Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG 305 Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Brigadir Jenderal (Purnawirawan) Herman Sarens Soediro sedang terbaring dengan infus menancap di lengan kirinya. Di kamar sekitar 50 meter persegi itu, tubuhnya berbalut selimut dan lilitan syal di leher. Tapi lelaki 79 tahun itu masih menggebu-gebu ketika bicara. ”Di sini ada dokter pribadiku,” ujarnya kepada Tempo, yang membesuknya.
Wajahnya terlihat sumringah, tidak lagi pucat seperti ketika dia digelandang belasan aparat dari polisi militer, Selasa pekan lalu. Ia urung menghuni rumah tahanan militer Cimanggis, Depok. Padahal di tempat itu Pusat Polisi Militer telah menyiapkan tempat khusus untuk mantan Duta Besar RI untuk Madagaskar ini. Tertunda dihadapkan ke oditur militer, dan demi alasan kemanusiaan, ia diperkenankan menjalani perawatan.
Herman sudah lama diincar setelah mengelak bertahun-tahun dari kejaran oditur militer. Penggemar motor gede ini akhirnya tunduk setelah belasan petugas dari Pusat Polisi Militer mengintai persembunyiannya di salah satu cluster mewah, di Taman Telaga Golf, Vermont Parkland Virginia Lagoon, BSD City, Tangerang, Banten, Selasa pekan lalu. Penggemar kegiatan berburu ini menyerah setelah 29 jam dikepung.
Perburuan ini bukan mendadak. Menurut sumber Tempo, pengejaran telah dilakukan sejak dua tahun lalu. Namun Herman selalu saja lolos dari sergapan aparat. Penyergapan pernah dilakukan beberapa bulan lalu, sepulang Herman dari Singapura. Namun operasi polisi militer itu rupanya bocor. Di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, yang mendarat hanya keluarganya. Pria kelahiran Pandeglang, Banten, itu dikabarkan mendarat di Bali.
Renny Soediro, anak dari istri keduanya, diduga berperan penting di balik pelarian Herman. Tim pemburu akhirnya menandai, di mana ada Renny, di situ ada ayahnya. Sabtu pekan lalu, bertiup kabar sedap: melalui penelusuran Global Positioning System (GPS), anggota tim mengendus posisi Renny di sebuah rumah di kompleks Taman Telaga Golf, Tangerang.
FAJAR baru saja menyingsing, ketika sekelompok petugas berpakaian sipil menyusup masuk ke kompleks Taman Telaga Golf, Bumi Serpong Damai, Sabtu dua pekan lalu. Ada yang berpura-pura berolahraga. Ada yang berlagak sebagai penyapu jalan dan petugas satuan pengamanan kompleks. Tiga hari tim pemburu mengumpulkan keterangan untuk mengendus posisi Herman Sarens.
Setelah yakin akan posisi buruan, petugas dari Pusat Polisi Militer itu membuka penyamaran kepada anggota satpam setempat. Beberapa petugas satpam mengaku sempat kecolongan dengan masuknya orang-orang tak dikenal itu. Mereka lalu bekerja sama memburu Herman Sarens. ”Sekitar tiga hari, mereka menggantikan tugas kami,” ujar Muhammad Zaki, 40 tahun, petugas keamanan setempat.
Senin pagi itu, para pemburu menyiagakan dua anggota satpam dadakan di depan rumah Renny. Mereka bertugas memantau gerak-gerik keluarga Herman. Pukul enam pagi, salah seorang pembantu Renny, Dzulkifli, membuka pintu, membersihkan lantai teras. Petugas melihat gelagat mencurigakan, dua kendaraan Toyota Alphard dan Toyota Avanza yang biasa digunakan Herman dan keluarganya telah dihidupkan. ”Sejumlah koper dan tas juga sudah disiapkan di ruang tamu,” ujar sumber Tempo.
Tak ingin keduluan, enam orang anggota tim, dipimpin oditur militer dari Mahkamah Militer TNI, Mayor Wilder Boy, merangsek masuk. Pintu diketuk, mengucap salam, lalu tim ini masuk seraya menyebut identitas mereka. Saat itu sekelebat bayangan terlihat lari ke lantai atas—diduga dialah Herman Sarens Sudiro.
Renny Soediro, putri Herman, muncul menemui mereka. Renny, yang saat itu mengenakan gaun tidur putih, mengatakan bahwa ayahnya tak ada di rumah dan sedang berada di Singapura. Ia juga menolak ketika petugas hendak menggeledah. Ia beralasan, ini rumah dia, bukan rumah Herman Sarens.
Petugas tak percaya dan berusaha mengecek ke lantai atas. Namun Renny sigap menghalangi seraya mengunci pintu kamar di lantai atas, sehingga komunikasi antara petugas dan Renny hanya bisa dilakukan dari balik pintu. Saat itu, perempuan 35 tahun ini mengusir para petugas. Ia menolak upaya paksa yang dilakukan TNI, dengan alasan orang tuanya warga sipil.
Negosiasi dilanjutkan di ruang tamu. Selama berlangsung pembicaraan itu, Renny, yang ditemani seorang putranya, terlihat mondar-mandir menghubungi sejumlah orang. Hasil berunding dengan petugas yang dipimpin oleh Mayor Wilder Boy dan Mayor Subur dari Komando Daerah Militer Jakarta Raya itu berlangsung alot hingga beberapa jam.
Ketika hendak digeledah, Renny mengajukan sejumlah syarat. Ia meminta didampingi polisi. Begitu polisi didatangkan, dia kembali bertanya ihwal surat perintah penggeledahan dari oditur. Terpaksa surat dikirimkan melalui faksimile kepolisian setempat. Belakangan Renny meminta waktu seminggu untuk menyerahkan sendiri ayahnya. Namun polisi militer menolak. Mereka teringat pengalaman serupa pada Oktober tahun lalu. Ketika itu Herman, yang semula dijanjikan akan menyerah, ternyata menghilang.
Kesepakatan terjadi setelah campur tangan mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Herman digelandang dengan mobil pribadinya sesuai dengan keinginan keluarga, bukan mobil tahanan yang telah disiapkan. Belasan mobil petugas hanya mengiring sang jenderal dari belakang. ”Saya harus melindungi ayah saya,” ujar Renny kepada Tempo. Ia menolak upaya paksa karena, ”Ayah saya bukan teroris. Lagi pula, ini urusan sengketa kepemilikan, bukan penyalahgunaan wewenang seperti dituduhkan tentara.”
Di Markas Besar TNI Cijantung, Herman tak menuju ruang tahanan. Ia menjalani pemeriksaan kesehatan, lalu dibiarkan berkeliling markas dengan mobilnya. ”Bapak mau bernostalgia,” ujar sebuah sumber menirukan ucapan Renny. Aksi ini menjadi tontonan anggota tim yang berbulan-bulan memburunya. Herman akhirnya diizinkan dirawat di Rumah Sakit Mitra Kemayoran.
KASUS Herman bermula dari sebidang tanah di Jalan Buncit Raya 301, Mampang, Jakarta Selatan. Menurut Meike Wirdiati, pengacara dari kantor O.C. Kaligis, tanah itu awalnya dibeli Herman dari Ngudi Gunawan—pengusaha pendiri PT Indo Hero, pada 1966, seharga Rp 2 juta dengan status girik. Saat itu Herman masih berpangkat kolonel dan menjabat Komandan Brigade Kosatgas Markas Besar Angkatan Darat.
Kolonel Herman tak sendiri. Ia diperintah pejabat Presiden Soeharto untuk menyiapkan penampungan 100 kuda yang dibeli dari Pakistan untuk pasukan kavaleri tentara. Bersama kawan-kawannya, Herman mendirikan Djakarta International Saddle Club, yang sempat diresmikan Presiden Soeharto.
Tiga tahun kemudian, Wakil Panglima ABRI Jenderal Soemitro menugasi Herman mencari tanah untuk pusat olahraga. Herman kala itu menawarkan tanah miliknya. Maka Departemen Pertahanan dan Keamanan membeli sebagian tanah Herman seluas satu hektare dan dibangun sport center. Sisanya, yang dua hektare, masih milik Herman. Lahan dua hektare itu lalu dibuatkan sertifikat atas nama Herman dan lima anggota keluarganya.
Departemen Hankam bermaksud membeli dua hektare tanah sisanya pada 1975. Herman sempat menyerahkan kopi sertifikat tanah yang ditawarkan. Namun transaksi batal, bahkan malapetaka muncul. ”Sekelompok petinggi militer mempermasalahkan tanah tersebut,” ujar Thomas Abbon, pengacara Herman. Sejak itu, tanah berstatus sengketa. Buntutnya, Herman dicegah pergi ke luar negeri selama lima tahun pada 1993.
Dua tahun kemudian terbit surat perintah penahanan dari Kepala Staf Umum ABRI saat itu, Letnan Jenderal Suyono. Herman dituduh melakukan tindak pidana penyalahgunaan kewenangan, seperti diatur Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, jo Pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. ”Perbuatan itu dilakukan Herman saat menjabat Komandan Korps Markas Pertahanan dan Keamanan,” ujar Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen. Menurut Sagom, sebagai pejabat yang duduk di posisi itu, seharusnya Herman mengamankan dan mengurus surat-surat tanah atas nama institusi. Tapi ini sertifikat dibuat atas nama keluarganya dan sopirnya.
Tentara mulai bergerak. Pada Desember 1995, Herman diminta menyerahkan enam sertifikat lahan di Jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, itu. Herman menyerahkan sertifikat-sertifikat itu setelah Mayor Jenderal Syamsu Djalal, Komandan Pusat Polisi Militer saat itu, mendatanginya. ”Tanah itu dirampas,” ujar Herman saat ditemui di Rumah Sakit Mitra Kemayoran.
Syamsu Djalal membenarkan penyerahan sertifikat itu. Namun ia membantah kalau dibilang melakukan tekanan. ”Waktu itu Herman menyerahkan dengan baik-baik,” ujar mantan Jaksa Agung Muda Intelijen ini kepada Tempo. Pengambilan itu atas perintah Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, yang menilai lahan itu milik Departemen Pertahanan Keamanan.
Penyerahan sertifikat itu diikuti dengan pembuatan akta yang mengatur penyerahan dan pelepasan hak. Bukti inilah yang kemudian digunakan TNI untuk mengajukan sertifikat hak pakai kepada Badan Pertanahan atas nama Departemen Pertahanan. Sertifikat hak pakai itu terbit pada 2003.
Herman tak tinggal diam. Pada Agustus 2007, melalui kantor pengacara O.C. Kaligis, dia mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Mereka menggugat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Madya Jakarta Selatan selaku penerbit sertifikat hak pakai.
Pengadilan menolak gugatan mereka. Alasannya, menurut Meike Wirdiati, pengadilan tidak berhak memeriksa perkara itu, sebelum dibuktikan kepemilikan lahan yang sah lebih dulu. ”Itu harus melalui peradilan umum,” katanya. Selain itu, BPN selaku tergugat dianggap memiliki dasar menerbitkan sertifikat hak pakai kepada Departemen Hankam. Dasarnya: Akta Penyerahan dan Pelepasan Hak dan Akta Persetujuan Bersama dari Herman Sarens kepada Sumantri Dipraja, Komandan Detasemen Markas, Markas Besar TNI.
Kendati telah menyerahkan enam sertifikat, proses pidana terhadap Herman tetap diteruskan. Pada 17 April 1997, Oditur Mahkamah Militer Tinggi mulai menyidangkan perkaranya. Namun oditur tak pernah berhasil menghadirkan Herman.
Kasusnya kembali mencuat pada awal 2009. Mahkamah Militer Tinggi mulai menyidangkan kembali kasusnya. Menurut Marsekal Muda Sagom Tamboen, surat panggilan telah dilayangkan tiga kali, pada akhir Januari, Februari, dan Maret. Namun dia tak pernah datang tanpa alasan yang jelas, sampai akhirnya dilakukan pemanggilan paksa. Menurut Renny, kasus itu mencuat kembali karena pihaknya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Bisakah Herman dipidanakan? Pakar hukum pidana Andi Hamzah menilai, kalau tuduhannya tindak pidana penyalahgunaan wewenang, atau korupsi, masa berlakunya hingga 18 tahun. Jika perbuatan Herman dilakukan saat menjabat Komandan Korps Markas Hankam pada 1970/1971, kasusnya dianggap kedaluwarsa. Dia hanya bisa dituntut melalui gugatan perdata terhadap sertifikat kepemilikan tanahnya.
Ramidi, Joniansyah, Ayu Cipta, Yandi Rofiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo