Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERLAWANAN itu dirancang di perumahan bekas Batalion Angkutan Kuda Beban, Cililitan Besar, Jakarta Timur, Jumat malam pekan lalu. Bukan bersiap perang melawan penjajah, mereka mengatur benteng pertahanan agar tetap bisa menghuni rumah dinas. ”Kami menolak digusur,” kata Soetrisno, 67 tahun, Ketua Forum Musyawarah Keluarga Besar Angkutan Kuda Beban. Ayah Soetrisno adalah tentara Peta pejuang perintis kemerdekaan.
Sedikitnya 66 dari 150-an rumah di kompleks ini harus dikosongkan. Kewajiban itu muncul setelah terbit surat edaran Markas Besar Tentara Nasional Angkatan Darat melalui Direktorat Perbekalan dan Angkutan Angkatan Darat pada Oktober lalu. Isinya, dalam 110 hari sejak surat diterbitkan, penghuni harus meninggalkan rumah. Tenggat jatuh persis pada Senin pekan ini.
Sejumlah spanduk pun mereka bentangkan. ”Rumah Kami Bukan Rumah Dinas”, begitu bunyi tulisan di dekat gerbang perumahan. Spanduk lain bertulisan ”Orang Tua Kami adalah Pejuang yang Ikut Mendirikan NKRI”. Penghuni perumahan ini pindahan dari asrama Batalion Angkutan Kuda Beban di Gambir yang terkena proyek pengembangan Monas pada akhir dekade 1960. Menurut Soetrisno, lahan itu adalah pemberian Gubernur Ali Sadikin. Rumah mereka juga dibangun dengan uang sendiri. ”Kami juga membayar pajak dan listrik dari duit sendiri,” kata Soetrisno.
Perlawanan serupa terjadi di Perumahan Tentara Bulak Rantai, Kramat Jati, Jakarta Timur, dua pekan sebelumnya. Para penghuni menolak perintah pengosongan sembilan rumah keluarga perwira tinggi. Caranya, mereka memblokade jalan menuju kompleks perumahan itu untuk menghadang para eksekutor. Mereka kukuh tinggal di situ karena merasa tanah itu milik Sekretariat Negara untuk pasukan Cakrabirawa pada 1960-an—bukan milik tentara. Selain itu, rumah itu dibangun dari uang mereka sendiri.
Para penghuni mendapat dukungan mantan Kepala Staf Angkatan Darat Tyasno Sudarto. Sewaktu masih menjabat, Tyasno tinggal di Bulak Rantai. Sejak pensiun Tyasno tinggal di rumah pribadi di kawasan Kebayoran. Tyasno menyesalkan eksekusi pengosongan rumah di kompleks tentara yang tak manusiawi. ”Kok, kayak mau perang saja,” katanya.
Eksekusi pengosongan rumah penuh tangis dan dramatis sebelumnya juga terjadi di kompleks tentara Berlan, Matraman; dan Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta. Pengosongan 12 rumah di Kostrad Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Mei lalu, juga diwarnai bakar-bakaran ban dan perlawanan sengit. Peristiwa serupa terjadi di Makassar dan Surabaya.
Merasa senasib, para korban penggusuran membentuk wadah Forum Koordinasi Penghuni Perumahan Negara. Forum ini menghimpun penghuni rumah negara di sembilan provinsi.
Prastopo, koordinator hukum forum tersebut, mengatakan gencarnya pengusiran penghuni rumah negara di lingkungan tentara bermula dari terbitnya surat telegram Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Departemen Pertahanan Mayor Jenderal Suryadi pada Juli 2008. Surat ini merujuk peraturan presiden yang keluar lima bulan sebelumnya.
Isi surat menyebutkan rumah negara golongan dua hanya untuk pegawai negeri. Setelah pensiun, rumah dikembalikan ke negara. Di lingkungan Angkatan Darat, keluar surat telegram Kepala Staf Angkatan Darat pada April empat tahun lalu, yang memerintahkan semua panglima daerah tidak memberikan izin mengubah rumah dinas golongan dua menjadi golongan tiga.
Peraturan presiden menetapkan ada tiga golongan rumah negara. Golongan satu untuk pejabat saat menduduki jabatan tertentu, misalnya rumah dinas menteri. Golongan dua didiami selama masih aktif sebagai pegawai negeri. Golongan tiga adalah rumah negara yang bisa dijual kepada penghuninya. ”Yang diusir yang tinggal di rumah golongan dua,” kata Prastopo.
Menurut dia, kalau sudah digusur, tanah dibiarkan kosong. Ini terjadi di kompleks satuan peluru kendali Tangerang, Banten. Korban penggusuran yang sudah membangun rumah dengan uang sendiri, menurut Prastopo, tak diberi uang pengganti. Ironisnya, kata dia, di Bulak Rantai ada perwira aktif yang punya dua, bahkan tiga rumah.
Tyasno, Prastopo, dan Soetrisno curiga, penggusuran rumah dinas di lingkungan tentara untuk kepentingan bisnis. Sepertinya, kata dia, ada korelasi sejak ada kebijakan pengalihan bisnis tentara pada pemerintah sejak akhir 2004. Petinggi tentara mencari tambahan penghasilan dengan cara menyewakan tanah tentara kepada investor.
Soal ini bukan tak ada contoh. Kompleks perumahan tentara di Mampang kini jadi pusat belanja. Di Surabaya, perumahan prajurit di sebelah timur Markas Komando Daerah Militer Brawijaya kini berubah menjadi mal dan hotel megah.
Sagom Tambun, juru bicara Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, membantah. Menurut dia, pengosongan perumahan dinas semata-mata untuk menegakkan peraturan. Ia mengatakan saat ini jumlah tentara aktif sekitar 400 ribu. Adapun rumah dinas milik negara di lingkungan tentara hanya 180 ribu—40 persennya ditempati pensiunan. Dengan kata lain, masih banyak tentara tidak tinggal di rumah dinas. Padahal rumah dinas hanya untuk orang yang sedang dinas. ”Belum ada pengubahan status menjadi rumah dinas purnawirawan,” kata Sagom.
Ia juga menolak tudingan pengosongan dilakukan tidak manusiawi. Sebab, selama ini mereka telah menempuh cara-cara persuasif dan dialog. Kedatangan pasukan tentara aktif dalam eksekusi rumah, kata Sagom, tidak untuk menekan atau mengusir paksa. ”Kami membantu untuk mengeluarkan barang dari rumah dinas,” kata Sagom.
Sunudyantoro
Selalu Ricuh
Usaha Markas Besar TNI meminta kembali rumah dinas yang ditempati purnawirawan atau keluarganya tidak pernah mulus. Memang rumah dinas itu diperuntukkan bagi tentara yang masih aktif. Tapi, ketika sudah pensiun pun, purnawirawan dan keluarga tetap menempati rumah dinas hingga puluhan tahun.
MARET 2006-JULI 2007 30 MEI 2007 29 MEI 2009 18 FEBRUARI 2009 22 DESEMBER 2009 6 JANUARI 2010 9 JANUARI 2010 19 JANUARI 2010 22 JANUARI 2010 22 JANUARI 2010
Sebanyak 2.578 orang purnawirawan dipaksa meninggalkan perumahan dari 23 kompleks TNI di Makassar oleh Kodam VII Wirabuana.
Warga Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur berselisih dengan TNI AL soal kepemilikian lahan. Empat orang sipil tewas akibat tembakan peluru. Tiga belas anggota Marinir dimejahijaukan.
Warga menolak pengosongan rumah di Kompleks Kostrad di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Di dalamnya terdapat 658 rumah, hanya 183 yang ditempati prajurit aktif. Sisanya dihuni purnawirawan atau keturunannya.
Terjadi sengketa rumah dinas di Kompleks Dwikora, Cimanggis, Bogor dengan purnawirawan. Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Subandrio berjanji tidak menggunakan aksi kekerasan dalam penyelesaian sengketa ini.
Pengosongan rumah dinas TNI AD di Jalan Otista, Jakarta Timur, oleh Kodam Jaya ricuh.
Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya Mayor Jenderal TNI Suwarno meminta purnawirawan TNI segera meninggalkan rumah dinas yang mereka tempati. Lebih dari 14.500 orang prajurit di Jawa Timur yang belum memiliki rumah dinas.
Puluhan warga kompleks purnawirawan TNI AD Bulak Rantai, Kramat Jati, Jakarta Timur, menggelar unjuk rasa dan menolak pengosongan dengan alasan tanah yang mereka tempati bukan milik Kodam Jaya. Menurut mereka, tanah lebih dari 18 hektare itu milik Sekretariat Negara, yang dibebaskan pada 1964.
Puluhan orang pemilik rumah di Jalan Tanjung dan Teluk, Kelurahan Perak Barat, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya, mengadukan pengosongan tanah yang dilakukan secara paksa oleh pihak Lantamal V TNI-AL.
Warga kompleks perumahan eks Yon Angkub, Cililitan Besar, Jakarta Timur, memprotes pengosongan 66 rumah dinas. Sebuah spanduk besar terpasang: “Rumah Kami Bukan Rumah Dinas”.
Departemen Pertahanan menyatakan akan menerbitkan peraturan Menteri Pertahanan tentang aset negara pada Februari 2010. Peraturan ini secara khusus akan mengatur perihal aset negara yang dijadikan rumah dinas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo