Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jalan tak ada pangkal

Ilmu merokok, memberi dunia tanpa sisi, membukakan lorong jalan tanpa ujung. sopir, berkejaran dengan waktu dengan jumlah setoran dan bbm yang naik. dia nekad dan menimbulkan kecelakaan yang membawa korban.

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI batu ini angin ini tanah ini api - kata Tuhan, kepada Adam, memberi pelajaran elementer tentang alam semesta. Barangkali itu awal mula ilmu pengetahuan. Dan kemudian, di hari tuanya, Adam bergumam kepada dirinya sendiri: Ternyata yang sering tak kuketahui ialah bahwa yang kusebut batu ini bukan sekadar batu dan angin bukan angin. Ilmu yang sesungguhnya ialah melihat yang bukan apa-apa namun apa-apa, yang tak ada namun ada. Atau yang sebaliknya, atau yang terbalik dari sebaliknya. Ketika Adam mengucapkan - ini batu! - sang batu sendiri kaget: batu? Aku ini batu? Tiba-tiba ia asing. Tiba-tiba ia merasa menjadi sesuatu yang lain. Dan sekarang, tatkala Adam telah menjadi dongeng yang berjuta kali diulang-ulang: ilmu telah menjadi beribu-ribu, bercabang-cabang, beranting-ranting, berserabut-serabut. Ia acapkali gagal menemui dirinya sendiri kembali, bahkan tak jarang ia ragu adakah sesungguhnya ia ada. Barangkali ia hanyalah sebuah instrumen kecil, yang ada atau tidaknya ditentukan bukan oleh dirinya sendiri. Pelajaran kesenian pernah memberi ilmu bersahaja: Kalau kau melihat seseorang mengepulkan asap rokok, apa yang hadir di benakmu? Mungkin kenikmatan hidup orang itu. Mungkin kegelisahan batinnya. Mungkin tumpukan problemnya. Mungkin potret uang sekian ratus yang ia berikan kepada penjual rokok. Mungkin pabrik rokok itu sendiri nun di sana. Mungkin berpuluh ribu buruhnya yang bekerja seharian dan pulang berduyun-duyun. Mungkin upah para buruh itu. Mungkin keadaan masing-masing buruh itu di rumah keluarganya. Mungkin mandor yang merayu salah seorang buruh wanita. Mungkin kerja di pabrik itu adalah titik optimum karir mereka. Mungkin datang mesin baru dan mereka terancam kehilangan lapangan kerja. Mungkin tergambar masalah ekonomi. Mungkin kebijaksanaan politik ekonomi. Mungkin anu anu anu dan anu .... Ilmu merokok, memberi dunia tanpa sisi, menyodorkan hidup tanpa garis tepi, membukakan lorong jalan tanpa pangkal ujung. Betapa pandai manusia sehingga mampu mengurusi kompleksitas itu. Betapa luas dan tinggi ilmu-ilmu sehingga mampu merangkum, menghandel, membereskan, mendorong, mengarahkan, mengerem dan memacu semesta bulat utuh itu. Segala macam ilmu telah disediakan. Alam punya ilmu alam, bumi punya ilmu bumi, waktu punya ilmu sejarah, ruang punya ilmu ukur, sakit punya ilmu obat, kelakuan punya ilmu moral, pelanggaran punya ilmu hukum: Wagiman muda selalu diperlakukan kejam oleh juragannya hingga ia mangkel dan muntah jiwanya, dan ia bunuh itu juragan, dan oleh ilmu hukum ia dipenjara sekian tahun. Hukum punya hukumnya sendiri dan moral punya sisinya sendiri. Dan orang berkata bahwa hukum sering tak setia kepada realitas kompleks dari hidup, kepada latar belakang suatu kelakuan, kepada konteks psikologis dari perilaku sosial? Kalau melihat colt trayek sopirnya ngebut dan memperlakukan penummpangnya hanya sebagai angka-angka rupiah, ilmu apa yang mesti dipakai untuk mendekatinya? Sopir itu inhuman, kurang bermoral, tak berdisiplin, rakus aan kurang ajar. Sopir itu berkejaran dengan waktu, dengan momen dan letak strategis penumpang, dengan jumlah setoran, dengan perut istri-anaknya, dengan keinginannya bisa beli modern furniture dan tv berwarna seperti banyak tetangganya, dengan kesulitan merebut rezeki, dengan BBM naik, dengan keseluruhan keadaan yang sesak namun tak dipahaminya secara persis. Sopir itu seorang immoral, seorang tak tahu adat, seorang pencoleng kemanusiaan, seorang pejuang keluarganya, seorang patriot bagi nasibnya, seorang prajurit bagi perutnya, seorang pendekar tanah buram, seorang nelayan yang menyibak kedahsyatan samudra, seorang anak zaman, seorang murid dari sekolah peradaban yang mencetaknya, seorang debu dari badai kehidupan, seorang setengah manusia setengah engsel dari putaran sistem, seorang bagian dari keadaan. Sopir itu tak bisa ditatap dari sebuah ilmu. Di manakah kita berada? Berapa biji mata kita punya? Di senja hari yang gerimis, pada hari pertama harga BBM naik awal 1983 ini, bis kota merah muda Yogya melintasi jalur yang bukan haknya. Meluncur cepat dalam keremangan. Benturan amat keras dengan bis kota lain dari arah yang berlawanan tak bisa dihindarkan. Bulaksumur gempar. Tubuh-tubuh terjepit terkapar. Nyawa-nyawa timbul-tenggelam. Ban depan dan ban belakang bis menyatu. Orang berdatangan. Seorang memarkir Honda GL-nya sambil tetap menghidupkan mesin karena lampunya ia arahkan untuk menerangi tempat kecelakaan yang sibuk ditolong. Ia sendiri meninggalkan motornya dan bersibuk di keringsekan bis. Beberapa menit kemudian cahaya lenyap: suara Honda GL meluncur menjauh, dikendarai oleh entah siapa. Siapa atau apa gerangan yang melahirkan sopir nekat dan pencuri yang berhati baja itu? Berapa persen keduanya mesti bertanggung jawab, dan berapa persen 'Ibu' mereka bertanggung jawab? Ilmu peradaban telah makin tinggi ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus