Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Stiglitz dan Cacat Demokrasi AS

21 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haidar Bagir*

Tiba-tiba saja, 2 Oktober 2011 itu, dia muncul di Zuccotti Park, di tengah para demonstran yang tergabung dalam gerakan Occupy Wall Street (OWS). Joseph E. Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel tahun 2011, berbicara keras tentang para bankir dan pelaku bisnis keuangan di Amerika yang disebutnya telah mengacaukan ekonomi negeri itu. Meski sama sekali bukan seorang antikapitalisme, Stiglitz dikenal sebagai kritikus neoliberalisme, termasuk IMF serta berbagai badan keuangan AS dan dunia lainnya, yang dianggapnya sebagai perwujudan-praktisnya.

Tulisan Stiglitz di Vanity Fair lima bulan sebelumnya ("Of the 1%, by the 1%, for the 1%") dianggap sebagai salah satu inspirasi bagi gerakan yang belakangan meluas ke Eropa dan Australia ini. Dalam tulisannya, Stiglitz menyatakan bahwa di AS hanya 1 persen elite yang menguasai tak kurang dari 40 persen kekayaan negeri ini. Di tengah gaya hidup dekaden segelintir orang superkaya negeri itu, makin banyak orang menjadi miskin dan makin banyak warga AS menjadi tunawisma.

Pemerintah AS, didukung habis-habisan oleh kelompok kaya negeri itu, menjustifikasi kesenjangan besar ini dengan menjajakan "teori produktivitas marginal (marginal-productivity theory)". Teori ini mengidentikkan pendapatan lebih tinggi dengan produktivitas lebih tinggi dan sumbangan lebih besar kepada masyarakat. Padahal banyak bukti menyatakan sebaliknya. Banyak perusahaan besar di AS pada kenyataannya justru menjadi penyumbang utama berbagai resesi di AS dan Eropa. Bahkan, menurut observasi Stiglitz, telah terjadi kerugian mahabesar terhadap ekonomi karena turunnya produktivitas akibat hilangnya ruang bagi sebagian besar orang untuk berpartisipasi dalam ekonomi. Juga turunnya efisiensi ekonomi karena kekuatan monopoli oleh dan pemberian privilese pajak kepada kelompok kaya, serta hilangnya tindakan kolektif yang seharusnya mendukung kekuatan ekonomi.

Protes sosial di AS yang diprakarsai oleh OWS, menurut Stiglitz dalam tulisannya yang belakangan ("Globalization of Protest"), lahir dari "…perasaan bahwa 'sistem' sekarang ini telah gagal, dan keyakinan bahwa bahkan dalam suatu demokrasi, proses elektoral tak akan bisa membetulkan kesalahan." Selanjutnya, tulisnya, "Para pengejar rente kaya menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi legislasi demi melindungi dan meningkatkan kekayaan mereka… (dan) mempengaruhi arah politik…. Mereka (para pemrotes itu) benar, memang ada yang salah dengan 'sistem' kita."

Kalau dirunut, biang kerok krisis adalah kekuatan lobi, baik lobi ekonomi maupun politik—yang diusung oleh korporasi besar negeri itu. Mereka inilah yang melakukan distorsi besar-besaran bukan hanya terhadap prinsip kapitalisme, tapi juga terhadap prinsip demokrasi. Rakyat boleh bebas memilih, orang banyak boleh menjadikan pemimpin mereka obyek banyolan, tapi pada akhirnya pemimpin yang mereka pilih harus tunduk kepada kekuatan lobi-lobi ini.

"Of the 1%, by the 1%, for the 1%" terbukti belakangan hampir seperti sebuah nubuat ketika Stiglitz menulis: "Saat kita menatap semangat rakyat di jalan-jalan (Timur Tengah), pertanyaan yang perlu kita ajukan kepada diri kita adalah: Kapan ini akan menyambangi Amerika? Dalam berbagai hal penting, negeri kita sendiri telah menjadi seperti salah satu dari tempat-tempat rusuh yang jauh itu." Tak diperlukan waktu lebih dari tiga bulan bagi nubuat Stiglitz untuk menjadi kenyataan bersama dengan lahirnya OWS.

Bagi kita di Indonesia, pengamatan Stiglitz ini bagaikan sebuah deja vu. Terasa benar betapa korporasi besar telah berlomba mencengkeramkan kuku-kuku mereka atas bukan hanya pemerintah yang berkuasa sekarang, tapi juga melakukan investasi atas orang-orang yang baru pada tahap diperkirakan punya peluang untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Tujuannya tak lain agar pada saatnya nanti mereka bisa memanen pengaruh politik dan ekonomi demi kepentingan sempit bisnis mereka.

Maka tak salah jika di sini pun banyak orang mulai bertanya-tanya: Awalnya Timur Tengah, kini benihnya telah muncul di AS dan Eropa, haruskah kita menunggu saja hingga badai sampai ke negeri kita, Indonesia?

*Pendiri Mizan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus