Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rojai, tak sepopuler kusni kasdut

Penjahat muda, rojai, divonis penjara seumur hidup pengadilan negeri jakarta utara, terbukti melakukan perampokan dan pembunuhan. (hk)

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USIANYA baru seperempat abad. Berperawakan langsing. Wajah dan sinar matanya mengesankan sebagai orang patuh serta lugu - tidak meyakinkan sebagai seseorang yang bisa disebut jagoan, apalagi seorang tokoh "perampokan". Tapi debutnya di bidang kejahatan boleh juga. "Menurut data yang kami peroleh, sudah puluhan kali ia merampok dan tiga puluh orang menemui ajal di tangannya," ujar Kasie Operasi Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Wiwoho. Sebab itu, kejaksaan tidak mempunyai pilihan lain kecuali tuntutan hukuman mati bagi penjahat muda itu. Rojai aliasMaman, alias Ompong, alias Dulhak akhirnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Soeharto. "Sebenarnya ia tidak kalah hebat dengan Kusni Kasdut atau Henky Tupanwael, cuma kalah populer," tambah Wiwoho. Selesai hakim membacakan vonisnya Senin pekan lalu, Rojai berdiri mendekati Jaksa T.M. Siahaan sambil mengancam: "Awas, kalau saya keluar nanti, dan saya masih muda," katanya. Kelahiran Cipanas, Rangkasbitung, Jawa Barat, Rojai dituntut Jaksa T.M. Siahaan karena dua kasus perampokan yang dilakukannya disertai pembunuhan. Pada 17 Juni 1981 sekitar pukul 00.30 sepasang suami-istri Sutarjo Hartono dan Janiti tersentak dari kelelapan tidur di rumah mereka di Muara Karang, Pejagalan, Jakarta Utara. Segerombolan perampok tiba-tiba mendobrak pintu kamar mereka setelah menjebol pintu masuk. "Jangan bergerak, mana uang," gertak Roiai sambil menodongkan pistol Colt-38. Seorang rekannya, Darsa mengawasi korban dengan clurit. Sutarjo yang masih belum sadar dari keterkejutannya, beberapa detik kemudian disabet denean clurit oleh Darsa melukai kepala korban itu. Tidak banyak cingcong lagi, Sutarjo menyerahkan dompetnya berisi sekitar Rp 200 ribu serta semua perhiasan yang melekat di tubuhnya dan istrinya. Ia agak keberatan ketika Rojai meminta juga kunci motor yang diparkir di dalam rumah. Segera saja pistol yang ada di tangan Rojai menyalak, merobohkan Sutarjo. Belum puas, Rojai mendobrak pintu kamar Sukari, mertua Sutarjo. Tanpa alasan orang tua itu dihabisi Rojai dengan sebutir peluru. Giliran naas berikutnya menimpa suami-istri Kusdi dan Ana Rohana, juga ketika tidur lelap di rumah mereka di Kebon PJKA, Tanjungpriok. Kedua suami-istri itu tidak segera menyadari delapan orang perampok sudah berada di kamar tidur mereka. Tapi begitu terbangun, Kusdi segera melompat mengambil clurit di bawah tempat tidurnya. Agaknya Rojai tidak punya pilihan lain kecuali menembak mati Kusdi. Ana seketika meraung sambil memeluk tubuh suaminya yang terkapar, dan ia mengalami nasib yang sama, mati di atas tubu suaminya. Masih belum yakin, Rojai mengirimkan beberapa butir peluru lagi ke tubuh Kusdi dan Ana. Sebuah peluru lagi melukai seorang anak kedua almarhum. Kali itu kawanan perampok itu kurang beruntung karena hanya menemukan Rp 6.000 di laci Kusdi. Apalagi karena mendengar bunyi tembakan, warga sekitar rumah Kusdi segera keluar. Rojai terpaksa kabur bersama rekan-rekannya sambil menembak membabi buta ke arah warga kampung yang mengejar mereka. Karena banyak warga yang melihat wajah Rojai, beberapa hari kemudian Maret 1982, ia berhasil ditangkap di rumah istri mudanya di Rangkasbitung. Beserta dia juga disita sepucuk pistol FN-45 dan senjata-senjata tajam. Di persidangan Rojai membantah melakukan perampokan terhadap Kusdi dan hanya mengakui merampok Sutario, walau hampir semua saksi mengenalnya karena ia sering berada di sekitar rumah Kusdi. Rojai juga dengan sengit membantah sebagai seorang pelarian dari LP Sukamiskin (Bandung) dengan hukuman 11 tahun penjara dan bahkan membantah bernama Rojai. "Padahal sidik jarinya persis sama dengan sidik jari Rojai yang lari dari LP Sukamiskin," ujar Hakim Soeharto. Lucunya, tambah Jaksa Wiwoho, "kami menemukan surat untuk isterinya yang ia tulis dengan nama Rojai." Rojai yang mengaku tamat SD, ketika ditemui Agus Basri dari TEMPO di Ll' Cipinang, membenarkan ia bernama Rojai, dan pelarian dari LP Sukamiskin. "Saya melarikan diri di hadapan sipir penjara," ujar Rojai. Ketika itu, katanya para napi lagi asyik menonton tv yang ada di LP itu. Tapi Rojai justru pergi ke tempat sipir penjara berkumpul di pintu LP. Ada enam petugas berjaga di pintu itu. Anehnya, tidak ada yang bereaksi ketika Rojai melewati mereka. "Karena mereka diam saja, ya saya langsung keluar," ujar Rojai sambil tertawa. Tapi suami dari dua istri yang tubuhnya banyak tato itu tetap membantah telah membunuh Kusdi dan Ana. "Saya mangkel dituduh yang bukan-bukan," ujarnya. Sebaliknya ia membenarkan punya profesi perampok, walau ketika berangkat dari kampung niatnya jadi pedagang sambil menuntut ilmu. "Ilmu itu untuk membunuh seseorang yang membunuh ayah saya," katanya. Begitulah, ketika berusia 19 tahun karirnya sebagai pembunuh diawalinya dengan melampiaskan dendamnya itu. Sejak itu ia tidak ingat lagi berapa nyawa yang hilang karena tanannya. "Mungkin kurang dari sepuluh," kata Rojai dengan nada datar saja. Ia juga mengaku dalam karirnya pernah merampok senjata seorang anggota ABRI. "Ketika saya todong, ia menyerahkan senjatanya," ujar Rojai lagi. Senjata FN-45 hasil rampokan itulah yang menurut keyakinan hakim digunakan Rojai membunuh suami-istri Kusdi. Ia merasa jengkel terhadap jaksa karena dituntut hukuman mati. "Pokoknya, kalau saya keluar saya cari dia," ujar Rojai yang merasa tidak pantas dihukum mati. Malah ia berniat akan berontak di pengadilan sekiranya hakim juga meniatuhkan hukuman mati. "Saya merencanakan akan merebut senjata petugas dan menembak siapa saja kalau perlu diri saya sendiri karena saya tidak ingin dihukum mati di LP," kata Rojai yakin. Majelis Hakim yang diketuai Soeharto menyebutkan pertimbangan yang memberatkan Rojai adalah karena perbuatannya merupakan jenis kejahatan yang akhir-akhir ini mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Tapi Jaksa Wiwoho tidak sepenuhnya melihat gejala itu untuk pertimbangan tuntutan. "Kami menuntut hukuman mati karena perbuatan Rojai itu memang luar biasa," katanya. Jadi, kata Wiwoho, kejaksaan tetap melihat berat-ringannya hukuman itu dari kasus demi kasus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus