Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Patung yang Kembali ke Ihwal

Galeri Salihara menampilkan karya 14 pematung masa kini, mewakili seni patung baru. Kritik terhadap doktrin seni rupa kontemporer Indonesia yang "apa saja boleh".

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan kelelawar bergelantungan di atap pergola berhias tanaman, yang jadi perlaluan orang menuju tangga ke Galeri Salihara di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tapi ada yang unik dalam kerumunan makhluk malam yang sedang tidur itu: ada kalong putih di antara rekan-rekannya yang hitam. Mereka adalah patung kalong dari resin poliester yang diciptakan Komroden Haro, perupa lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta, untuk karya terbarunya, Dalam Hening, yang semuanya berjumlah 100 kalong.

Patung karya seniman kelahiran Baturaja, Sumatera Selatan, pada 1966 itu menyambut pengunjung sebelum ­memasuki pintu galeri yang sedang menggelar pameran "Simpangan: Pameran Seni Patung Baru", yang berlangsung sejak Sabtu dua pekan lalu hingga Sabtu nanti. Selain Komroden, pameran ini menampilkan karya 13 pematung lain, yakni Abdi Setiawan, Aditya Novali, Anusapati, Didi Kasi, Erwin Utoyo, Handiwirman Saputra, Hardiman Radjab, Ichwan Noor, Nus Salomo, Redy Rahadian, Septian Harriyoga, Rudi Mantofani, dan Yuli Prayitno.

Kurator pameran ini, Asikin Hasan, dan asistennya, Gita Hastarika, memilih para pematung itu sebagai wakil dari "seni patung baru", istilah Asikin untuk gejala perluasan konvensi seni patung masa kini. Menurut Asikin, dalam sejarahnya patung diciptakan sebagai karya monumental. Ia besar, kukuh, serta memiliki fungsi dan melambangkan sesuatu yang jelas, seperti monumen yang diciptakan para seniman zaman Yunani dan Romawi kuno atau patung-patung pahlawan yang ditegakkan di pusat kota. Ia menggambarkan suatu figur atau bentuk ideal tertentu yang bisa dikenali.

Tujuan pembuatan patung itu mengakibatkan kajian mengenai tubuh, anatomi, dan gestur menjadi penting bagi para pematung. Hal esensial lain adalah penguasaan bahan dan keterampilan mengolahnya. Pada awalnya pematung memakai kayu dan batu, lalu berkembang ke logam. Pemanfaatan bahan ini menuntut pematung memahami karakter bahannya terlebih dulu sebelum bisa memakainya. Edhi Sunarso, seniman dari masa revolusi, misalnya, harus belajar dari nol tentang perunggu dari buku dan pegawai bengkel kereta api untuk membuat Tugu Selamat Datang di Jakarta. Hal-hal inilah yang membangun konvensi seni patung dan proses kerja se­orang pematung.

Merebaknya seni rupa kontemporer pada dua dekade terakhir juga merambah seni patung, sehingga memunculkan instalasi dan karya trimatra yang sepintas dapat disebut patung. Ini tampak dalam Pameran Besar Patung Kontemporer "Ekspansi" di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada Juli tahun lalu, dengan kurator Asikin Hasan, Asmudjo Jono Irianto, dan Jim Supangkat. Pameran ini menyatukan kelompok perupa kontemporer, yang bukan berangkat sebagai pematung dan lebih menekankan gagasan, dan kelompok pematung yang dari mula berada di jalur seni patung dan menekankan pada penjelajahan bahan dan teknik.

Persoalannya, seni rupa kontemporer, nama payung untuk menyebut perkembangan seni rupa mutakhir Indonesia, lebih menekankan gagasan dan menyingkirkan aspek keterampilan dalam seni patung. Perupa tak memusingkan bagaimana cara mengolah bahan, karena dapat menyerahkannya kepada para artisan. Lantas, siapa penciptanya: sang penggagas atau artisan? Seni rupa kontemporer juga punya sisi gelap, ketika ia disalahartikan sebagai "apa saja boleh".

Pameran "Simpangan" merupakan kritik dan keprihatinan terhadap seni rupa kontemporer yang dapat menjadi dekaden itu. "Tema 'simpangan' itu hendak menunjukkan gejala seni patung yang menyimpang dari arus besar seni rupa kontemporer," kata Asikin. Pameran ini menyorongkan karya sejumlah seniman yang masih setia pada konvensi seni patung, estetika, dan kepematungannya, yakni semua tahap pembuatan patung.

Contohnya adalah Rudi Mantofani, lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta. Karyanya, The Earth and The World (Series), langsung menyapa pengunjung galeri dan paling banyak menarik minat penonton. Patung dari aluminium itu berbentuk bola dunia yang melar seakan-akan ditarik ke kiri dan kanan, sehingga menjadi mirip kacang raksasa selebar meja kerja. Patung itu merupakan bagian dari seri The Earth and The World, karya Rudi yang mengutak-atik bola dunia dalam berbagai bentuk. Proyek yang dimulainya sejak 2005 itu telah menghasilkan, antara lain, bentuk apel yang sedikit sompal seperti digigit, dan kubus yang mirip planet bangsa Bizzaro dalam komik Superman.

Rudi adalah pematung yang terkenal lewat seri Last Notes, penjelajahannya pada bentuk gitar, yang tidak dipajang dalam pameran ini. Di tangannya gitar elektrik itu jadi lembut, gagangnya bisa jadi molor sangat panjang, bisa melengkung, terbelah dua, atau menempel dengan gitar-gitar lain. Secara teknis gitar-gitar itu bisa berbunyi, tapi melihat bentuknya yang ganjil, tampaknya Carlos Santana pun akan kesulitan memainkannya.

Seniman kelahiran Padang pada 1973 itu menggarap karyanya sejak dari perancangan, pembuatan model, pemilihan bahan, hingga jadi. Dia juga melibatkan artisan, tapi tetap me­nga­wal semua langkah pewujudannya. "Kerja pematung itu merupakan kombinasi dari eksplorasi bahan dan gagasan," katanya.

Pentingnya keterampilan teknis tampak pada patung baja Kesatuan 3 karya Redy Rahadian, seniman kelahiran Cianjur, Jawa Barat, pada 1973. Karya lulusan Departemen Garasi Mekanika Institut Saint Joseph, Belgia, itu memakai teknik las tinggi, yang ditangani sendiri oleh Redy. Hal serupa juga tampak pada Kelas Amatir karya Abdi Setiawan, seniman kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, pada 1971, yang biasa mengukir kayu. Alumnus ISI Yogyakarta itu membuat patung dari kayu dan resin setinggi manusia berbentuk petinju kampung yang baru kalah bertarung.

Menurut Asikin, seni patung baru mulai hadir sejak Anusapati, alumnus Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta, pulang ke Kota Gudeg setelah menamatkan studinya di School of Art and Design, Pratt Institute, New York, Amerika Serikat, pada 1990. Sejak itu, Anusapati mulai menggarap benda sehari-hari seperti kentongan dan perahu menjadi bentuk baru. "Dia melepaskan fungsinya, tapi tetap mempertahankan bentuknya," kata Asikin.

Kekhasan itu masih tampak pada Stairs karya Anusapati yang dipamerkan di Salihara. Dia membengkok-bengkokkan sepotong pintu kayu jati menjadi seperti tangga, tapi kita masih melihat bentuk pintu di situ, lengkap dengan gagang dan lubang kuncinya.

Asikin mengatakan pameran ini mencoba menyaring siapa-siapa yang sebenarnya memang pematung, sehingga kapal besar seni patung Indonesia tidak diisi sembarangan orang. Dia rupanya sedang mencoba mengembalikan seni patung ke ihwalnya sebagai keterampilan yang menuntut seniman untuk mandi keringat ketika berjuang menguasai bahan dan membentuknya menjadi sesuatu.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus