USIANYA baru seperempat abad. Berperawakan langsing. Wajah dan
sinar matanya mengesankan sebagai orang patuh serta lugu - tidak
meyakinkan sebagai seseorang yang bisa disebut jagoan, apalagi
seorang tokoh "perampokan". Tapi debutnya di bidang kejahatan
boleh juga. "Menurut data yang kami peroleh, sudah puluhan kali
ia merampok dan tiga puluh orang menemui ajal di tangannya,"
ujar Kasie Operasi Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Wiwoho. Sebab
itu, kejaksaan tidak mempunyai pilihan lain kecuali tuntutan
hukuman mati bagi penjahat muda itu.
Rojai aliasMaman, alias Ompong, alias Dulhak akhirnya dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Utara yang diketuai Soeharto. "Sebenarnya ia
tidak kalah hebat dengan Kusni Kasdut atau Henky Tupanwael, cuma
kalah populer," tambah Wiwoho. Selesai hakim membacakan vonisnya
Senin pekan lalu, Rojai berdiri mendekati Jaksa T.M. Siahaan
sambil mengancam: "Awas, kalau saya keluar nanti, dan saya masih
muda," katanya.
Kelahiran Cipanas, Rangkasbitung, Jawa Barat, Rojai dituntut
Jaksa T.M. Siahaan karena dua kasus perampokan yang dilakukannya
disertai pembunuhan. Pada 17 Juni 1981 sekitar pukul 00.30
sepasang suami-istri Sutarjo Hartono dan Janiti tersentak dari
kelelapan tidur di rumah mereka di Muara Karang, Pejagalan,
Jakarta Utara. Segerombolan perampok tiba-tiba mendobrak pintu
kamar mereka setelah menjebol pintu masuk. "Jangan bergerak,
mana uang," gertak Roiai sambil menodongkan pistol Colt-38.
Seorang rekannya, Darsa mengawasi korban dengan clurit.
Sutarjo yang masih belum sadar dari keterkejutannya, beberapa
detik kemudian disabet denean clurit oleh Darsa melukai kepala
korban itu. Tidak banyak cingcong lagi, Sutarjo menyerahkan
dompetnya berisi sekitar Rp 200 ribu serta semua perhiasan yang
melekat di tubuhnya dan istrinya. Ia agak keberatan ketika Rojai
meminta juga kunci motor yang diparkir di dalam rumah. Segera
saja pistol yang ada di tangan Rojai menyalak, merobohkan
Sutarjo. Belum puas, Rojai mendobrak pintu kamar Sukari, mertua
Sutarjo. Tanpa alasan orang tua itu dihabisi Rojai dengan
sebutir peluru.
Giliran naas berikutnya menimpa suami-istri Kusdi dan Ana
Rohana, juga ketika tidur lelap di rumah mereka di Kebon PJKA,
Tanjungpriok. Kedua suami-istri itu tidak segera menyadari
delapan orang perampok sudah berada di kamar tidur mereka. Tapi
begitu terbangun, Kusdi segera melompat mengambil clurit di
bawah tempat tidurnya. Agaknya Rojai tidak punya pilihan lain
kecuali menembak mati Kusdi. Ana seketika meraung sambil memeluk
tubuh suaminya yang terkapar, dan ia mengalami nasib yang sama,
mati di atas tubu suaminya. Masih belum yakin, Rojai mengirimkan
beberapa butir peluru lagi ke tubuh Kusdi dan Ana. Sebuah peluru
lagi melukai seorang anak kedua almarhum.
Kali itu kawanan perampok itu kurang beruntung karena hanya
menemukan Rp 6.000 di laci Kusdi. Apalagi karena mendengar bunyi
tembakan, warga sekitar rumah Kusdi segera keluar. Rojai
terpaksa kabur bersama rekan-rekannya sambil menembak membabi
buta ke arah warga kampung yang mengejar mereka.
Karena banyak warga yang melihat wajah Rojai, beberapa hari
kemudian Maret 1982, ia berhasil ditangkap di rumah istri
mudanya di Rangkasbitung. Beserta dia juga disita sepucuk pistol
FN-45 dan senjata-senjata tajam.
Di persidangan Rojai membantah melakukan perampokan terhadap
Kusdi dan hanya mengakui merampok Sutario, walau hampir semua
saksi mengenalnya karena ia sering berada di sekitar rumah
Kusdi. Rojai juga dengan sengit membantah sebagai seorang
pelarian dari LP Sukamiskin (Bandung) dengan hukuman 11 tahun
penjara dan bahkan membantah bernama Rojai. "Padahal sidik
jarinya persis sama dengan sidik jari Rojai yang lari dari LP
Sukamiskin," ujar Hakim Soeharto. Lucunya, tambah Jaksa Wiwoho,
"kami menemukan surat untuk isterinya yang ia tulis dengan nama
Rojai."
Rojai yang mengaku tamat SD, ketika ditemui Agus Basri dari
TEMPO di Ll' Cipinang, membenarkan ia bernama Rojai, dan
pelarian dari LP Sukamiskin. "Saya melarikan diri di hadapan
sipir penjara," ujar Rojai. Ketika itu, katanya para napi lagi
asyik menonton tv yang ada di LP itu. Tapi Rojai justru pergi ke
tempat sipir penjara berkumpul di pintu LP. Ada enam petugas
berjaga di pintu itu. Anehnya, tidak ada yang bereaksi ketika
Rojai melewati mereka. "Karena mereka diam saja, ya saya
langsung keluar," ujar Rojai sambil tertawa.
Tapi suami dari dua istri yang tubuhnya banyak tato itu tetap
membantah telah membunuh Kusdi dan Ana. "Saya mangkel dituduh
yang bukan-bukan," ujarnya. Sebaliknya ia membenarkan punya
profesi perampok, walau ketika berangkat dari kampung niatnya
jadi pedagang sambil menuntut ilmu. "Ilmu itu untuk membunuh
seseorang yang membunuh ayah saya," katanya.
Begitulah, ketika berusia 19 tahun karirnya sebagai pembunuh
diawalinya dengan melampiaskan dendamnya itu. Sejak itu ia tidak
ingat lagi berapa nyawa yang hilang karena tanannya. "Mungkin
kurang dari sepuluh," kata Rojai dengan nada datar saja. Ia juga
mengaku dalam karirnya pernah merampok senjata seorang anggota
ABRI. "Ketika saya todong, ia menyerahkan senjatanya," ujar
Rojai lagi. Senjata FN-45 hasil rampokan itulah yang menurut
keyakinan hakim digunakan Rojai membunuh suami-istri Kusdi.
Ia merasa jengkel terhadap jaksa karena dituntut hukuman mati.
"Pokoknya, kalau saya keluar saya cari dia," ujar Rojai yang
merasa tidak pantas dihukum mati. Malah ia berniat akan berontak
di pengadilan sekiranya hakim juga meniatuhkan hukuman mati.
"Saya merencanakan akan merebut senjata petugas dan menembak
siapa saja kalau perlu diri saya sendiri karena saya tidak ingin
dihukum mati di LP," kata Rojai yakin.
Majelis Hakim yang diketuai Soeharto menyebutkan pertimbangan
yang memberatkan Rojai adalah karena perbuatannya merupakan
jenis kejahatan yang akhir-akhir ini mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Tapi Jaksa Wiwoho tidak sepenuhnya melihat gejala itu untuk
pertimbangan tuntutan. "Kami menuntut hukuman mati karena
perbuatan Rojai itu memang luar biasa," katanya. Jadi, kata
Wiwoho, kejaksaan tetap melihat berat-ringannya hukuman itu dari
kasus demi kasus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini