Dan karena itu terbitlah bukunya. Sementara itu, di laboratorium-laboratorium terus dicari obat penyembuh AIDS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo