Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paris, Ahad dua pekan lalu. Siang yang tidak terlalu panas. Angin dingin sering berembus di antara cahaya matahari tipis yang datang dan pergi di balik awan biru kelabu. Antrean panjang pengunjung tampak tidak pernah habis di depan Museum Cinematheque.
Museum dengan taman luas yang mengelilinginya itu berisi berbagai koleksi dari sejarah awal kerja pembuatan film. Tapi kini Tim Burton, seniman film yang banyak menciptakan makhluk aneh, menyuguhkan berbagai karyanya dalam sebuah pameran retrospeksi di museum perfilman itu. Pameran yang berlangsung sejak 7 Maret hingga 5 Agustus lalu ini tak hanya menampilkan film-film animasi Burton yang terkenal, tapi juga patung, lukisan, foto, dan karya seni rupa lain, yang mencapai 700 karya. Karya-karya itu sebelumnya dipamerkan di The Museum of Modern Art, New York, Amerika Serikat, pada 2009.
Pengunjung pun memenuhi ruang pameran Tim Burton. Mereka hampir berdesak-desakan untuk melihat karya-karya sang sineas di dalam tiga ruang besar di lantai lima museum. Di ruang pertama, pengunjung seperti dibawa masuk ke ruang imajinasi Burton—cahaya-cahaya puitis di dalam kegelapan. Seluruh dinding ruang berwarna hitam. Berbagai bentuk visual mendapatkan efeknya melalui pencahayaan lampu sorot dan pijaran elektrik pada bola kaca yang tergantung di sebuah patung. Busana penonton yang menggunakan warna-warna dasar terang, terutama putih, seperti ikut memijarkan cahaya.
Ruang itu seperti merepresentasikan pandangan Matthieu Orlean, kurator pameran ini, yang melihat karya-karya Burton (sketsa, drawing, animasi, boneka, patung, instalasi, lukisan, dan video) sebagai campuran seni gotik, pop, dan surealisme. Ruang bertemunya dunia horor Edgar Allan Poe dan dunia kartun Walt Disney.
Manusia terus membuat perubahan. Tapi manusia sendiri tidak berubah dan tidak bisa mengubah dirinya. Seperti ada pertanyaan sensitif di antara manusia dan perubahan yang dilakukannya. Karya-karya Burton, yang film-filmnya termasuk terkenal di Indonesia, seperti memunculkan sensitivitas seperti itu.
Sensitivitas itu sudah tampak pada karya animasinya untuk ujian akhir ketika ia kuliah di sekolah seni California Institute, yang didirikan Walt Disney. Animasi ini dibuat dari rangkaian drawing dengan garis-garis pensil yang tumpang-tindih, terus bergerak pada setiap perpindahan gambar, gerak tubuh, gestur, dan ekspresi tubuh. Garis-garis tegas yang terus bergerak itu memiliki efek penting, seperti memberi denyut napas pada gambar. Juga sebagai transisi dari bentuk satu yang mengubah bentuk lainnya. Garis-garis yang ikut menggerakkan waktu.
Karya animasinya itu dibuat sebagai dinding dua dimensi, di mana perubahan-perubahan figur dari makhluk-makhluk aneh seperti berlangsung di atas kertas tua yang dipenuhi bercak yang terus berdenyut. Sensitivitas selalu muncul setiap kali terjadi perubahan besar, kala bentuk-bentuk besar seperti mengisap yang kecil. Perut yang membesar hingga menutupi wajah makhluk, dan sudut pandang posisi gambar, ikut berubah dari atas atau dari bawah.
Karya animasi itu diletakkan di dinding masuk ruang ketiga. Ruang kedua seperti membelah ruang pertama dan ketiga, yang berdinding hitam. Di ruang kedua, yang berdinding putih, pengunjung seperti diajak menikmati kerja kreatif Burton, berupa drawing, lukisan, boneka, dan patung-patungnya yang lebih berjarak. Dinding putih tidak lagi membuat ilusi ruang antara karya-karyanya dan dinding pameran. Ruang putih memberi jarak rasional bagi pengunjung untuk membaca proses kreatifnya.
Ruang kedua itu seperti menghadirkan latar belakang masa kanak-kanak Burton. Ia lahir pada 1958. Menurut Burton, masa kanak-kanaknya berlangsung dalam ketertekanan daerah pinggiran di Burbank, Amerika Serikat—kawasan yang menurut dia merupakan dunia tanpa sejarah, tanpa kebudayaan, tanpa gairah—dan hidup dalam lingkungan puritan.
Burton selalu menikmati pesta malam Halloween, yang menurut dia selalu merupakan malam paling indah. Malam saat, "Saya bisa menjadi apa pun yang saya inginkan…." Masa kanak-kanaknya jadi seperti rumah waktu yang terus berlangsung, menjadi pegangan dari dunia orang dewasa yang menyesatkan. Rumah tempat ia menjadikan dirinya "laboratorium aku" yang mendesentralisasi diri sendiri ke berbagai bentuk makhluk aneh. Matthieu Orlean menyebutnya "laboratorium Dr Frankenstein". Ia dianggap satu-satunya seniman dari Hollywood yang memiliki napas ekspresionisme seni rupa Jerman.
Dalam "laboratorium aku", Burton seperti melakukan "renovasi aku" terus-menerus, melalui berbagai karya yang tidak terhingga dari kerja storyboard yang dilakukannya. "Renovasi aku" dari manusia yang tidak pernah berubah di tengah banyak perubahan yang dilakukan manusia.
Transformasi tubuh dalam wujud "makhluk-makhluk Burton" merupakan strategi analogi tubuh sebagai karet, besi, kain, bangunan, dan cahaya. Burton seperti memasuki negosiasi baru antara manusia dan perubahan yang dilakukan manusia sebagai proses "renovasi aku". Laboratorium yang tepat untuk renovasi ini adalah masa kanak-kanaknya. Mulut, gigi, mata, kaki, dan tangan merupakan bagian-bagian tubuh metafor yang banyak mengalami renovasi dalam transformasi tubuh ini.
Dunia horor dari drakula sampai makhluk kanibal dipamerkan pada bagian akhir ruang pameran. Di sini Burton memperlihatkan ketakutan sebagai keindahan yang puitis dan menyegarkan. Bahkan Burton menggambarkan keseluruhan anatomi monster puitisnya itu sebagai isi tanpa daging. Ruas-ruas otak dibuat hadir sebagai model rajutan rambut untuk kepala makhluk yang dibuat seperti biji kacang.
Pada gilirannya, makhluk-makhluk puitis itu seperti sebuah hibrida dari bentuk-bentuk alam, kebudayaan, dan mesin. Teknik stop motion yang banyak digunakan dalam karya-karyanya tampak minimalis, gerak yang hampir menggenangkan detail-detailnya. Menciptakan waktu untuk momen menatap. Potongan karyanya yang diputar dalam pameran antara lain Batman Returns, Big Fish, Edward Scissorhands, Mars Attacks!, dan film terbarunya, Dark Shadow.
Ruang ketiga dari pameran ini diakhiri dengan sebuah koridor panjang menuju keluar. Di koridor terpasang berbagai sketsa yang banyak dibuatnya dalam lipatan kertas tisu, sketsa yang memperlihatkan garis-garis dan bentuk-bentuk spontan.
Karya Burton memang wujud bahasa visual. Aktor Johnny Depp, yang sering bermain di filmnya, lebih banyak tertarik karena storyboard yang dibuat Burton ketimbang skenarionya. Di tangan Burton, seni rupa memang menjadi bahasa tubuh dan ruang sekaligus. Keluar dari pameran ini, seluruh konstruksi tubuh saya seperti ikut terdesentralisasi ke konstruksi peradaban di depan saya.
Afrizal Malna, penyair (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo