TUKANG jagal dari Lyons. Orang itu bernama Klaus Barbie, dan
mungkin anda sudah mengikuti beritanya yang cukup riuh: usaha
yang tak kenal letih--dan sukses--untuk menyeret begundal itu ke
depan mahkamah.
Dahulu, sambil kelonan dengan seorang lonte, Barbie menyuruh
menghajar seorang tahanan sampai pingsan. Dan untuk
menyadarkannya kembali orang malang itu diceburkan ke dalam
kolam. Suatu ketika, seorang anak direnggut dari sisi ibunya,
lalu dikirim ke kamar gas. Lain kali ia mengunci 100 murid di
ruangan sekolah--kemudian membakar dan meledakkan gedung itu
dengan dinamit.
Itu sebagian saja dari contoh-contoh kebiadaban khas 'Kerajaan
Ketiga' Jerman Raya di bawah Hitler. Dan untuk Lyons, Prancis,
Barbie-lah biang keroknya. Menjabat kepala intel Nazi Jerman
antara 1942 dan musim panas 1944 di kota itu, ia memiliki
"reputasi cemerlang". Melakukan 4.342 pembunuhan dan memberikan
7.591 perintah pengiriman tahanan ke kamp-kamp kematian. Jean
Moulin, kepala gerakan bawah tanah Lyons, disiksanya
habis-habisan sebelum menemui ajal di tangannya sendiri .
Usai perang, Klaus Barbie kabur. Sempat dua kali ditangkap, tapi
untuk setiap kali ia berhasil meloloskan diri. Dua kai pula
Mahkamah Militer Lyons menghukumnya mati tanpa kehadirannya--16
Mei 1947 dan 26 November 1954. Hukuman mati yang tidak mematikan
tentu saja membuat orang lebih penasaran. Banyak orang terus
melacak dan memburunya-termasuk Serge Klarsfeld, ahli hukum
Prancis. Dan perburuan 30 tahun itu berakhir Februari kemarin,
ketika Barbie benar-benar bisa dijebloskan kembali ke dalam
tahanan Kota Lyons. Kali ini untuk yang terakhir, tentu orang
toh tak mau kehilangan tongkat sampai tiga kali.
Lahir di Bad Godesberg, Jerman, 25 Oktober 1913, Barbie
tergolong masih muda ketika ia mencatatkan diri sebagai anggota
Pemuda Hitler (Hitler Jugend) di bawah nomor 272-284. Usianya
malah baru 29 tahun ketika ia sudah menjadi kepala Seksi IV
Gestapo di Lyons, dengan tugas khusus menumpas gerakan
perlawanan bawah tanah (Resistance). Ia bermarkas di Hotel
Terminus. Dan gedung itu segera menjadi rumah penyiksaan.
Predikat 'tukang jagal' sudah sejak itu pula melekat pada
namanya.
"Barbie adalah Nazi-nya Nazi," tulis Newsweek 21 Februari
kemarin. "Setia, brutal, dan tidak begitu pintar." Itulah memang
sifat Naziwan yang ideal. Acuh tak acuh, dua tahun ia tinggal
kelas di sebuah sekolah menengah di barat daya Bonn. Dalam file
SS-nya ada terselip rasa bangga, ketika ia menyebut dirinya
"berambut pirang gelap yang halus" dan "sikap teguhnya konsisten
dan positif" terhadap Sosialisme Nasional-nya Hitler. Ada juga
"cacat"nya: istrinya tidak mampu memberinya seorang anak
perempuan seperti yang dianjur-anjurkan di kalangan SS--dalam
usaha melipatgandakan keturunan Arya. Barbie hanya memiliki
seorang anak laki-laki.
Bergabung dengan Seksi Yahudi SS, ia kemudian dikirim ke Hague,
Negeri Belanda, dan mendapat promosi letnan penuh di sana. Dari
Hague dipindahkan ke Amsterdam, dan dari sana ia turut
mengirimkan 300 Yahudi ke kamp konsentrasi di Mauthausen.
Begitulah para penyelidik Belanda mencatat.
September 1942 ia diperintahkan pergi ke Lyons, Prancis, pusat
kegiatan utama Resistance di daerah Prancis yang "tidak
diduduki". Berperawakan gemuk, senang berpakaian rapi, ia segera
memamerkan tongkrongan yang penuh gaya sebagai deputi komandan
barisan intel. Di saat "bekerja" ia hanya memakai kemeja, dan
senang menyalak-nyalak waktu melakukan interogasi. Lebih jauh,
ia ringan tangan--sifat yang juga "ideal". Ia mengiringi hampir
setiap pertanyaan dengan ayunan gada hitam, pentung, selain
tabokan sekali-dua. "Ia hanya berhenti jika anda jatuh pingsan,"
tutur Maurice Boudet.
Pemimpin gerakan bawah tanah ini dulu terpegang oleh anak buah
Barbie juga. "Kemudian ia akan menyadarkan anda dengan tendangan
pada lambung, rusuk, selangkangan. Jika itu tidak jalan, ia
melemparkan anda ke kolam air es, yang bungkah-bungkah esnya
masih terapung di permukaan. Keluar dari kolam, kembali lagi
pukulan gada hitam yang membuat kulit sampeyan mengelupas.
Disusul dengan suntikan acidke saluran kencing.
Ketika ada yang meledakkan restoran langganan Barbie, lima orang
tahanan ia drel dengan rentetan peluru senapan mesin--dan
dibiarkan tergeletak sebagai tontonan peringatan. Suatu saat
seorang serdadu Jerman terbunuh. Pembalasannya: seluruh pintu
tahanan dibuka lebar-lebar, seperti 'mengizinkan' pelarian.
Tetapi waktu 'izin' itu dipergunakan, 24 orang diberondong mati.
Tangkapan besar Barbie memang Jean Moulin itu. Orang inilah yang
mendapat tugas Charles de Gaulle mempersatukan berbagai kelompok
anti-Nazi di kawasan Lyons. Akhir Juni 1943, Max atau Rex--nama
perang Moulin--mengadakan rapat dengan para pembantu puncaknya.
Barbie, yang sudah dapat info sebelumnya, datang ke sana--dan
langsung menggerebek.
"Barbie menjadikan Moulin proyek khusus," cerita Gottlieb Fuchs,
nasionalis Swiss yang sempat menjadi penerjemah Barbie sebelum
masuk kamp konsentrasi. Dialah salah seorang yang menyaksikan
Moulin terakhir kali di dalam kamar pemeriksaan Barbie--masih
bernapas, tapi sudah seperti babi habis digorok.
Setelah Barbie pergi, ceritanya, Fuchs mencoba menyeka darah
yang mengucur di wajah Moulin. "Kubuat semacam ganjal, dari kain
jaketnya, untuk mencegah paru-parunya kemasukan darah,"
tuturnya. "Orang itu sedang sekarat. Batang tenggorokannya
menganga." Barbie mengirimkan partisan itu dengan kereta ke
Paris. Percuma. Moulin mati di jalan.
Perang Dunia pun mulai miring untuk kekalahan Jerman. Tetapi
bagai hantu kesiangan, Barbie malah menggerayang ke hampir
serata desa, di sekitar Lyons. Para pembantunya menggarong
permata dan benda-benda berharga lain dari orang-orang yang
datang memenuhi panggilan interogasi.
Yahudi-Yahudi yang dikirimnya ke Auschwitz kebanyakan tidak
sempat menyaksikan emper stasiun-keburu mampus. "Barbie
menjejalkan mereka ke dalam gerbong-gerbong ternak tanpa air dan
makanan," kata Michael Thomas, orang Lyons yang selamat.
"Perjalanan makan waktu dua minggu, karena itu setiap orang yang
ikut mati. Jerman-Jerman itu harus memakai masker gas ketika
membongkar bangkai-bangkai mereka. "
Perang usai. Si tukang jagal, menghapus--dengan membakar
kulitnya--tato identifikasi SS-nya yang bernomor 272-284 itu.
Orang Inggris sempat menangkapnya, tapi ia lolos, seperti sudah
disebut. Pihak Jerman sendiri mencarinya--tapi untuk kasus
perampokan permata. Dan justru pada saat itulah orang-orang
Amerika mencomotnya-untuk dimanfaatkan. Barbie dilindungi para
intel AS yang memerlukan info bernilai tentang Soviet, sekutu
perang yang segera berubah menjadi musuh.
Barbie sendiri cukup arif tentang nilai dirinya sebagai gudang
info tentang Blok Timur. Orang-orang AS lalu memberinya
identitas yang bersih, dan 1.700 dollar per bulan-menurut salah
seorang interogator AS sendiri, Erhard Dabringhaus. Ia
disembunyikan di sebuah rumah yang aman, di Augsburg.
Toh Barbie cukup cerdik. Ia tidak memberikan informasi
"segudang" sekaligus. Diketengnya "satu ons demi satu ons".
Bagaimanapun ada keterangannya yang cukup bernilai, setidaknya
bagi AS. Yaitu tentang lokasi sebuah tambang uranium Soviet di
daerah Jerman yang kini termasuk wilayah Jerman Timur. Ini dapat
dianggap sebagai bukti kegiatan Sovie membuat bom atom.
Dan lewat status seperti itu, Barbie membuka jalannya untuk
lari--ke Bolivia, 1951. Ia malah mengantungi surat keterangan
resmi Palang Merah plus visa resmi. Namanya kini: Klaus Altmann
Haussen.
"Kalau saja kutahu bedebah itu akan kabur," kata Dabringhaus
suatu kali, "kupikir akan kukirimkan sebutir peluru ke dalam
tubuhnya." Terlambat.
Tiba di Provinsi Genes, Bolivia, Klaus Altmann Haussen segera
melihat sebuah negeri termiskin di Amerika Selatan. Memang.
Sampai saat-saat terakhir negeri itu menanam utang pada
negara-negara lain lebih dari US$3 milyar. Angka penduduk yang
buta huruf sekitar 30-60%, dan 40% dari enam juta penduduknya
berusia kurang dari 15 tahun. Terletak di dataran tinggi,
pemandangan alamnya mempesona--satu-satu-satunya kebanggaan
negeri kecil itu.
La Paz, tempat Barbie bermukim, tegak di ketinggian 4.000 meter,
berudara jernih dan kemerlap oleh lampu-lampu neon. Menjadi daya
tarik orang dusun maupun para gringgo alias yankee dari utara.
"Di sini angkatan perang selalu kalah," tutur J.P. Genedalam Le
Point. "Tetapi mereka sukses 'menyelenggarakan' kup 190 kali
dalam waktu 150 tahun."
Enam tahun setelah menetap di Bolivia, Klaus Altmann memperoleh
kewarganegaraan. Ketika Zuazo menjadi wakil presiden, penjahat
perang itu mendirikan perusahaan, Transmaritima Boliviana, yang
15% sahamnya di tangan pemerintah. Tugas perusahaan itu
menggalakkan perdagangan luar negeri Bolivia yang pernah
kehilangan sebagian wilayah tepi lautnya setelah berperang
melawan Chili itu.
Tetapi gagal. Terbetik kecurangan yang dilakukan sang presdir
sendiri, yang membuatnya merdekam beberapa minggu di balik
jeriji bui di Peru dan Bolivia sendiri. Ini segera disusul
pukulan lebih berardi bulan Desember 1971. Dua "pemburu Nazi",
Serge dan Beate Klarsfeld, mencium baunya. Lantas beberapa bulan
kemudian, 1972, Prancis menuntut ekstradisi gembong itu.
Sia-sia. Presiden Bolivia saat itu, Banzer, sahabat kental
Barbie. "Yang diusir bukan Klaus Altmann, tapi suami-istri
Klarsfeid," tulis Gene.
Persahabatan itu sudah dimulai sejak Jenderal Hugo Banzer
memulai usaha merebut kekuasaan melalui kup di tahun 1971.
Seorang pembantu dekat Hugo malah terang-terangan tampil ke
layar tv di Jerman, mengumumkan bahwa Banzer dicukongi
"masyarakat Nazi" di negeri itu. Banzer (juga keturunan Jerman)
memang dikatakan kenal baik Barbie. Tak heran bila saat itu si
tukang jagal mulai muncul di depan umum, secara perlahan dan
pasti. Ia malah punya peranan sebagai pembantu di Depdagri dan
Dephankam.
Pengalaman dan relasinya memang dinilai sangat berharga oleh
rezim berkuasa Bolivia. Itulah sebabnya ia diutus ke Eropa untuk
membeli peralatan perang--menggunakan paspor diplomatik. Ia
berhasil mendapat sejumlah kereta lapis baja, yang digunakan
menumpas kudeta baru di negeri itu.
Lantas secara tetap Barbie (eh, Altmann) mengunjungi confitaria,
kedai kopi di La Paz yang sering dikunjungi tokoh-tokoh bisnis,
politik dan pers. Kehidupan sehariharinya dibaginya di tiga
tempat: di kediaman resminya di Cochabamba, sambil mengawasi
perusahaan bahan bangunan miliknya, di sebuah hacienda-nya di
Santa Cruz, kota kedua terbesar yang sedang menikmati boom
minyak dan gas bumi, dan di apartemen-apartemennya di La Paz,
tempat ia mengendalikan perusahaan angkutan.
Alasan Mahkamah Agung (di bawah wibawa presiden) menolak
pengembalian Barbie ke Prancis cukup kuat. Pertama, tidak pernah
ada perjanjian ekstradisi Prancis Bolivia. Kedua, tuduhan
terhadap Barbie--kejahatan perang--tidak dikenal dalam hukum
Bolivia. Ketiga, tuduhan itu pun mereka anggap sudah
kadaluwarsa. Itulah resminya.
Penolakan itu lantas dirayakan meriah di Santa Cruz. Tepatnya di
Bar Bavaria, yang namanya diambil dari nama daerah di Jerman.
Dalam pestapesta resmi di sana para tamu mengenakan seragam
tentara Nazi mabuk-mabuk minum arak sambil menyanyikan
himne-himne"Bangsa Arya", dilayani gadis-gadis yang sengaja
didatangkan dari Frankfurt. Pemilik bar itu sendiri, bekas
tentara bayaran dan anggota Legiun Spanyol, merangkap mucikari,
kebetulan punya hobi mengumpulkan dan memamerkan pakaian seragam
Nazi.
Tamu-tamunya juga fasis tulen, asal Jerman dan Italia - dan
buronan. Misalnya: Manfred Kuhlmann, Heinz Lauer, Hans
Landowski, Frans Josef Boefle, Manfred Kanter, Kay Gwinne, Hans
Stellfeld, Carsten Vollmer, Wolfgang Walterkirche.
Dan Klaus Barbie adalah pemimpin mereka. Dibanding para anak
buahnya, Barbie sebenarnya lebih tertutup. Toh suatu ketika,
barangkali tak tahan dilecut rasa sombong, si tukang jagal tidak
bisa menahan diri. Dalam satu arisan masyarakat Jerman,
tiba-tiba saja keluar sorakannya: "Heil Hitler!" Dubes Jerman
yang hadir di sana langsung memerintahkan pengusirannya dari
tempat resepsi.
Selebihnya Barbie tidak menyolok. Ia diam-diam mempersiapkan
Hari H. Aktivitas anak buahnya dibuat sesamar mungkin: sebagai
pelatih paramiliter di kalangan FSB, Falange Sosialis Bolivia,
organisasi ekstrim kanan yang bermarkas di Santa Cruz.
Dan di penghujung 1979 dan awal 1980, berlangsunglah gladiresik
"kup dunia". Pendukungnya memang pejajaran semua. Pertama
kelompok penyelundup kokain - yang menyiapkan dana. Kedua
kelompok mafia Nazi pimpinan Kolonel Luis Arca Gomez. Si Gomez
itu bekas pembantu Presiden Banzer, dan terang-terangan menyebut
Barbie sahabat karib.
Kup itu, yang ternyata hanya kudeta di negeri yang secuil,
berlangsung sukses - Juli 1980. Garcia tampil di pucuk. Masih di
tahun yang sama, Desember, harian El Pais Santa Cruz menampilkan
tampang Barbie secara menyolok - dalam seragam Nazi. Foto
bersama itu juga menampilkan Herbert Kopplin, Hans Stellfeld,
Joaquim Fiebelkorn, Manfred Kuhlmann, Wolfgang Walterkirche,
semua berseragam dan lengkap menyandang senjata.
Juga Jean Leclerk, orang Prancis bekas angota organisasi
penentang kemerdekaan Aljazair, OAS. Si Jean itu dulu diusir
dari Marseille, Prancis, setelah terbongkar perdagangan obat
bius ala French Connection. Ada pula Mosco Monroy, bajingan
Bolivia yang sadis, dan Adolfo Ustarrez, bos bea cukai yang
mencukongi pemerintahan diktatur.
Semua hal-ihwal kelompok Barbie itu telah diungkapkan mingguan
Italia Panorama, berdasarkan pengakuan Elio Ciodes. Ciodes
mengaku dirinya agen dinas rahasia Prancis yang ditawan di
Swiss, dan pernah berapat dengan kelompok Santa Cruz itu.
Menurut dia, Fiebelkorn, pemilik Bar Bavaria, sesampainya di
Santa Cruz telah membentuk kelompok tentara bayaran Jerman. Ia
sebelumnya melarikan diridari Paraguay, setelah Adolf Meike,
rekannya sesama SS, terbunuh dalam permainan rulet Rusia.
Selanjutnya ada seorang petinju kelas menengah, Herbert Kopplin
alias Icke, 52 tahun. Ia pernah tinggal di Berlin dan sempat
menjadi anggota pasukan lapis baja SS pimpinan Jenderal Steiner.
Ditawan Soviet sampai dengan 1952, ia pandai bongkar-pasang
senjata, menurut Ciodes. Lantas Hans Juergen, bekas tukang
listrik PNKA yang mati karena sering mabuk-mabukan - padahal ia
paling simpatik konon.
Manfred Kuhimann juga termasuk. Ia sopir paling mahir, yang
sering gelisah dan marah-marah kepada Kay Gwinner, orang Chili
turunan Jerman yang diasingkan Presiden Allende. Jean - aslinya
bernama Napoleon Leclerk, sebagai anggota Legiun Asing Prancis,
paling banyak menganiaya pejuang Aljazair. Ia paling sering
berpakaian seragam dengan granat menyantel di pinggang. "Ia
tidak pernah membayar makanan dan minumannya, dan semua orang
disangkanya komunis."
Kemudian sahabat karib Fiebelkorn yang bernama Hans Stellfeid.
Umurnya 65, bekas Gestapora serba bisa: pelatih militer, ahli
keramik, pedagang satwa langka plus narkotika, dan importir
senjata. Toh ia kemudian bunuh diri.
Kelompok sembilan itulah yang berhubungan langsung dengan markas
Nazi di La Paz, pimpinan Klaus Barbie. Tujuan mereka: "Menyusun
barisan dan menunjukkan kekuatan."
Mereka berlatih di rumah bos perdagangan kokain, Alfredo
Gutierrez. Mereka pulalah yang pada 17Juli 1980 menyerbu Istana
Presiden di La Paz, dan memaksa Linda Gueiler, presiden
adinterim, menyerahkan kekuasaan. Ini dilanjutkan dengan
pembantaian para tokoh politik dan buruh.
Bulan Mei 1980, polisi Brazil menangkap delapan orang di Campo
Grande, dekat tapal batas Bolivia termasuk Kuhlmann dan
Fiebelkorn bersama sejumlah pelacur pensiunan dari Bar Bavaria.
Bersama mereka ditemukan empat granat tangan, dua senapan mesin
ringan, satu tas pamflet propaganda Nazi, daftar 30 orang
kaki-tangan, dan 30 kg kokain. Kuhlmann dan Fiebelkorn berhasil
melarikan diri.
Dari surat keterangan yang ada pada mereka, diketahui predikat
mereka"agen rahasia". Lalu untuk membersihkan nama negaranya,
Rudy Landivar, konsul Bolivia di Campo Grande, mengatakan "kaum
penyelundup itu bertindak atas perintah Klaus Barbie." Dua bulan
kemudian pecahlah kudeta di Bolivia itu.
Tetapi pasang naik terjadi bagi musuh-musuh Nazi. Sumpah-serapah
dunia, terutama negeri-negeri Barat yang mengalaminya langsung,
mendesak ke permukaan. Klaus Barbie makin santer dituding dan
diutik-utik pers Barat, meskipun tetap tenang-tenang saja.
Agustus tahun kemarin, wartawan Edward Shumacher dari New York
Times dan Peter Mac Farren dari Newsweek menjumpainya di
kediamannya di Cochabamba. Barbie tidak memberi pintu - dan
hanya mau berbicara dari baliknya. Ketika kedua wartawan memaksa
ia menelepon Servicio Especial de Seguridad (SES), yang kemudian
datang dengan empat mobil. Keduanya ditangkap - dan baru
dilepaskan setelah diinterogasi secara terpisah selama empat jam
di Markas Divisi VII AD. Merasa posisinya kuat, tukang jagal itu
tidak senang dirongrong. "Saya dihormati orang di sini," katanya
kepada wartawan mingguan Stern. "Setiap mereka (militer)
memerlukan bantuan, saya dihubungi."
Tetapi di negeri itu segera berlangsung pemogokan-pemogokan
buruh yang makin seru. Diktator Meza terpaksa mengundurkan diri,
dan menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Celsio Torrelio,
sejawatnya sendiri di Staf Umum, yang kemudian ganti menyerahkan
pucuk pimpinan kepada Jenderal Guido Vildoso. Namun pengggantian
kekuasaan itu seperti tidak diacuhkan bedebah Nazi itu.
Padahal, pada saat Vildoso dilantik, 22 Juli 1982, terjadi suatu
insiden, kendati kecil saja. Barbie diterima di Istana Quemado,
dan itu melahirkan tanggapan dari serikat buruh dan politisi.
"Sebagai perlambang kerja sama penindasan kaum fasis," menurut
penulis Gene, "di tengahtengah suara hendak memulihkan kehidupan
demokrasi." Rupanya diperlukan waktu sembilan bulan bagi
pemerintah untuk mengeluarkan tanggapan: kunjungan Barbie
"bersifat tidak resmi."
Pemerintah memang masih melindungi. Malah El-Deber, surat kabar
Santa Cruz, menarik persamaan antara Regis Debray dan Klaus
Barbie. "Altmann, atau Barbie, dan Debray, sama-sama tidak
disukai Prancis dan Bolivia," tulisnya. Debray, yang bersama Che
Guevara gagal menggalang barisan bawah tanah itu, konon intim
dengan Presiden Prancis Francois Mitterand malah diangkat
menjadi penasihat ahlinya. Dan itu membuat El Deber heran.
"Media Prancis berang ketika terjadi pertemuan Klaus Barbie dan
Jenderal Vildoso. Namun tidak mengindahkan perasaan Pemerintah
Bolivia, dengan dipilihnya Debray - yang bekas hukuman Bolivia -
sebagai pembantu dekat Presiden Prancis," katanya.
Namun pleidoi El Deber tidak mampu menyelamatkan si tukang jagal
dari Lyons. Sejak beberapa bulan sebelumnya Dubes Jerman di La
Paz menyampaikan permintaan ekstradisi terhadap Barbie alias
Altmann. Alasannya: dia dituduh membunuh Jacques Kemmler,
seorang Prancis, di Pegunungan Jura dalam masa pendudukan.
Karena tuduhan serupa ia pernah dinyatakan bersalah oleh
pengadilan di Augsburg.
Alhamdulillah. Tindakan Kedubes Jerman itu didukung oleh
kebangkrutan kekuasaan militer di La Paz, 10 Oktober 1982.
Pemulihan kekuasaan kepada pihak sipil dilaksanakan hari itu.
Herman Siles Zuazo menjadi presiden. Garcia Meza dan Arce Gomez
ngacir ke Argentina. Adapun Klaus Barbie, entah mengapa,
bertahan. Pokoknya optimis . UNGKIN karena Regina, istrinya yang
sakit kanker, tidak bisa meninggalkan -- LaPaz. Desember 1982
istri tercinta itu meninggal dan dimakamkan di kawasan pemukiman
Jerman di La Paz. Setahun sebelumnya ia sudah ditinggalkan
anaknya, Klaus, yang mati dalam satu kecelakaan di dataran
Delta.
Ditinggal istri dan anak, Barbie sebatang kara. Dan tidak lama
setelah pemakaman istrinya, tukang jagal itu menarik diri.
Ditinggalkannya La Paz. Lalu berdiam di hacienda menantunya di
Santa Cruz. Di sini mafia militer maupun mafia kokain memang
masih leluasa melakukan kegiatan. "Klaus Barbie tampaknya
menantikan perkembangan baru dengan penuh kesabaran," komentar
wartawan Le Poin itu.
Ada alasan lain mengapa ia merasa tidak perlu melarikan diri.
Tampaknya ia yakin, permintaan ekstradisi terhadap dirinya tidak
akan diluluskan. Dikunjunginya kantor pengacaranya di Calle
Indaburo No. 945, untuk lebih meyakinkan diri.
Malah suatu hari, ketika wartawan kita Gene menemui sendiri
Maitre Constantino Carrion, pengacara itu bilang dengan mantap:
"Barbie tidak akan diekstradisikan." Ahli hukum konstitusional
yang lanjut usia itu mernang memiliki tongkrongan yang
meyakinkan. Ia bekas menteri pertanian, senator, ketua Parlemen,
dekan, dan beberapa 'bekas' lainnya. Apa katanya kepada Gene?
Mengapa Jepang tidak pernah menuntut ekstradisi presiden AS yang
memerintahkan pengeboman Hiroshima? Itu jauh lebih berat
ketimbang kesalahan Klaus Barbie." Pertanyaan semacam ini, tulis
Gene, "berulang kali saya dengar di Bolivia. Penduduk negeri itu
sendiri jengkel tentang persengketaan soal ekstradisi itu,
sementara mereka menghadapi banyak soal lain yang lebih
penting."
Hanya, kebetulan pemerintah sipil yang ingin demokratis
memandang urusan ekstradisi tersebut tidak kurang pentingnya.
Manfaatnya: menambah ikhtiar memulihkan rasa hormat kepada UUD,
khususnya tentang pemisahan wewenang antara kekuasaan eksekutif
dan peradilan yang selama ini kabur. Untuk menggarisi pemisahan
wewenang itu, Mahkamah Agung - yang pada instansi terakhir harus
memberikan kata putus terhadap permintaan ekstradisi Klaus
Barbie - bersidang di Sucre, ibukota resmi Republik Bolivia,
secara benar-benar bebas.
Sebagai satu-satunya instansi yang berkedudukan di Sucre,
Mahkamah cukup repot. Berkas-berkas perkara Barbie harus
mundar-mandir kiankemari antara Sucre dan La Paz tempat
kedudukan instansi pemerintahan lainnya dan semua Kedubes.
Sempat ada berkas yang "hilang" - yang anehnya diketemukan
kembali setelah datang protes dari negara-negara yang
berkepentingan .
Pemerintahan Siles Zuazo sendiri, dalam upaya menghormati
kebebasan peradilan, sudah mengganti keduabelas hakim agung.
Celakanya, mereka itu harus dipilih oleh Senat dan Senat
sebagian besarnya terdiri dari kaum oposisi. Hasil Pemilu Juni
1980 itu akhirnya mendudukkan tujuh orang hakim agung dari pihak
oposisi di dalam MA, dan hanya lima dari partai yang berkuasa.
Ketuanya sendiri anggota partai Jenderal Banzer, sekutu Barbie
itu. Padahal tugas awal MA tak lain memberikan angguk atau
geleng terhadap ekstradisi Barbie. Tidak heran kalau banyak
orang - termasuk pengacara tua itu, dan Klaus sendiri - yakin
hakkul yakin permintaan ekstradisi akan ditolak.
Dubes Jeman Barat sendiri, dan rekannya dari Prancis, juga
sudah putus asa. Yang dapat mereka lakukan tlnggal im: memintd
MA mengusir Barbie ke luar Bolivia, kalau ekstradii memang
tidak akan dlluluskan. Janji diberikan, tapi lamalama dingin
sendiri. Pada eselon pucuk, kalangan diplomatik memang masih
melihat iktikad baik - tapi pada lapisan di bawahnya,
wallahualam bisawab. Soalnya mereka ini gampang disogok, karena
gaji yang kecil. Bayangkan, anggota bagian pemberantasan obat
bius saja, pekerjaan yang seharusnya begitu serius, gajinya
kurang dari US$ 50 sebulan, alias Rp 35.000. Mana tahan.
Namun, ada yang terjadi: baru saja beberapa bulan Marro Roncal
memangku jabatan Mendagri merangkap Menkeh, ia telah melarang
Barbie berpergian ke luar negeri sampai keluarnya keputusan MA.
Lalu beberapa hari kemudian tersebar sassus, Barbie justru
telah 'menguap' ke luar ngeri. Namun Barbie memang bedebah
fatal, rupanya. Sehari setelah kabar angin itu muncul di koran,
ia sengaja jual tampang di sepanjang Prado, jalan raya utama La
Paz. Lengkap dengan para pengawal.
Demikianlah kasus Barbie alias Altmann sampai dengan 25 Januari
1983, menurut wartawan Le Point. Lalu terjadi kejutan: sebuah
pemancar radio swasta niaga Bolivia mengumumkan penangkapan
terhadap dirinya.
Pengadilan Bolivia, negeri yang sangat jauh dari Jerman atau
Prancis itu, rupanya telah menggali kembali suatu berkas lama
dari tahun 1975. Di sana terungkap: pihak COMIBOL (perusahaan
pertambangan Bolivia) yang telah dinasionalisasikan mencatat
utang US$ 10 ribu yang dibuat Barbie selaku Presdir
Transmaritima Boliviana. Ia waktu itu ditugasi mengangkut timah
seharga US$ 10 juta. Perkara ini dulu dibekukan Banzer. Kini
dicairkan kembali. Dan Barbie meringkuk dalam tahanan.
Ini memang di luar urusan ekstradisi. Namun kalangan diplomatik
menilainya sebagai bukti niat baik pemerintah baru. Ini agaknya
juga ada kaitannya dengan pengunduran diri enam menteri sayap
kiri yang menuntut pembasmian perdagangan gelap obat bius secara
lebih sungguh-sungguh. Tindakan pemerintah itu merupakan
lawatan.
Beberapa hari sebelumnya, Jaksa Agung sudah mencanangkan
pemeriksaan berkas Barbie oleh instansi yang lebih tinggi.
Seorang petugas khusus yang ditunjuk diminta melaksanakan
pemeriksaan, kemudian menyampaikan kesimpulannya kepada ke-12
hakim agung yang akan memberikan kata putus.
Dan, pemerintah sipil Bolivia akhirnya menciduk juga tukang
jagal Lyons itu. Pada 21 Februari kemarin ia diserahkan kepada
pemerintah Prancis.
"Apa yang harus disesalkan?" jawab Barbie, ketika beberapa waktu
yang lalu ditanya wartawan apakah ia menyesali segala tindak
sadisnya. "Saya Nazi tulen, luar dalam. Dan jika saya lahir
ribuan kali lagi, ribuan kali pula saya seperti saya sekarang."
Orang Prancis, kini, sedang bersiap-siap mengadilinya. Yang
paling giat tentu Klarsfeld yang ahli hukum itu. Di tangannya
sudah berada berkarung-karung bukti, hasil lacakannya selama 30
tahun.
Awal Januari lalu, Ron Moreau dari Newsweek memburu ke Izieu,
dsa terpencil di atas pebukitan 50 mil sebelah timur Lyons. Di
sana ia bertemu dengan Julien Favet, yang siap menjadi saksi
dalam perkara Barbie "jika mereka meminta. Saya berharap ia
berumur panjang untuk merasakan sendiri balasan perbuatannya
mengirim anak-anak tak berdosa ke kamar gas."
Favet sendiri sempat ditahan, kemudian dibebaskan - dan merekam
semua kejadian. Waktu itu, anak-anak sudah dimuatkan ke dalam
truk ketika tembakan menggelegar. Seekor babi melintasi halaman
dan roboh sebagai korban. Pada kesempatan itulah seorang bocah
terjun dari truk, hendak lari. Tapi para serdadu membekuknya,
menendangnya, menghajarnya dengan popor senapan.
Konvoi bergerak. Dan Favet hanya mampu menatap sosok anak-anak
sekolah Goldberg yang lenyap di tikungan. "Harusnya mereka entah
berada di pelosok mana, menggembalakan ternaknya pagi ini," kata
hatinya. Japi mereka malah menuju kamar gas di Auschwitz.
Direktur sekolah dan dua muridnya bahkan tidak sampai sejauh
itu. Serdadu Nazi yang tidak sabar telah mendahului
menghabisinya di Lyons.
Favet, 63 tahun, tinggal sendirian di rumah batu kecil yang cuma
dilengkapi perapian dengan bahan bakar kayu. Delapan tahun lalu
suatu longsoran bukit telah meretakkan kepala dan membutakan
sebelah matanya.
Rumah sekolah yang muridmuridnya dikirim ke kamar gas itu kini
ditempati keluarga Thibaudier, yang memelihara ayam di halaman
depan. Mereka merawat plakat batu putih yang dipasang di dinding
depan rumah itu - sebuah monumen sederhana anak-anak tak berdosa
yang malang. "Semua nama mereka terdaftar di sana," tulis
Moreau. Dari yang tertua, Arnold Hirsch, 18 tahun, sampai yang
termuda, Albert Buka dan Claudine Halaubrenner, keduanya 5
tahun.
Loteng rumah itu adalah tempat mereka belajar dulu. Di
dindingnya masih ada sisa-sisa gambar ukuran poskar - yang sudah
mengabur dan gambar dari majalah yang ditempelkan 39 tahun
lampau. Semuanya hening, diam, saksi-saksi bisu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini