Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan hidup memang terkadang aneh

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISAHNYA dimulai pada penghujung 1941. Dunia sedang berada dalam. bayangan masa depan yang tidak pasti. Ancaman perang Jepang sudah melintasi Indocina, dan menjatuhkan bayangannya yang panjang ke kawasan Hindia Belanda. Protes Amerika Serikat terhadap gerak maju itu bagai anjing menggonggongi kafilah. Dan, seperti tidak habis-habisnya, berbagai kisah anak manusia lalu muncul ke permukaan--setelah perang usai. Hal Drake, penulis senior pada Pacific Stars and Stripes, mencoba mengungkapkan salah satunya: pengalaman dua serdadu yang sebelumnya telah berperang di pihak yang bermusuhan. "Dari rangkaian penderitaan, kedua orang itu mendapatkan pelajaran yang sama," katanya dalam sebuah tulisan di majalah PHP, Desember kemarin. Jacob DeShazer berusia 28 tahun pada akhir 1941. Waktu itu ia baru saja mengalami nasib sial dalam mencoba beternak kalkun. Tidak kurang dari US$1.000 uangnya terbenam habis dalam bisnis keparat itu. Dan Madras, kota kediamannya, bukanlah tempat yang terlalu menarik. Apalagi untuk orang seusia DeShazer. Ini bukan Madras di India, Lho. Terletak di Negara Bagian Oregon, kota Amerika itu kecil saja hanya berpenduduk 300 orang. Jalan raya utamanya lapang, dan lengang. Sekali-sekali melintas mobil Ford model A, atau Packard dan Maxwell kuno. Bangunan-bangunannya lugu dan agak bego, membuat orang teringat pada suasana kota perbatasan zaman Buffalo Bill. Madras memang tidak banyak berubah sejak pemukim pertama menginjakkan kakinya di sana. Namun, kota itu sesungguhnya tidak terlalu jelek. Terselip di sela gunung-gemunung, udaranya lumayan nyaman. Penduduknya bagai terpulau, jarang berhubungan dengan orang luar. Dalam keadaan seperti itu koran menjadi jendela yang amat penting untuk meninjau dunia lain di seberang sana. Dan DeShazer, tokoh kita ini termasuk anak muda yang paling getol mencari bacaan. Kecuali koran lokal, ia juga rajin berusaha mendapat media informasi dari kota yang agak besar, di kawasan pegunungan itu juga. Nah, dari bacaan itulah ia suatu hari mendapat kejutan. Konon, para balatentara dari Nazi Jerman dan Kerajaan Jepun sedang maju malang melintang di luasan dunia. Terpanggil untuk mempertahankan nusa dan bangsa, anak muda itu mendaftarkan dirinya pada Korps Penerbangan Angkatan Darat. Ia ingin menjadi pilot, dan seseorang yang kurang bertanggung jawab dengan sembrono mengatakan kepadanya bahwa persyaratan yang diperlukan sangat ringan adanya. Belakangan baru ia sadar: usianya sudah melewati ketentuan. Ia sudah hampir 30 tahun, terlalu tua untuk kadet penerbang. Tetapi, alhamdulillah, Korps Penerbangan masih bisa memanfaatkan DeShazer. Ia dimasukkan ke dalam kesatuan bomber. Segera menerima latihan menembak dengan papan sasaran, tokoh kita ini girang bukan buatan. "Sama seperti berburu kelinci di Oregon Tengah," katanya. Ia pun segera memotong pendek rambutnya, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Dibanding kehidupan Madras yang lengang, suasana barak dan gurau serdadu tidaklah begitu jelek. DeShazer segera menemukan temanteman baru. Sekarang tokoh kita yang kedua: Mitsuo Fuchida. Untuk Fuchida hidup boleh dikata teramat keras. Tamat dari Akademi Angkatan Laut Eta Jima, 1924, ia memang mempersiapkan diri untuk suatu kehidupan yang penuh disiplin. Di akademi tersebut ia sekelas dengan Minoru Genda yang brilyan--dan kemudian termasyhur. Mereka bahkan berteman. Kedua-duanya mengikuti latihan 'Garuda Liar'. Kesatuan ini memang tidak begitu dihargai para ahli strategi penganut garis kuno. Sebab kelompok terakhir ini lebih suka mengandalkan kapal perang, penjelajah, dan pertempuran dari kapal ke kapal. Di awal 1941, Fuchida berusia 39 tahun. Ia sudah tampil sebagai komandan yang utuh. Malah ialah opsir muda tempat bertanya-bahkan bagi sebagian "perwira berjenggot putih". Dan ia sadar, ia semakin berangkat tua. Suatu hari, Fuchida diperintahkan berangkat ke lautan pedalaman lepang. Di sana ia menemukan Genda sedang menunggu kedatangannya. "Perang mungkin saja pecah setiap saat," kata yang terakhir itu. "Bila saat itu datang, Anda akan menjadi komandan sebuah satuan serbu udara." Fuchida mengeraskan hatinya. Mungkin ini ujian tertinggi. Semua godaan, kewajiban belajar keras, kehidupan spartan, dan penyangkalan diri selama ini, akan menemui penggenapannya. Ia sedang mempersiapkan diri mengangkat senjata melawan musuh-musuh negerinya. Dengan penuh kerahasiaan, latihan khusus dimulai. Pesawat-pesawat terbang Angkatan Laut Jepang yang ringan itu dipaksa terbang rendah seraya melepaskan torpedo, kadangkadang hanya sekitar 12 meter di atas permukaan laut. Hanya setan yang bisa menganggap pekerjaan ini main-main. Langit putih cerah tatkala Fuchida naik ke pesawatnya, sebuah bomber. Ia sudah memenuhi kewajibannya terakhir, menulis sepucuk surat ke kampung halaman. Kepada ayahnya yang uzur ia bertutur: "Saya yakin saya akan gugur. Tetapi kematian ini agung dan penuh hati." Ayahnya mengangguk-angguk, tentunya. Maklum Jepang. Dan pesawat Fuchidalah yang pertama-tama tiba di atas kapal induk Akagi. Di belakangnya segera menyusul pesawat lain. Dari sana seluruh informasi bergerak menuju sasaran . Mereka terbang pada ketinggian 3.000 m, di atas sebaris awan tipis berarak. Tiba-tiba awan terkuak, dan garis pantai tampak di bawah sana. Mendadak, dan sangat mengesankan muncullah Pearl Harbor nun di depan, luas dan lengang. Tidak sebuah isyarat kehidupan tampak di bawah. Serangan yang bersejarah itu memang betul-betul kejutan total. Di tempat duduk pesawatnya, di antara pilot dan navigator, Fuchida menggapai mikrofon. Ia mulai mendesiskan kata-kata sandi yang kelak merupakan isyarat bagi sukses impian Genda. Inilah kata yang kemudian mengangkat nama tokoh tersebut ke latar sejarah: "Tora, tora, tora." Dan di geladak Akagi dan kapal perang lainnya, suka cita pecah tiada terkira. Dalam satuan serbu yang sedang mengamuk di atas kapal-kapal perang Amerika itu, hanya kegarangan yang mewarnai angkasa. Fuchida berputar sejenak bersama satuan pengebomnya, menyaksikan tiang asap raksasa menyembur dari kapal-kapal perang yang sedang terbakar jauh di bawah. Ia tampak lesu. Tali temali yang merangkai sejumlah bom itu sudah bergantungan lepas. Ia tidak akan melupakan akhir riwayat kapal perang Arizona yang dibomnya. Kapal itu lenyap dalam sebuah sapuan cahaya, berubah menjadi gumpalan asap raksasa. Ia memperhatikan dengan seksama bagaimdna kapal-kapal yang lain berangkat ke dasar laut. Mereka hanya bisa dikenali dari nyala api dan asap. Sementara Fuchida menengok ke bawah, pesawatnya terumbang-ambing, bagai dihantam tinju raksasa. Ia melihat ke belakang: sebuah pesawat lainnya berpusing dan berubah bentuk menjadi keping-kepingan. Pesawat Fuchida sendiri mulai menggeletar. Dan ia dirasuk kecemasan akan hal yang lebih buruk. Awak yang duduk di belakangnya meraih sesuatu di bawah kursi Fuchida, ternyata kawat kemudi yang putus. Awak tersebut berusaha memegangi kawat yang putus itu. Dan meriam-meriam anti-serangan udara mulai menggonggong dari Pearl Harbor. Dengan komando Fuchida, satuan penyerang itu bergerak meninggalkan pelabuhan yang berantakan itu. Dari 353 pesawat terbang yang berangkat, 29 tertembak jatuh - harga yang sangat murah untuk pembinasaan yang demikian dahsyat . Beberapa minggu sebelum serangan Pearl Harbor tersebut, Jake DeShazer berangkat ke Columbia, Carolina Selatan, untuk mengikuti latihan lanjutan. Hari Minggu itu ia berada dalam posisi tak sedap: dapat hukuman mengupas kentang di dapur. Dan, ketika sebuah berita singkat terdengar di radio, DeShazer bagai disengat tawon. Ia membanting sebiji kentang yang belum selesai dikupas ke dalam periuk. "Hai, Jepang!" katanya berteriak. "Tunggulah pembalasan kami!" Berita radio itu menyebutkan penyerbuan Pearl Harbor. Toh sampai beberapa minggu kemudian tidak ada yang bisa dilakukan. Paling-paling DeShazer dan rekan-rekannya hanya menyimak dan menyimak dan menyimak berita perang melalui koran dan buletin, dengan dahi makin mengerut. Anak muda itu makin berang dan senewen ketika Wake dan Guam pun ikut jatuh. Suasana barak yang tidak berubah membuatnya penasaran. Ia ingin bergerak - ke mana pun jadi. Ia ingin melakukan sesuatu, bukan sekadar terbengong-bengong. Dan demikianlah pada suatu pagi, awal Februari 1942, seseorang menyampaikan: "Anda diperintahkan menghadap Komandan." "Bah," pikir DeShazer. Palingpaling kebagian omelan, atau keputusan perpanjangan masa hukuman di dapur. Ia berangkat ogah-ogahan. Tapi di kantor yang rapi itu sudah ada sekitar 15 atau 20 rekannya. Kapten hari itu tampaknya agak santai, tidak kekantor-kantoran. Ia seperti mengajak hadirin mengendurkan saraf, bermanis-manis, dan - kemudian - secara mendadak mengatakan: "Saya memerlukan beberapa sukarelawan untuk sebuah misi yang berbahaya." Semuanya terdiam. Dan segera waspada. "Well,"seorang prajurit terdengar menggagap, "misi macam apa itu?" dan sang kapten ternyata tidak bisa menceritakan apa-apa kepada mereka. Ia hanya bisa mengulangi: "Tugas itu penuh risiko dan berbahaya. Dan saya membutuhkan tenaga sukarelawan." Untuk DeShazer, justru tugas macam begini yang dinanti-nantikan. la sudah jenuh dengan kegiatan rutin yang sontoloyo. Ia maju ke depan dan mengacungkan tangan. Dan yang lain segera mengikut. Mereka kemudian diperintahkan pulang ke tempat masing-masing. Semuanya merasa barlgga, karena akan mengemban tugas yang sangat rahasia, meski mereka sendiri belum tahu benar apa. Tapi dalam beberapa hari mereka sudah berada di Englin Field, Florida, dan latihan pun dimulai. Di sana ada lapangan terbang yang tampaknya sama lebar dan sama panjang dengan jalan utama di kota kecil Madras. Bedanya, di lapangan ini ada sebuah sudut kecil yang ditandai dengan kapur. Para penerbang diharuskan melakukan beberapa olah gerak pesawat di sudut yang kecil ini. Pekejaan yang sungguh berbahaya, dan penuh tantangan. Namun DeShazer tidak khawatir. Ia dan awaknya dipersatukan oleh keterampilan dan kepercayaan yang besar. Teknik lepas landas yang unik itu akhirnya berhasil dikuasai. Lalu datanglah perintah yang membingungkan. Mereka harus berangkat ke Pantai Barar--San Francisco. Pesawat-pesawat bomber dinaikkan ke kapal induk Hornet. Kemudian mereka semua dikumpulkamn. Lalu, tanpa basa-basi, mereka diberitahu: "Kita akan mengebom Tokyo, Yokohama, Kobe, Osaka Nagoya ...." Sebagai sebuah aksi militer, langkah itu bisa dinilai 'manusiawi'. Enam belas pesawat bomber bermotor dua akan mengamuk secara 'hati-hati', khusus memilih sasaran militerdan industri. Sasaran sesungguhnya adalah moral dan psikologi kedua rakyat: Amerika dan Jepang. Amerika memerlukan headline yang semarak tidak sekadar berita kekalahan dari hari ke hari. Dan orang Jepun itu patut diberi pelajaran. Selama ini mereka yakin garis pantai mereka tidak bisa ditembus musuh. Dan ternyata pertempuran kali itu jauh lebih dahsyat dari yang pernah dibayangkan DeShazer. Ada rasa cemas menyelinap dalam kalbunya. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia teringat pelajaran agama di sekolah dulu. "Saya mulai berpikir, hanya berapa hari lagi saya boleh hidup di dunia ini," katanya dalam sebuah tulisan. "Saya khawatir: ke mana saya akan pergi setelah mati ?" Kekhawatiran memang beralasan. Operasi itu direncanakan berjalan sampai pada menit dan tetes bahan bakar terakhir. Bagaimana memasuki daerah musuh, menyapu sasaran, kemudian memilih jalan terpendek ke Laut Jepang, dan kabur ke daerah Cina yang aman untuk para prajurit Amerika. Dan di geladak Hornet, kawanan pesawat pengebom itu-tampak bagai kipas terkembang ketika berpencaran ke pelbagai sasaran. Hanya DeShazer yang menuju Nagoya, kota pusat industri yang riuh, dengan penduduk lebih 1,3 juta. Kesan pertama DeShazer menxenai Jepang dalang dari lukisan-lukisan kuno negeri itu: gunung-gunung yang hijau, ditudingi awan dan dicadari kabut tipis. Dan kini ia menyaksikan tamasya itu dari ketinggian. Di bawah terbentang pemandangan yang sejuk, halaman dengan pagar tanaman yang tampak, hutan tipis dan lebat. Tiba-tiba tampak Nagoya. Kota itu kelihatan cokelat dan kelabu. DeShazer meriksa sasarannya yang pertama, Perusahaan Gas Toho. Pabrik ini penuh tangki ang mungkin berisi propane, gas CH8 yang gampang terbakar. DeShazer menjatuhkan sebiji bom. Dan itu rasanya lebih dari cukup. Api marak dan asap mengepul DeShazer membawa pesawatnya menyingkir dari pemandangan berantakan itu. Ia bergerak menuju sasaran berikutnya. Kelak ternyata mereka keliru menyangka sasaran ini kompleks pabrik. DeShazer kembali menjatuhkan bom. Dan dari bawah terdengar sayup suara rentetan meriam penangkis udara. Tetapi tidak berbahaya. Dan DeShazer mulai merasakan semacam kebuasan merasuk dirinya. Ia mulai menggila. Ia meraih senapan mesin dan menyapu penumpang sebuah kereta api yang dipergokinya. Ia bahkan menyikat seorang lelaki yang sedang berperahu . Mengapa? "Kemarahan saya bangkit ketika mengingat berita yang pernah saya baca di koran," katanya. "Saya dengar para penerbang Nazi Jerman menembaki penduduk sipil Prancis." Tapi jalan menuju daratan Cina ternyata makan waktu berjam-jam. Sampai merah mata mencari, tidak tampak lapangan terbang bersahabat yang mungkin mereka darati. Lalu terjadilah apa yang selama ini sangat dicemaskan: angka penunjuk bahan bakar mendekati garis nol. Nah. Dari pesawat interkom terdengar perintah: "Kita harus terjun." Dan itulah yang mereka lakukan. Mereka meloncat ke tengah kegelapan, dan payung mulai terbuka. Dan, mereka ternyata mendarat di daerah Cina yang dikuasai Jepang. Untuk waktu yang lama, Fuchida akan senantiasa terkenang audiensinya dengan Kaisar Hirohito, dan pertemuannya kembali dengan ayahnya yang gembira bukan kepalang. Ketika satuan tempur itu bergerak kembali, mereka mencatat sejumlah kemenangan gemilang. Mereka menenggelamkan kapal pengangkut Inggris Hermes di sekitar Srilangka. Pekerjaan itu sama mudahnya dengan merebut Singapura, Hongkong, dan Indonesia. Kemenangan itu hanya dicacatkan satu hal: serangan udara Amerika ke daratan Jepang. Presiden Franklin D. Roosevelt mengatakan ketika itu, para penerbangnya berangkat dari suatu tempat bernama Shangrila. Keterangan ini sempat membuat Fuchida membongkar peta setengah mati. Di mana Shangrila? Belakangan ia tahu, Shangrila hanyalah nama kerajaan mistik dalam novel James Hilton, LostHorizon. Di suatu tempat di Negeri Cina, para pemeriksa sia-sia memaksa DeShazer bicara. Tidak sebutir pengakuan keluar dari mulut prajurit yang bengal alias tangguh itu. Hakim lalu mengatakan, besok pagi ia bakal dipancung. Ia dilemparkan kembali ke dalam selnya yang pengap. Tangan tergari, mata ditutup. Sepanjang malam ia menggeletuk oleh udara dingin yang nyaris tidak tertangguhkan. Ketika secercah kehangatan terasa meraba tubuhnya, tahulah ia bahwa fajar mulai merekah. Ia merasa tubuhnya dipaksa berdiri, kemudian disorongkan ke luar sel. Ada terlintas dalam pikirannya niatan untuk berdoa. Kam penutup matanya tiba-tiba ditanggalkan. Pemeriksa yang kemarin tidak kelihatan. Tetapi ada beberapa orang, satu di antaranya menyandang kamera. Semuanya tampak mengumbar senyum. Kemudian ia, pilotnya, dan awak lain yang turut tertangkap, dinaikkan ke pesawat udara dan diterbangkan ke Jepang. Mereka berpikir, di sana pasti sudah menunggu mahkamah militer bohong-bohong - sekadar jalan untuk menghukum mati mereka sebagai penjahat perang. Untuk Fuchida, serangan udara dari pihaknya itu dinilai lebih bersifat lihai ketimbang jahat. Ia ingin Fiji dan Samoa direbut, untuk memutuskan mata rantai yang tipis antara Amerika clan Australia. Tetapi Laksamana Isoroku Yamamoto, staf Markas Besar Angkatan Laut Kerajaan Jepun, memilih Midway. Beliau percaya tindakan ini merupakan tekanan terhadap Hawaii, dan mencegah Amerika melancarkan serangan udara baru. Itulah pertempuran Fuchida yang terakhir. Diangkat sebagai komandan satuan serbu udara yang bertugas menamatkan armada Amerika Serikat, dan menghancurkan pertahanan Midway, ia dengan penuh rasa tanggung jawab naik ke kapal Akagi. Tetapi, oh sayang, enam hari sebelum melancarkan serangan ia ambruk diserang penyakit usus buntu. Tepat pada saat itu terdengar teriakan-teriakan panik: "Kyukoka!"Musuh ternyata lebih dulu mengirimkan pesawat-pesawat mautnya. Akagi berantakan oleh ledakan yang tidak kepalang tanggung. Fuchida tercampak ke laut kedua tumitnya remuk. Ia kemudian dipungut sebuah kapal perusak Jepang. Banyak penerbangnya yang tertembak jatuh. Ada juga yang pulang kembali untuk menemukan puing dan asap, yang menandai tempat Akagi terbakar. Mereka tidak bisa berbuat lain kecuali menyingkir ke tempat yang agak jauh dari api, kemudian mencemplungkan pesawat-pesawat yang kehabisan bahan bakar itu ke laut, lalu menunggu 'jemputan'. Tiga kapal pengangkut lainnya lenyap menjadi abu. Dalam beberapa menit yang mengerikan, perimbangan kekuatan Perang Pasifik mengalami perubahan drastis. Para dokter mengatakan kepada Fuchida: ia tidak boleh terbang lagi. Tiba-tiba ia merasa tua. Ia mulai menjadi pemarah, muak akan tugas staf yang kini harus diterimanya. Ia kemudian dipindahkan ke Tinian di Kepulauan Mariana. Tetapi tak lama kemudian ia diperintahkan pulang ke Tokyo. Tempatnya digantikan seorang bekas temannya di Akademi dulu. Dan peristiwa itu seperti tangan gaib yang sengaja bertindak untuk menyelamatkan jiwanya: dua minggu lagi Tinian akan menjadi neraka. Pada saat-saat terakhir, bertahan sampai mati di pulau tersebut, seluruh prajurit staf, termasuk sahabat Tinian itu, berkumpul dan berlutut. Mereka membuka jas militer masing-masing dengan khidmat, kemudian membelah lambung mereka dengan kelewang masing-masing. Fuchida mulai berpikir: "Apa makna 'penyelamatan' ini, sebenarnya?" Dalam pada itu DeShazer sedang terus-menerus menimbun dendam. Hatinya sangat sakit ketika Jepang-Jepang itu memaksanya berlutut. Tulang keringnya ditekan dengan papan yang kasar dan tajam. Setiap ia menggeliat, kepalanya dihajar dengan sebatang bambu. Kalau dendam sudah sampai puncaknya, ia mencoba berharap. Tetapi harapan nyaris mustahil di penjara militer lepang, dengan segala suasana yang menekan itu. DeShazer mencoba berharap untuk terakhir kalinya dengan iman yang masih tersisa. Tiba-tiba ia terpukau: apakah sesungguhnya makna iman, hidup, harapan ? DeShazer mendengar, pilotnya bersama dua awak lain sudah dikembalikan ke Cina dan mengalami nasib buruk: ditambatkan pada sebatang salib, di sebuah pemakaman di Shanghai, kemudian diberondong habis. DeShazer sendiri dan sisa pasukannya "hanya"di jatuhi hukuman seumur hidup. Malah setelah seorang terhukum kedapatan mati karena kurang makan, sikap para penguasa Jepang berubah lunak. Suatu hari seorang pengawal datang menawarkan buku ke seantero sel. Mereka boleh membaca. Buku-buku itu ternyata Bibel dan beberapa karya teologi--mungkin hasil jarahan di suatu perpustakaan misi. Jepang-jepang itu sendiri tidak makan Bibel. Juli 1945 Okinawa jatuh. Dan Fuchida merasa tidak lama lagi keadaan akan berubah. Jepang tengah bersiap-siap melakukan pertempuran terakhir. Kali ini di kandang sendiri. Pada 5 Agustus, setelah sidang yang sangat gencar, Fuchida ditugasi ke Nara untuk memeriksa pembangunan sebuah markas besar baru, yang berjalan lamban. Pada suatu sarapan pagi di sana, ia diberitahu bahwa Hiroshima telah diratakan dengan tanah oleh "sebuah ledakan yang ajaib dan bertenaga dahsyat." Laporan pun mulai berdatangan dari kota yang kini sudah berubah menjadi belantara maut itu. Fuchida mendengar keterangan tentang GroundZero, pusat ledakan. Balai Promosi Industri yang dibangun pada 1914, dan berada pada titik itu, lenyap sama sekali, berubah menjadi hanya segumpal wujud yang membingungkan. Jepang bertekuk lutut. Setelah segalanya usai, Fuchida kembali ke kampung halamannya. Dan mencoba bertani. Ia sering tampak di jalanan: seorang opsir yang sakit hati, dan kehilangan kepercayaan. Seseorang yang dipatahkan oleh kekalahan. "Inilah hari-hari mendung dalam hidup saya," katanya. "Semuanya kehilangan makna dan warna, kecuali kenyataan bahwa saya tetap bernapas. Berkali-kali saya selamat dari maut, tetapi untuk apa?" Selama beberapa waktu, sebagai bekas opsir Angkatan Laut Kerajaan yang terlibat dalam Perang Pasifik, Fucnida dituntut sebagai penjahat perang. Ia memang kemudian berhasil melalui rangkaian pengusutan dengan selamat, tetapi tetap harus muncul berkali-kali di pengadilan sebagai saksi. Dalam suatu kesempatan seperti itulah, ketika Fuchida diperintahkan menghadap Markas Besar Tentara Pendudukan AS untuk memberi kesaksian, ia naik kereta api di stasiun Shibuya, Tokyo. Di depan stasiun itu adaseorangAmerika, I-imothy Pietsch, yang mengelola Pusat Alkitab Tokyo. Orang ini bukan serdadu, dar tidak punya sikap pemenang terhadap bangsa yang baru kalah itu. Ia tersenyum kepada Fuchida, mengangguk ramah, seraya mengulurkan sesuatu. Ternyata sebuah risalah keagamaan, dalam bahasa Jepang. Fuchida melihat potret pengarangnya yang terpampang di kulit depan. Dan membaca namanya: Jacob DeShazer. Orang inilah yang turut membuat Fuchida dulu membongkar peta untuk mencari Shangrila! DeShazer, menurut risalah itu, mengalami siksaan berat, dijatuhi hukuman mati, dan diterungku dalam kondisi yang sangat buruk. Terbenam dalam bacaan Bibel di penjara, ia berjanji pada diri sendiri untuk memaafkan musuh-musuhnya. Dan setelah perang, ia kembali ke Jepang sebagai misionaris. Misionaris Kristen, memang. Fuchida mula-mula hanya sekadar kagum. Kemudian seperti diingatkan. DeShazer ini telah mengalami peristiwa yang sangat dahsyat, toh ia berbicara tentang kasih. Fuchida membaca risalah itu lebih khusuk. "Maka demikianlah yang terjadi," kata Hal Drake menutup tulisannya. DeShazer akhirnya menjadi pendeta, di sebuah gereja sederhana di kota kecil, sekitar 20 mil di barat laut Tokyo. Tidak kurang dari 26 tahun ia mengabdi di sana. Kemudian pulang ke kampung halamannya di pedalaman Oregon. Fuchida sendiri ditahbiskan menjadi pendeta Presbyterian, dan mengabdikan sisa hidupnya bagi karya penginjilan. Ia meninggal 1976. Betulkah, kata orang, jalan hidup kita sudah ditetapkan dari sononya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus