Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga puluh tahun lalu, Hong Kong masih menjadi wilayah paling "gelap". Di jalanan, beberapa pria berseragam polisi memeras warganya sendiri. Pembunuh yang tertangkap tangan bisa "berdamai" dengan setumpuk uang. Suatu pagi, seorang mahasiswa, namanya Bong, tiba-tiba ditangkap, digantung terbalik, dan dipukuli hingga lebam. Bong dipaksa mengaku sebagai pembunuh. Rekayasa hukum dilakukan demi uang.
Di tempat lain, peredaran narkotik dilindungi polisi. Sembilan puluh persen polisi Hong Kong korup ketika itu. Tersebutlah Inspektur Lack, yang sangat sulit dibedakan apakah ia kepala polisi atau bos mafia. Kisah Lack merupakan bagian dari film I Corrupt All Cops, yang disutradarai Wong Jing. Film berdurasi 107 menit itu menggambarkan proses pembentukan Independent Commission Against Corruption (ICAC), ditayangkan pertama kali pada 30 April 2009 di bioskop Hong Kong.
Beberapa waktu lalu, Tony Kwok dan Bertrand de Speville, mantan Komisioner ICAC, berkunjung ke Indonesia. Mereka berdiskusi dari satu tempat ke tempat lain. Sejarah pemberantasan korupsi di Hong Kong agaknya dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Dulu, istilah black money, tea money, bahkan hell money nyaris menjadi keseharian, tapi kini Hong Kong diakui sebagai salah satu negara yang relatif bersih dari korupsi.
Komisi antikorupsi Hong Kong dibentuk pada Februari 1974 sebagai antitesis dari kondisi korupsi yang merajalela. Semua berawal dari kasus seorang jenderal polisi, Peter Fitzroy Gobder, yang memiliki aset senilai HK$ 4,3 juta. Setelah gejolak di masyarakat, Sir Alastair Blair-Kerr, seorang hakim senior Puisne, ditunjuk untuk memimpin komisi penyelidikan pelarian Gobder. Ia menyiapkan dua laporan dan penegasan, jika pemerintah serius, kantor antikorupsi harus dipisahkan dari kepolisian. ICAC lalu dibentuk, sang jenderal polisi ditangkap, kekayaannya dirampas, dan Hong Kong memulai revolusi senyap.
Sekarang, di Indonesia, seorang jenderal polisi bintang dua ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Resistensi menyeruak ketika KPK menggeledah gedung Korps Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jalan M.T. Haryono, Jakarta, pekan lalu. Pemimpin dan penyidik KPK "tertahan" lebih dari 24 jam. Beberapa anggota kepolisian menolak barang bukti hasil penggeledahan dibawa KPK.
Kendala KPK dalam mengusut pengadaan simulator kemudi motor dan mobil ini belum tersingkir. Dua hari kemudian, Polri kembali menegaskan akan tetap menyidik kasus yang sama. Disebutkan surat perintah penyelidikan terbit pada 21 Mei 2012 dan Polri mengklaim telah memeriksa sejumlah pihak. Pada hari terakhir Juli, surat permintaan dukungan penyelidikan dilayangkan ke kantor KPK. Polri meminta data-data yang dimiliki KPK dalam kasus ini.
KPK bergeming. Lembaga ini telah menggelar penyelidikan sejak Januari 2012. Pada 27 Juli 2012, surat perintah penyidikan diterbitkan. Merespons itu, Polri mengatakan KPK telah melanggar nota kesepahaman (MOU) karena tidak berkoordinasi sebelum menggeledah dan menyidik kasus korupsi yang diduga melibatkan jenderal bintang dua. Karena lebih dulu menyelidiki, Polri mengutip kesepakatan merasa pihak yang berwenang. Benarkah?
Memorandum of understanding dengan penyebutan spesifik sebenarnya tidak pernah ada. Yang ada adalah kesepakatan bersama antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK tentang optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi. Kesepakatan itu ditandatangani Kepala Polri, Jaksa Agung, dan Ketua KPK pada 29 Maret 2012. Ada beberapa hal menarik yang dapat dikupas dari kesepakatan ini.
Pertama, benarkah Polri yang berwenang menangani kasus yang diduga melibatkan petingginya sendiri? Pasal 8 ayat 1 mengatur, untuk menghindari duplikasi dalam penyelidikan, instansi yang berwenang melakukan penyelidikan adalah institusi yang pertama kali melakukan penyelidikan. Jika keterangan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dibandingkan dengan keterangan pemimpin KPK, terlihat penyelidikan pertama kali kasus ini dilakukan KPK, yakni pada 20 Januari 2012. Sedangkan Polri baru menyelidiki pada Mei 2012 setelah majalah Tempo menerbitkan liputan berjudul "Simsalabim Simulator SIM"Â pada 29 April 2012.
Kedua, bagaimana koordinasi antarpenegak hukum jika salah satu pegawai dari tiga lembaga ini terjerat korupsi? Pasal 13 mengatur, agar pihak yang melakukan penyidikan memberitahukan kepada pimpinan lembaga yang pegawainya menjadi tersangka dengan melampirkan surat perintah penyidikan.
Dalam konteks kasus driving simulator, kita paham bahwa koordinasi yang dimaksud adalah pemberitahuan kepada pimpinan Polri bahwa anggotanya menjadi tersangka. Pemberitahuan dilakukan setelah surat perintah penyidikan diterbitkan. Bukan permintaan persetujuan. Jadi, logikanya tidak bisa dibalik, seolah-olah KPK harus sowan terlebih dulu kepada Kepala Polri sebelum penetapan tersangka. Sebab, ini justru sangat membahayakan bagi prinsip independensi KPK.
Jadi, benarkah KPK telah melanggar kesepakatan bersama tersebut, baik untuk penetapan tersangka maupun penggeledahan? Saya kira tidak. Sebab, secara prinsip, penyidikan yang dilakukan KPK tidak dapat dihentikan atau dipengaruhi oleh institusi mana pun. Kewenangan penggeledahan juga tidak ditentukan oleh kesepakatan pihak mana pun. Sebab, hal ini berada dalam ranah hukum acara pidana yang tunduk hanya pada undang-undang dan putusan hakim.
Ketiga, bagian yang menarik adalah kapan kesepakatan tersebut mulai berlaku. Apakah mengikat pada kasus simulator kemudi yang sudah dilakukan penyelidikan sejak Januari 2012, sementara kesepakatan baru ditandatangani pada 29 Maret 2012? Tentu kesepakatan ini tidak mungkin bisa berlaku surut. Jadi, dapatkah pasal 8 dijadikan sandaran untuk menyatakan KPK telah melanggar kesepakatan?
Lebih dari tiga poin di atas, kita tidak bisa dengan paradigma yang sempit menggunakan kesepakatan untuk menuding pihak lain telah melanggar lantaran memproses kasus yang melibatkan rekan sendiri. Jika dilihat dari asal-usulnya, kesepakatan ini tidak bisa dilepaskan dari instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2011. Dalam rencana aksi nomor 90, pada bagian Penindakan tercantum, untuk meningkatkan koordinasi antara sejumlah lembaga negara terkait, maka MoU antara Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan lembaga lain harus diperbarui dan disempurnakan. Jadi, wajar kiranya jika Presiden tidak bisa lepas tangan dalam polemik ini.
Lebih dari itu, semua hal yang diatur dalam kesepakatan tersebut haruslah tidak bertentangan dengan undang-undang, termasuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Di titik inilah, jika Polri masih memaksakan tetap melakukan penyidikan, ini bisa dipahami sebagai pembangkangan terhadap aturan hukum, dan produknya cacat secara hukum.
Betapa tidak, selain argumentasi bahwa KPK melanggar MoU juga masih bisa diperdebatkan, Pasal 50 ayat 3 dan 4 UU KPK pun mengatur secara tegas dan jelas. Bahwa, jika KPK telah melakukan penyidikan terlebih dulu, Polri atau Kejaksaan tidak lagi berwenang. Kalaupun KPK, Polri, dan Kejaksaan melakukan penyidikan secara bersamaan, Polri atau Kejaksaan wajib menghentikan kasus tersebut segera. Perintah sejelas apa lagi yang dibutuhkan?
Dari sini, wajar rasanya masyarakat bertanya, ada apa gerangan Polri terlihat begitu resistan, bahkan nyaris terkesan panik dengan penyidikan dan penggeledahan yang dilakukan KPK? Ada apa gerangan, Polri terlihat begitu ngoyo untuk menangani kasus tersebut, bahkan dengan melanggar aturan hukum? Saya teringat sebuah iklan dalam pertandingan sulap, Indonesia mendapat sambutan meriah dan bisa mengalahkan dua negara besar yang menjadi pesaingnya. Sementara "dukun" Jepang bisa menghilangkan Gunung Fuji dengan sulapnya, jin Indonesia mengatakan, "Kasus korupsi, hilang!" Wusssh, koruptor bertepuk tangan.
Semoga bukan demikian adanya. Meskipun kami yang bekerja melawan lupa akan selalu mengingat bagaimana tidak jelasnya perkembangan kasus rekening gendut sejumlah perwira Polri ketika ditangani Polri tanpa keterlibatan KPK. Kasus Gayus yang gagal menyentuh dua perwira yang disebutkan oleh mantan Kabareskrim Susno Duadji. Jauh sebelum itu, aliran dana Adrian Waworuntu dalam kasus pembobolan BNI senilai Rp 1,7 triliun dan kasus alat komunikasi jaringan komunikasi Markas Besar Polri.
Kita sungguh berharap hal-hal yang buruk tidak lagi terjadi. Karena kejahatan yang dilakukan oleh aparatur negara yang mempunyai kewenangan untuk memerangi kejahatan sungguh merupakan sebuah kejahatan yang sempurna kebusukannya. Apalagi jika ia diproteksi, seolah-olah tak ada pelaku, tak ada korban, tak ada apa-apa. Atau, jika pun harus ada, tumbal-tumbal sudah disiapkan.
Kepolisian harus diselamatkan untuk kepentingan bangsa ini. Korupsi di tubuhnya harus diperangi. Dalam diam, saya teringat Jenderal Hoegeng, Kepala Kepolisian 1968-1971. Ia dikenal sangat jujur, menolak korupsi, melempar barang yang diberikan cukong judi ke luar jendela. Ia memarahi bawahannya yang baru saja membeli rumah dan kendaraan mewah. "Memangnya gaji polisi cukup untuk bermewah-mewah?" katanya. Ia mungkin menangis dalam-dalam, tanpa air mata, melihat rumah yang dibangunnya nyaris runtuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo