BANDUNG sebagai ibukota propinsi belum memiliki stadion. Bila
kegiatan olahraga yang bertakaran nasional harus diadakan di
ibukota Jawa Barat itu, terpaksalah memakai stadion di kota
Cimahi -- yang juga lebih mirip lapangan sepakbola biasa. Tentu
saja suatu yang kurang layak: Apalagi kota-kota Cirebon dan
Serang saja, yang jauh lebih kecil dati Bandung dan hanya
ibukota kabupaten, masing-masing sudah memiliki stadion.
Namun demikian tampaknya Gubernur Aang Kunaefi belum tergoda
untuk berftkir ke arah itu. Sampai akhirnya fikiran itu timbul
pada diri warganya. Maka tampillah warga Jawa Barat dari PT
Propelat mewujutkan hajat orang banyak itu. Ini agaknya
pengulangan peristiwa lama. Sebab hal serupa pernah terjadi
tatkala Kolonel AE Kawilarang menjadi Panglima Siliwangi.
Panglima yang kebetulan gemar olahraga itu mencita-citakan
Bandung memiliki sebuah stadion. Dengan cara mengumpulkan
kelebihan uang di belakang koma (misalnya Rp 0,46 dari Rp
756,46) dari setiap gaji warga Kodam Siliwangi (waktu itu masih
Divisi), Kawilarang menghimpun biaya. Sampai akhirnya 24 Maret
1956, sebuah stadion resmi dipersembahkan kepada warga Bandung.
Sayang stadion kebanggaan ini akhirnya terlantar karena tak
terpelihara.
Rp 400 Juta
Nah, stadion yang sudah tak layak disebut stadion itulah yang
dikerling Propelat untuk kembali dibangun. "Ini merupakan
partisipasi kami kepada perkembangan olahraga di Jawa Barat",
kata ir. Rubianto, Kepala Gugus B PT Propelat yang memimpin
pembangunan di sana. Tak kurang dari 10 insinyur jebolan ITB,
terdiri ahli bangunan, arsitektur, senirupa dan elektro,
mengambil bagian dalam kerepotan itu. "Dengan para sarjana yang
rata-rata masih muda itu, kami merubah wajah stadion lama, agar
kembali dapat dipakai tempat pertandingan nasional maupun
internasional". Untuk meraih maksud itu, lapangan seluas 100 x
70 m dipersiapkan benar-benar. Dibuat berlapis-lapis antara
tanah, pasir, tanah lagi, lalu pasir dan ijuk dan terakhir tanah
untuk tempat tumbuh rumput yang bijinya didatangkan dari
Australia. Ijuk saja menghabiskan 400 ribu kg dan pasir beton
4.400 m3. "Kwalitasnya sama dengan stadion Senayan", tutur
Rubianto. "Akan menyerap air seketika, walaupun hujan lebat".
Dan air itu akan mengalir ke saluran yang dibuat di bawah
lapangan di setiap jarak 5 meter.
Stadion yang mampu menampung 35 ribu penonton itu selain punya
pintu utama juga punya pintu khusus pemain dan pintu-pintu
lainnya sebanyak 12 buah. Hingga keluar masuk penonton tak
mengganggu pemain. Pendeknya stadion yang sudah melahap Rp 400
juta itu, menurut Rubianto, "tak kalah dengan yang di luar
negeri". Dan meski belum selesai seluruhnya, 20 Mei lalu sudah
bisa dipakai untuk menyelenggarakan "Siliwangi Cup". Yang belum
digarap antara lain penerangan untuk malam hari. Karena untuk
lampu-lampu saja masih diperlukan Rp 200 juta. Hingga stadion
yang kini akan terjamin kelestariannya karena dikelola Yayasan
Gelora Siliwangi itu, belum bisa dipakai untuk pertandingan
malam hari. Masih menunggu biaya. Entah sampai kapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini