Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OLIVER Twist beruntung tak lahir di Indonesia. Tokoh anak jalanan rekaan pengarang Charles Dickens itu memang menderita karena perlakuan orang dewasa di sekitarnya. Dia dipaksa bekerja keras, mencuri, makan seadanya, dan hukuman berat akan dijatuhkan bila sekali saja berbuat salah.
Nasib Oliver belum seberapa dibandingkan dengan penderitaan Ardiansyah. Pengamen berusia sembilan tahun yang berkeliaran di jalanan Jakarta itu tak cuma harus menghadapi orang dewasa yang culas, tapi juga monster jalanan yang mengerikan: penjahat seksual yang tak kenal belas kasihan.
Ardiansyah dan beberapa anak jalanan lain tewas di tangan seorang pengidap pedofilia sekaligus nekrofilia. Tubuh mereka terpotong-potong dan sulit dikenali. Kekejaman ini membuat kita miris. Di jalanan tampaknya ada begitu banyak monster berkeliaran, barangkali dengan kekejaman yang lebih mengerikan. Dulu kita mengenal sosok Robot Gedek, sekarang ada Babe. Sebagian monster itu juga memangsa anak perempuan jalanan.
Menurut Departemen Sosial, saat ini ada 232 ribu anak jalanan. Mereka merupakan simbol kemiskinan dan ketakpedulian kita kepada yang tak beruntung. Kemelaratan orang tua membuat anak jalanan harus berjuang sendiri mencari penghidupan.
Konstitusi jelas mengatur bahwa anak jalanan dilindungi oleh negara. Tapi kenyataannya kita melihat begitu jauhnya tangan negara untuk menjangkau anak-anak jalanan itu.
Setelah berita pembunuhan diangkat media, barulah pemerintah ribut. Malah terdengar gagasan nyeleneh untuk merazia dan memeriksa dubur mereka. Ide aneh ini jelas akan membuat anak jalanan tambah menderita lahir dan batin. Syukurlah gagasan itu tak jadi dilaksanakan.
Pemerintah kabarnya sadar bahwa anak jalanan bukan penyakit masyarakat yang berbahaya, melainkan korban yang harus diselamatkan. Penanganan anak jalanan secara profesional katanya sedang disiapkan. Mestinya, penanganan ini disertai dana yang cukup.
Anggaran Departemen Sosial untuk menangani anak jalanan tahun ini cuma Rp 184 miliar. Jumlah itu hanya cukup untuk menangani 140 ribu atau 60 persen anak jalanan. Dana tersebut akan digunakan untuk memelihara rumah singgah dan membekali mereka dengan keterampilan agar tak kembali ke jalan.
Pada periode 1995-1999, ketika Bank Pembangunan Asia masih membantu penanganan anak jalanan, tiap rumah singgah yang biasanya dikelola lembaga swadaya masyarakat mendapat bantuan Rp 300 juta per tahun. Sekarang, dengan anggaran yang mepet, jangankan untuk membangun rumah singgah baru, tiap rumah singgah yang sudah ada hanya memperoleh pasokan dana Rp 97 juta per tahun.
Anggaran yang terbatas tentu menyebabkan program pendampingan oleh pekerja sosial, misalnya, tak lagi bisa dilakukan secara rutin. Pemberian tutorial untuk pendidikan mereka juga tersendat. Apalagi pelatihan dan pemberian modal usaha untuk orang tua mereka.
Dewan Perwakilan Rakyat harus turun tangan. Dengan hak bujetnya, Dewan dapat meminta tambahan anggaran untuk memelihara anak jalanan secara semestinya. Bila tidak, mereka dikhawatirkan menjadi generasi yang hilang dan kelak menjadi beban masyarakat.
Partisipasi swasta jelas diperlukan dalam perang melawan bahaya generasi yang hilang ini. Swasta dapat mengarahkan anggaran tanggung jawab sosial perusahaan untuk membantu anak jalanan di lingkungan sekitar kantor atau pabrik mereka.
Seraya berharap sang monster jalanan dihukum berat, ikhtiar negara dan kita semua semestinya mencegah anak jalanan lain bernasib setragis Ardiansyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo