Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK gampang membesuk Herman Sarens Soediro di Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Jakarta. Sejak dirawat, Herman minta polisi militer menyaring tamu pembesuk, terlebih wartawan. Ia meminta ruang tempat dirawat dirahasiakan. Ketika bocor ke media, Herman pun sempat pindah ruangan. Dalihnya, keluarga tak mau kasus yang sedang membelit Herman semakin kusut. Namun, berkat bantuan mediator keluarga, Adhyaksa Dault, wartawan Tempo Anton Aprianto dan Yandi M. Rofiyandi bisa menjenguk dan mewawancarainya, Jumat pekan lalu.
Berikut petikannya:
Bagaimana kondisi kesehatan Anda?
Sudah mulai membaik, tapi baru bisa pulang paling cepat Minggu. Saya sebenarnya ingin cepat-cepat keluar. Awalnya, ketika masuk, tekanan darah sekitar 190 mmHG. Sekarang sudah normal, 120 mmHG.
Kenapa?
Tentu bosan. Paling hanya menonton televisi. Nama saya disebut-sebut belakangan ini, isunya mengalahkan kasus Bank Century. He-he-he….
Atau bosan, karena tak bisa berburu?
Saya memang senang berburu. Kalau diizinkan, sekarang saya bisa berburu babi hutan di hutan Bengkulu. Saya punya pondok di sana.
Kenapa Anda dirawat di Mitra, bukan seharusnya di rumah sakit rekomendasi Puspom di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat?
Karena di sini ada dokter yang biasa menangani penyakit saya, namanya dokter Hendrawan.
Mengenai insiden di rumah putri Anda di Serpong, bagaimana ceritanya?
He-he-he…. Itu bisa ditanyakan kepada Pak Adhyaksa. Saya sangat senang saat itu karena beliau 24 jam siap siaga membantu saya. Saya dekat dengan beliau saat menjadi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. Kebetulan saya juga promotor tinju dan aktif di bidang olahraga lain, termasuk pencinta mobil tua.
Bagaimana sebenarnya cerita kasus yang menimpa Anda?
Ini cerita lama, sebenarnya sudah selesai. Saya tidak tahu kenapa dibongkar lagi. Itu kan tanah milik saya dengan akta kepemilikan yang sah.
Lalu kenapa menjadi sengketa?
Saya tak tahu. Yang jelas, saya mendapatkannya secara sah.
Bagaimana Anda mendapatkan tanah di Warung Buncit itu?
Saya membelinya dari Ahmad Bakrie pada 1966 atau 1967. Harga tanah tiga hektare saat itu Rp 2 juta. Kalau sekarang bisa miliaran rupiah. (Menurut pengacara Herman, tanah itu dibeli dari Ngudi Gunawan, pengusaha pendiri PT Indo Hero pada 1966).
Ada tuduhan Anda membelinya dengan uang TNI, lalu muncul pasal penggelapan itu?
Tidak benar. Itu harus diluruskan. Saya sudah bilang tadi, saya membelinya secara sah.
Lalu kenapa dibuat enam surat kepemilikan?
Itu hak saya dong, sebagai pemilik.
Kapan persisnya sengketa itu?
Pada 1995. Setelah itu, tanah tersebut disita dan dilarang ada aktivitas apa pun di dalamnya.
Setelah itu, Anda menyerahkan sertifikat kepemilikan itu ke TNI?
Bukan diserahkan, surat-surat itu memang dirampas dari tangan saya.
Kalau melihat sejarahnya, bukankah TNI sendiri yang meminta Satria Kinayungan itu dibangun?
Betul. Dulu Soeharto sendiri yang meminta saya membangun istal. Lalu Soemitro minta di kawasan itu dibangun juga arena olahraganya buat TNI.
Bukannya Anda juga punya kuda saat itu, bahkan ada yang untuk diekspor?
Ya, itu untuk pacuan. Tetapi sekarang sudah tidak ada, saya berikan ke teman untuk dirawat, karena saya tak punya tempat.
Bukannya TNI menawarkan tanah pengganti untuk Anda?
(Tersenyum dan tidak menjawab.)
Sasana tinju Kinayungan juga mencetak atlet-altet tinju terbaik?
Semua tahu itu. Bagaimana sasana Kinayungan mencetak mereka. Ellyas Pical juga berlatih di sana.
Menurut Anda, tak perlu disengketakan?
Saya tidak tahu persis alasannya. Dulu harganya murah, sekarang nilainya besar. Banyak orang berkepentingan.
Anda sakit hati?
Saya kecewa. Ternyata jasa-jasa para veteran itu dikesampingkan. Saya ini berjuang sejak zaman kemerdekaan sampai menumpas Gerakan 30 September. Kemerdekaan Indonesia itu tidak jatuh dari langit. Di negara lain, veteran itu betul-betul dihargai.
Purnawirawan biasanya aktif di politik supaya ada yang membela kalau kena kasus.
Saya tidak tertarik ke politik. Dari dulu, partai saya adalah TNI. Itu saja. Titik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo