Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang wartawan menulis buku tentang dirinya dan teman-temannya yang terjangkit AIDS. George Whitmore memang seorang homoseks, karena itu ia melihat dunia AIDS dari tangan pertama. Tak ada yang benar di dunia ini setelah Anda diberi tahu terkena AIDS, katanya. "SEUMPAMA Alfred Hitchcock masih hidup, ia tentu akan membuat film tentang AIDS," kata dr. Abe Macher spesialis infeksi di Institut Kesehatan Nasional AS, lima tahun yang lalu. Benar. Ketika itu AIDS memang sebuah horor. Seorang homoseksual terkena diare, bobotnya turun drastis, timbul bercak-bercak merah di tubuhnya, lalu mati. Tak lama kemudian beberapa orang di lingkungannya pun menyusul terkena gejala sama, dan mati. Lalu sejumlah anak-anak terkena pula. Bagaikan setan gentayangan yang sulit ditebak gebrakannya, begitulah AIDS, penyakit yang dinamakan menurut efeknya acquired immune deficiency syndrome, rusaknya daya tahan tubuh. George Whitmore bukan Hitchcock. Ia tak membuat film, karena bukan sutradara besar. Whitmore sekadar seorang jurnalis freelance, satu dari sekian juta wartawan di Amerika Serikat. Sebagaimana jurnalis yang lain, ia pun tertarik menulis tentang AIDS. Kebetulan, teman-temannya, yang homoseksual, beberapa terkena dan meninggal. Ia menulis tentang mereka. Kini si jurnalis ini menjadi perhatian. Soalnya, ternyata, ia terkena "setan gentayangan" itu pula. Lebih dari itu, ia menulis buku, Someone Was Here. "Seseorang hadir di sini" mengisahkan dirinya dan AIDS. Buku ini baru akan terbit April nanti. Tulisan berikut diambil dari petikan buku tersebut, yang dimuat The New York Times Magazine, akhir Januari. * * * AIDS telah membuat saya dan mereka yang ketularan bak sebuah bom waktu berjalan. Bukan cuma menunggu kematian, tapi ada keinginan di dalam diri untuk menunda kematian. Yang tak sepenuhnya kupahami adalah akibat yang kusandang. Dulu, kupikir, kalau aku menulis tentang AIDS, maka ada kemungkinan aku tak akan terkena. Artikel pertamaku terbit pada Mei 1985. Tapi AIDS rupanya tak memahami pikiranku. Kurang dari setahun kemudian, sebuah bercak merah di betisku menandakan satu dari sejumlah gejala AIDS pertama, yakni penyakit kulit sarkoma Kaposi. Ironisnya, justru ketika itulah baru saja aku menerima tawaran untuk menulis buku tentang AIDS. "Tulis saja," kata dokterku. Aku pun setuju. Daripada kehilangan pegangan, setidaknya ada yang harus kulakukan sepanjang sisa hidupku. Sarkoma Kaposi itu sendiri sebenarnya bukan gejala gawat, bila penderitanya tak lalu terkena infeksi lain sehubungan dengan AIDS. Banyak penderita penyakit kulit itu masih bertahan lima tahun, bahkan lebih. Aku termasuk beruntung. Meski gejala penyakitku makin jelas, dan tak mungkin dihambat, aku belum diharuskan mondok di rumah sakit. Ketika aku mulai menjalani pengobatan dengan AZT, kubeli kotak pil yang beralarem, yang bisa memperingatkanku untuk minum obat itu tiap empat jam. Bunyi alarem itu begitu keras dan nadanya begitu mengganggu, seperti bunyi klakson truk yang minta jalan. Tanyakan kepada mereka yang menggunakan alarem itu, bagaimana alat itu mengubah hidupnya. Anda terpaksa selalu waspada, menunggu alarem itu berbunyi. Dan begitu terdengar deringnya, Anda harus cepat-cepat mematikannya sebelum menjadi perhatian orang. Dan, tak ada masa istirahat. Itu seperti AIDS-nya sendiri. Pada saat-saat tertentu tubuh akan memberi isyarat halus, mungkin bukan soal baru, tapi selalu memperingatkan bahwa bom waktu itu masih berdetik. Tiap berjalan di taman selalu terpikir mungkin ini perjalanan terakhir. Tiap cek rutin bulanan memberikan harapan untuk hidup di bulan berikut. Alarem itu memberi peringatan bahwa dengan menderita penyakit kronis, sesungguhnya tak ada masa tenteram dan damai. Tak ada itu semua tanpa jaminan pulihny kesehatan secara komplet. Anehnya, perasaan itu justru membuatku mudah menulis buku ini. Tak perlu dijelaskan, menulis tentang AIDS dari sudut pandangku sendiri ada untung ruginya. Buku ini juga memuat tulisanku tentang Jim Sharp, kini 35 tahun, warga New York yang kejangkitan AIDS. Dan Edward Dunn, 43 tahun, penasihat Jim dari Krisis Kesehatan Kaum Homo dua-duanya homoseksual, seperti diriku. Bila aku merasa punya perhatian khusus terhadap Manuella Rocha, wanita Indian suku Chikano di pedesaan Colorado, karena aku seperti melihat mata ibuku di matanya. Rocha, yang nekat menjaga anaknya yang terkena AIDS hingga anak itu mati pada 1986, sinar matanya seperti sinar mata ibuku ketika ia pertama kali kuberi tahu bahwa aku terkena AIDS. Jika aku ikut duduk berjam-jam di sebuah kamar sumpek di South Bronx bersama sejumlah pemadat yang terkena AIDS, bukan karena aku takut menolak ajakan mereka. Itu karena kekalutan dan kemarahan mereka sama seperti yang kualami. Seorang wartawan lain tentulah tak bakal merasakan hal seperri itu. Tapi sebaliknya, hal-hal yang menarik perhatian umum yang tak ambil bagian langsung dalam peristiwa ini tentulah tak kutangkap. Misalnya, aku tak ingin menceritakan bagaimana rasanya seminggu menunggu hasil biopsi, atau menghadiri briefing dari sebuah lembaga pemerintah tentang AIDS. Aku juga tak ingin meliput kabar tentang perlakuan diskriminatif terhadap penderita AIDS. Sampai, ketika dokter gigi langgananku bertahun-tahun yang tak jauh tempat prakteknya dari rumahku, mengatakan ia tak lagi bersedia memeriksa gigiku. Mula-mula aku masih bisa berpura-pura bahwa aku tak terkena AIDS, agar aku bisa bekerja dengan baik. Dan sejauh itu sumber-sumber berita itu tak tahu bahwa wartawan yang mewawancarai mereka itu sebenarnya sama dengan diri mereka. Waktu itu, bila mereka bercerita tentang bercak-bercak merah yang juga sudah kupunyai - tak membuat wajahku merah. Di suatu peringatan Pesta Paskah, aku dan keluarga Michael sayangku membaca Talmud di bagian Haggadah. Kebetulan kitab kami ada ilustrasinya. Ketika kami sampai pada bagian yang mengisahkan orang-orang Mesir yang terkena wabah kutukan, di halaman itu ada gambar ikan dan belalang, dan gambar orang yang sepenuh tubuhnya ada bintik-bintik bisul. Perhatianku tertuju pada gambar orang itu. Aku yakin Michael yang duduk di belakangku pasti juga perhatiannya tercurah pada gambar itu. Bercak-bercak merah di tubuhku sudah hampir sebanyak bintik pada orang di gambar itu. Suatu hari, di bawah pancuran kamar mandi kuamati tubuhku. Tak pernah kulihat pemandangan seperti itu sebelumnya. Perubahan telah terjadi dan itu ditulis di tubuhku. Kepada Jim Sharp, tiga tahun lalu, 1985, aku mengaku, sejak itu di pandanganku teman-temanku hanyalah orang-orang mati. Nestapa, keputusasaan, teror - perasaan yang mudah sekali berjangkit bila Anda terkena AIDS. Perasaan itulah yang menyerangku ketika kumulai menulis buku ini. Begitu kamu tahu telah terkena AIDS, ketakutan dan kejijikan, bayangan kegilaan, sesuatu yang mengerikan yang tak bisa ditebak mewarnai segalanya. Bila kamu menyusuri lorong dengan AIDS di tubuh, segala yang kautemui terasa menjengkelkan, menjadi penghalang dan ancaman. Tiba-tiba saja sebuah taksi nyelonong ke trotoar. Seseorang berdebat lama dengan pegawai bank sementara kamu berada di antrean belakang. Hal-hal remeh-temeh menjadi soal serius. Bahkan seorang tua yang dengan gugup menghitung uang recehnya di warung bisa menimbulkan kemarahanmu. Ah, mungkin bukan khusus orang tua itu yang membangkitkan kejengkelan, tapi dirimu sendiri yang karena AIDS lalu jadi tua dan tak berdaya. AIDS itulah yang telah mengubah Jim Sharp jadi berbakat pemberang. Padahal, semula ia adalah seorang pegawai biro iklan yang sangat jenaka, seorang yang seolah-olah bisa membuat barang-barang mati jadi hidup. Kemarahan, kemarahan terhadap hidup, itulah pelajaran yang diberikan oleh Jim, Manuella Rocha, dan orang-orang yang kecanduan obat bius kepadaku. Tanpa pelajaran itu aku tak bakal menulis tentang lautan kesakitan dan ketidaktentuan yang mengelilingi kami tanpa harus tenggelam di dalamnya. Pada 1984, setelah kekasihnya meninggal karena AIDS, Edward Dunn menjadi tenaga sukarela di Krisis Kesehatan Kaum Homo. Ia tak bisa berdiam diri, tuturnya kepadaku, sementara AIDS merajalela. Kasus Jim adalah tugas yang jadi tanggung jawab pertamanya begitu Edward lulus dari latihan sebagai pembimbing. Adalah tugas Edward untuk memecahkan labinn masalah kesehatan, keuangan, dan masalah-masalah hukum sebagai akibat AIDS. Dalam waktu singkat mereka jadi sahabat dekat. Edward, seorang introvert, selama kuwawancarai menyembunyikan nama kekasihnya yang meninggal. Ia ingin menyelamatkan keluarga "Robert", yang sampai anak lelakinya itu meninggal tidak tahu bahwa dia homoseksual. Setelah artikelku terbit di New York Times, Edward memberiku hadiah sebuah boneka beruang - mungil dengan wama putih dan pita berwama melilit leher. Aku tak tahu untuk apa bagiku boneka itu. Edward memgatakan bahwa kebiasaan dia memberi hadiah temannya sebagai tanda- persahabatan yang akrab. Lalu ia bertanya, hendak kuberi nama siapa boneka ini. "Wah, tak terpikir olehku boneka ini harus diberi nama," jawabku. Ia mendesak, "Harus, harus kauberi nama, George." Karena aku tak tahu harus kuberi nama siapa atau apa, ia lalu menyarankan agar diberi nama Robert -- nama samaran yang kupakai dalam artikelku untuk kekasihnya yang meningga! Ini disebut "gelombang kedua" epiderni AIDS. Di antara yang terkena -- yang jumlahnya semakin meningkat - pencandu obat bius, istri dan kekasih mereka, dan anak-anak mereka. Aku tahu sorang anak yang terkena AIDS. Pertama kali kulihat Frederico (bukan nama sebenarnya) di suatu hari yang mendung di akhir Maret, di bagian anak-anak RS Lincoln di South Bronx. Kamar 219, tempat dia dirawat. dipisahkan oleh sebuah tembok dengan ruang juru rawat. Aku tahu tentang Frederico dari Suster Fran Whelan, rohaniawan Katolik di rumah sakit itu. Lewat suster yang mugil itulah aku mendapat izin meliput penderita AIDS di situ. Selama beberapa bulan aku mewawancarai anggota tim AIDS rumah sakit, pasien, dan para juru rawat. Di awal-awal berjangkitnya AIDS. ketika Suster Fran - anggota Suster Dominika yang merawat mereka yang sakit dari keluarga papa - pertama kali bekerja di RS Lincoln, di situ cuma ada satu-dua pasien AIDS. Di akhir musim dingin tak kurang dari dua lusin penderita AIDS dirawat di rumah sakit pemerintah itu. Mereka semuanya kaum heteroseksual, dan terdiri atas kulit hitam dan Hispanic. Ketika aku pertama kali bertemu Frederico, anak 2,5 tahun itu sudah dirawat di situ selama 9 bulan. Ibunya seorang peminum dan bekas pencandu obat bius. Dari ibunya itulah Frederco memperoleh virus AIDS. Di musim panas sebelumnya, beberapa minggu sebelum bapak Frederico meninggal karena AIDS, anak itu ditinggalkan di rumah sakit. Lalu si ibu meninggal, juga karena AIDS. Maka, Frederico jadilah "anak titipan", satu dari 300 "anak titipan" di sejumlah rumah sakit di Kota New York. Frederico memang dilahirkan sebagai anak idiot selain terkena AIDS. Karena itu, sulit menemukan orangtua angkat baginya. Namun, "anak-anak titipan" yang perkembangan emosi dan pikirannya normal pun, ternyata, harus tinggal di rumah sakit untuk waktu yang tak terbatas - tak seorang pun orangtua angkat bisa diperoleh. Satu-satunya orang yang secara teratur mengunjungi Frederico adalah Alfred Schult, pekerja Departemen Pertamnan, keluarga jauh anak itu. Menurut Tuan Schult, ketika ibu Frederico meninggal, ia mengirim telegram ke kakek anak itu. Tapi tak ada jawaban. Nenek Frederico dari ayahnya pernah sekali menengok cucunya. Nenek itulah yang memelihara kakak Frederico berusia 5 tahun. Si kakak kemudian dikirimkan ke Puerto Rico, ke famili-famili di sana. Tapi Frederico sama sekali tak menjadi perhatian mereka. Pada usia 2,5 tahun itu Federico belum bisa bicara, belum bisa berdiri, apalagi berjalan. Ia pun tak bisa memegang botol minumnya sendiri. Semua karyawan rumah sakit mencoba melakukan hal yang terbaik untuk Frederico. Ketika aku bersama Suster Fran mengunjungi anak itu, ia sedang tidur. Kami berdua berdampingan memandang ke tempat tidurnya. Seekor hewan yang diawetkan ditaruh di sisi kepala di tempat tidurnya. Sebuah mobil-mobilan sirkus diikatkan ke papan di dekatnya. Sebuah balon berbentuk jantung hati, bertuliskan I Love You, ditambatkan di tempat tidur itu. Aku berdiri di samping Suster Fran. Telingaku mendenging. Tiba-tiba aku ingin menghambur keluar dari kamar itu. Tapi kutancapkan erat-erat kakiku di lantai. Aku telah menyaksikan mata yang tak bisa dipejamkan karena luka. Aku telah pernah bicara dengan anak tuli. Aku pun pernah menggenggam tangan orang mati. Tapi untuk melihat Frederico, aku sungguh belum siap. Aku ingin merenggutkan Frederico, dan berlari bersama anak yang tampangnya manis itu. Tapi sungguh keinginan itu suatu yang menakutkan- sebab aku tahu, bahwa yang ingin kuperbuat pada diri Frederico adalah sebenarnya yang ingin kuperbuat terhadap diriku sendiri. Aku pun lalu merasa seperti tulang-tulangku dilolosi. Ketika berjalan keluar kamar, Suster Fran berbasa-basi, "Kini Anda bisa menengok sendiri anak itu kapan saja." Ia tahu, aku bakal menengok Frederico yang berambut hitam keriting itu lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo