Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENCANANGAN program seratus hari, yang tak diwajibkan aturan hukum mana pun di negeri ini, akhirnya menjadi barometer kinerja masa awal pemerintahan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika efektivitas kerja pemerintah yang menjadi ukuran, harus dikatakan Yudhoyono mendapat rapor dengan angka merah. Dia tak mampu mengelola modal hasil pemilihan umum yang sangat besar, yakni dukungan lebih dari 60 persen pemilih.
Angka merah itu berasal dari dua persoalan yang menguji kepemimpinan Yudhoyono dalam tiga bulan dan sepuluh hari belakangan ini. Pertama, perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kepolisian serta kejaksaan. Kedua, penyelamatan Bank Century pada November 2008 yang dipersoalkan Dewan Perwakilan Rakyat setelah setahun ”tenggelam”. Dalam dua ujian itu, Yudhoyono tak kunjung menemukan cara efektif menyelesaikan masalah agar tak berlarut-larut.
Ongkosnya sangat mahal. Kelambatan pucuk pimpinan pemerintah bersikap dalam perseteruan antarlembaga penegak hukum itu membuat seluruh energi terkuras untuk kasus ini. Pemberantasan korupsi bagai terhenti di tengah pertikaian. Presiden baru mengambil sikap setelah muncul tekanan publik yang luar biasa. Jika sejak awal diberesi, misalnya dengan mencopot pejabat di kepolisian yang menjadi biang pertikaian, niscaya masalah itu lekas tuntas.
Seandainya Presiden mengambil tanggung jawab atas penyelamatan Bank Century, barangkali persoalan tak berkembang semakin luas. Semestinya diyakini bahwa keputusan itu diambil secara benar demi menyelamatkan ekonomi, sehingga tak perlu ada keraguan untuk mengambil alih. Presiden tak patut membiarkan para pembantunya menjadi bulan-bulanan serangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Lazimnya presiden terpilih dengan dukungan meyakinkan, semangat kemenangan masih terasa dan itu membuat kepemimpinannya segar dan antusias. Ada contohnya. Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt, misalnya, segera setelah dilantik pada 1933, merangkul semua pihak untuk mengatasi depresi ekonomi yang melanda negerinya. Dengan kepemimpinan efektif, ia meloloskan lima belas undang-undang ke Kongres pada seratus hari pertama pemerintahannya.
Pemerintahan Yudhoyono dan Boediono bukannya tak menyiapkan rencana. Dalam rapat kabinet 5 November 2009, Presiden menetapkan Program Seratus Hari berisi 45 program dan 129 rencana aksi. Ia juga mengumumkan lima belas program pilihan yang wajib dilaksanakan, antara lain pemberantasan mafia hukum, revitalisasi industri pertahanan, penanggulangan terorisme, dan penanggulangan permasalahan listrik.
Sayang, sebagian besar rencana seratus hari itu malah terasa seperti program rutin. Pertikaian antarlembaga hukum dan heboh Bank Century yang tak cepat diselesaikan juga membuat semua program bagai hilang ditelan angin. Bisa dimengerti bila Wakil Presiden Boediono perlu memerintahkan para menteri berbicara di media massa agar program-program mereka terpublikasi.
Seratus hari pertama memang tak cukup buat menghakimi pemerintahan yang masih akan berkuasa sampai 2014. Tapi pada masa ”pembuka” ini, perlu dikatakan bahwa Presiden Yudhoyono belum memberikan sesuatu yang membuat publik optimistis akan keberhasilan seluruh programnya. Masih banyak waktu untuk mengejar ”target” yang luput di seratus hari pertama, termasuk untuk memperbaiki efektivitas kerja pemerintah. Asalkan, sikap kepemimpinan Presiden ikut berubah: lebih berani mengambil tindakan tegas di saat yang tepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo